Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

"The Golden 1950s": Hasil Memori Terbatas

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nono Anwar Makarim

  • Praktisi hukum

    Beberapa gambar idilis timbul di benak kita tentang tahun-tahun 1950-an: Pulang dari parlemen di Lapangan Banteng Meester Roem dari Partai Masyumi goncengan sepeda sama D.N. Aidit dari Comité Central PKI. Di DPR baku hantam, di luar DPR jalan-jalan keliling kota naik sepeda. Civil society, istilah zaman sekarang, diproyeksikan ke masa 50-an tahun yang lalu: diskusi politik sambil minum teh sore. Gambar itu belum tentu cocok dengan kenyataan. Akan tetapi, dalam defisit kesenangan, fantasi menjadi jembatan pengantar kita dari keseharian menuju surga.

    Masa lalu selalu menang dalam perbandingan dengan masa kini. Di pantai utara Jawa sebelum Pemilu 2004, orang mengenang masa Soeharto dengan penuh kemesraan. Masa lalu menang karena familiar, akrab, teratasi. Yang familiar dicampur aduk dengan yang baik. Yang tidak familiar dipukul rata dengan yang buruk.

    Herbert Feith membagi sejarah Indonesia pada 1950-an dalam dua kutub. Dari tahun 1949, sejak Belanda angkat kaki, sampai bulan Juni 1953 dianggap zaman demokrasi konstitusional. Dihitung sejak pertengahan 1953 mulailah kemerosotan demokrasi di Indonesia. Di sepanjang tiga setengah tahun itu Indonesia dipimpin oleh empat kabinet. Kabinet Hatta diberi kesempatan 8 bulan. Lalu dijatuhkan oleh kaum nasionalis radikal dan Soekarno. Bung Karno memanfaatkan isu penolakan Belanda untuk mengembalikan Irian sebagai platform untuk meningkatkan pengaruhnya. Umur kabinet Natsir lebih singkat, 6 bulan saja. Kabinet Natsir dijatuhkan karena tidak berhasil mengikutsertakan PNI dan gagal membujuk Nederland untuk mengembalikan Irian.

    Kemudian menyusul kabinet Sukiman. Sukiman lebih beruntung. Kabinetnya dibolehkan hidup 10 bulan. Jatuhnya kabinet Sukiman merupakan bukti paling jelas bahwa tahun-tahun 1950-an bukan masa keemasan Indonesia. Pertama, Muhammad Yamin, Menteri Kehakiman, jalan sendiri dan main bagi-bagi amnesti kepada 950 tahanan politik tanpa memberi tahu pihak militer yang menahan mereka. Beberapa hari kemudian, keputusan amnesti dibatalkan dan 950 orang yang sudah keluar dari penjara dikejar lagi untuk dijebloskan ke dalam tahanan. Upaya pengejaran gagal. Sebagian besar sudah naik gunung dan melanjutkan perang gerilya terhadap RI. Keadaan pada saat itu memang genting. Kejahatan meningkat, keamanan merosot. Di mana-mana terjadi pemogokan yang disponsori PKI.

    Kemudian ada berita di koran berbahasa Cina di Jawa Timur bahwa ada konspirasi kudeta yang diatur oleh Uni Soviet. Sukiman panik dan melancarkan penangkapan massal terhadap pemimpin PKI di mana-mana. Ketika parlemen meminta bukti persekongkolan kudeta, pemerintah gagap. Kemudian Subardjo, Menteri Luar Negeri Kabinet Sukiman, begitu bernafsu mendapat bantuan senjata Amerika sampai dia menyetujui hal-hal yang tidak sepatutnya disetujui.

    Umur kabinet selanjutnya—kabinet Wilopo—paling panjang: genap 14 bulan. Wilopo jatuh oleh sebab serupa yang menjatuhkan setiap kabinet. Pertama, dominasi kaum nasionalis ekstrem di kalangan partai politik dan militer serta menanjaknya peran Soekarno. Kedua, kaum teknokrat yang menolak politik sebagai panglima segala-segalanya disingkirkan. Saya tambahkan satu lagi sebab yang mengakibatkan politisasi keadaan secara tajam dan menjorokkan politik Indonesia ke kiri, yakni keterbatasan pikiran politikus Nederland yang berkeras mempertahankan jajahan di senja kematian kolonialisme. Tahun-tahun 1950-an bukan zaman emas Republik. Ia sekadar memberi aba-aba akan hari depan negeri kita, kehancuran yang dibawa semboyan revolusi belum selesai, dan berujung pada genosida pasca-G-30-S.

    Umur pendek pemerintahan bukan gambaran sepenuhnya dari The Golden Fifties. Masih banyak peristiwa yang mengesankan bahwa tahun-tahun 1950-an merupakan impian buruk buat Indonesia. Agustus 1951, Letkol Kahar Muzakkar memimpin pemberontakan sejumlah tentara yang tidak puas dengan porsi imbalan yang mereka peroleh. Pada bulan yang sama, serangkaian pemogokan dilancarkan PKI di Medan dan Jakarta. Tidak kurang dari 15 ribu orang ditangkap. Pada Agustus itu juga dilakukan sweeping penahanan terhadap banyak aktivis Persatuan Ulama Seluruh Aceh.

    Januari 1952, Letkol Kahar Muzakkar bergabung dengan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo. Pada Agustus 1952, Nahdlatul Ulama keluar dari Masyumi karena merasa didominasi kaum modernis. Desas-desus demobilisasi sejak Juli meresahkan beberapa kalangan militer. Di pagi hari 17 Oktober 1952, meriam-meriam Howitzer dan pasukan diarahkan ke depan Istana Merdeka. Menjelang akhir tahun, Kolonel Gatot Subroto dipaksa keluar dari markasnya di Makassar oleh Kolonel Warouw. Nasution dipecat, dan Sultan Hamengku Buwono IX meletakkan jabatan sebagai Menteri Pertahanan. Pada 20 September 1953, Daud Beureu’eh menyerukan Aceh berontak terhadap RI. Lalu ia berkoordinasi dengan para pemberontak DI di Jawa Barat.

    Pada September 1955, hasil pemilihan umum menunjukkan kemenangan PKI yang gilang-gemilang. Partai yang 7 tahun sebelumnya berkhianat terhadap RI di Madiun itu keluar sebagai partai terbesar keempat, setelah PNI, Masyumi, dan NU. Pada 1956, terjadi dua kali percobaan kudeta terhadap pemerintah. Pada 1 Desember, Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Pemberontakan daerah mulai membara. Setelah itu, Soekarno melakukan kudeta 5 Juli 1959 dan menjalankan kediktatoran yang diberi nama demokrasi terpimpin. Perpecahan partai, militer, dan Negara Kesatuan RI belum pernah sedemikian parahnya.

    Kita tidak boleh begitu saja percaya pada pendapat orang Indonesia yang mengecam keadaan negerinya sendiri. Di balik batu banyak udang bersembunyi. Di negeri kita, ”oposisi” sudah menjadi kata sifat, bahkan suatu isme. Karena itu, kita perlu meninjau pendapat orang luar yang menonton Indonesia pada 1950-an. Para sarjana asing menerbitkan hasil penelitian mereka tentang The Golden Fifties di Indonesia pada 1960-an. Betapa mengejutkannya ketika kesimpulan yang mereka capai menggunakan istilah seperti stranded society (masyarakat terdampar), atau missed opportunities (kehilangan kesempatan), atau stubbornly refused to grow (berkeras kepala menolak maju), atau the chronic laggard in Asia (sudah secara kronis ketinggalan kereta), dan akhirnya descent into vagueness (terperosok dalam kekaburan). Kok ya masih terus kita menjuluki dasawarsa 1950-an sebagai The Golden Fifties. Mengapa?

    Nenek saya menghitung waktu atas dasar patokan perkawinan Ratu Wilhelmina. Ibu saya, kalau mengalami masa ekonomi sulit, menghibur diri dengan membaca kembali buku hariannya pada tahun-tahun 1930-an. Salah satu catatan yang ditunjukkan kepada saya adalah tentang belanja harian untuk acara spesial: potong ayam untuk menjamu nenek saya yang datang dari Batavia. Totaal Uitgave: 50 cent. Nostalgi adalah gejala lumrah dalam kehidupan orang. Kita semua mengenang masa-masa lalu yang menyenangkan. Akan tetapi, bila nostalgi sudah menjadi gejala kolektif dan sudah tidak berdasar kenyataan lagi, kita perlu cemas. Bangsa ini sudah mulai bermimpi, sudah mencapai taraf berfantasi. Bentuk nostalgi yang paling menonjol dewasa ini adalah keinginan munculnya pemimpin yang tegas. Buat bangsa yang hampir 40 tahun diperintah diktator, gejala ini menakutkan. Perlu diteliti apa gerangan akar-sebabnya.

    Antropologi dan psikologi kognitif membagi penduduk dunia dalam dua kubu. Yang satu bertradisi oral, yang lain bertradisi tulis. Orang Indonesia pada umumnya bertradisi oral. Pada dasarnya mereka yang bertradisi oral mengalami keterbatasan dalam menggali memorinya tentang masa lalu. Keterbatasan itu sehubungan dengan keterbatasan kemampuan mengingat secara umum dan proses mengingat itu sendiri. Proses mengingat kata-kata pantun atau lagu harus dimulai dari awal agar bisa menangkap urutannya dengan tepat. Dan tidak hanya harus kerap dimulai dari awal pantun atau lirik lagu, tapi juga dikaitkan dengan suara dan irama. Hal-hal yang mau digali, baik peristiwa maupun kata, harus diletakkan dalam urutan yang diingat. Kalau ada yang terlupa, maka untuk menjaga urutan yang tepat orang harus setiap kali kembali ke awal.

    Memori orang yang bertradisi oral lebih sulit digali. Karena keterbatasan alami dan prosesual tadi, memori orang yang bertradisi oral juga akan bersifat segmentaris dan fragmentaris. Memori tentang Soeharto di kalangan elite nostalgis, misalnya, sebatas kepemimpinan yang tegas saja, tidak menyerap seluruh aspek rezimnya yang korup, sarat kekerasan, yang berdampak buruk terhadap budaya bangsa. Di kalangan rakyat, ingatan pada Soeharto sebatas subsidi bahan bakar minyak dan lain-lain bantuan yang membuat hidup menjadi ringan. Yang tidak teringat oleh kalangan atas dan bawah adalah harga subsidi, korupsi, dan kekerasan dalam jangka panjang terhadap institusi sosial dan negara.

    Gambaran hasil memori semacam itu tidak lengkap, tidak utuh. Memori orang tentang The Golden Fifties juga segmentaris, fragmentaris, dan tidak utuh. Semua ini lazim saja, normal, dan tak perlu dirisaukan, kecuali apabila memori yang terbatas itu dijadikan standar pengukur prestasi masa kini. Mengukur kompleksitas kondisi dan penanganan masalah sekarang dengan memori masa lalu yang tidak utuh adalah salah, tidak adil, dan akar-sebab ketidakstabilan kronis Indonesia. The Golden Fifties tidak memberi kita emas, suasa, perak, atau tembaga. Yang ada hanya sepuhan yang merembes ke dalam memori kita yang terbatas dan berkeping.

    Pondok Labu, 25 Juli 2007

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus