Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebastiaan Pompe
Tahun ini tepat 50 tahun berakhirnya pemerintahan yang demokratis di Indonesia dengan diumumkannya SOB (negara dalam keadaan bahaya) pada 1957. Yang terjadi berikutnya adalah empat dekade penyimpangan dan ketidakadilan di bawah Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Paling mengemuka di antara penyimpangan dan ketidakadilan yang terjadi setelah 1957 adalah lumpuhnya rule of law dan lembaga-lembaga hukum.
Banyak tokoh terkemuka Indonesia yang menyaksikan tahun-tahun 1950-an bercerita betapa lembaga-lembaga hukum pada waktu itu masih bersemangat dan berfungsi dengan baik di bawah demokrasi parlementer. Ketika ditanyakan pada akhir 1950-an, tokoh-tokoh hukum seperti mantan menteri Soewandi, Prof. Djojodigoeno, Suardi Tasrif, Tresna, dan Hadeli Hasibuan umumnya menjawab bahwa lembaga-lembaga hukum pada saat itu ”masih kuat”, ”bebas dari korupsi”, atau ”satu bagian dari pemerintahan di mana kepakaran masih dihargai”.
Tokoh politik yang disegani, Mohamad Roem, berkomentar (1960) bahwa ”para hakim berhasil mempertahankan independensi dan kebebasannya terhadap eksekutif, dan eksekutif tidak campur tangan dalam kerja pengadilan”. Dan walaupun pengadilan ”patut disesalkan menjadi semakin formalistik” (mantan Menteri Kehakiman zaman kolonial, Logeman, dalam surat-menyurat dengan teman-teman Indonesianya pada 1959), dan lembaga-lembaga hukum ”diperlemah oleh politik” (Djojodigoeno 1959), pemerintah ”masih takut menyentuh para hakim” (Soewandi 1959) dan ”takut melanggar prerogatif [lembaga-lembaga hukum]” (Tresna 1959).
Situasi ini berubah setelah demokrasi parlementer diberangus pada 1957. Tokoh-tokoh hukum senior berbicara mengenai meningkatnya ”penindasan dan represi oleh pemerintah di mana-mana di sekeliling saya” (Hakim Agung Tirtaamidjaja 1960), mengeluh mengenai militer yang bernafsu ”masuk pengadilan” (Besar Mertokusumo 1959) dan tentang makin merosotnya kemauan pemerintah menunjukkan sikap ”menghormati hukum atau keinginan untuk menumbuhkan iklim yang menghormati hukum” (Tresna 1959). Mohamad Roem (1960) berkomentar bahwa ketika militer memaksakan dipecatnya Jaksa Agung Jenderal Suprapto pada 1959, ”inilah awal dari akhir, baik bagi Kejaksaan Agung maupun bagi pengadilan.” Penolakan Presiden Soekarno pada tahun yang sama untuk menyeret Roeslan Abdulgani ke muka Mahkamah Agung juga disebut sebagai suatu titik balik (Resink 1959).
Membandingkan keadaan yang mereka alami dengan pengalaman sebelumnya, Hakim Agung Busthanil Arifin berkata (1978): ”Situasinya tidak membesarkan hati. Tahun-tahun 1950-an merupakan masa-masa yang elok dengan integritas yang sekarang sudah hilang dan sulit dikembalikan lagi.” Pengacara terkemuka hak asasi manusia Yap Thiam Hien berbicara dengan bahasa yang pedas mengenai merosotnya standar hukum (1986): ”Lihatlah keputusan yang lama ini, My God, bagaimana bisa anda lakukan itu sekarang? Tapi pada waktu itu masih ada standar [...]. Sistem pengadilan masih berfungsi, dan para hukim tahu mengenai hukum. Banyak hakim yang baik waktu itu. Sekarang tidak lagi demikian halnya.”
Ini bukan masalah kelembagaan semata-mata: efeknya menyentuh semua sektor hukum. Loekman Wiriadinata, mantan Menteri Kehakiman dan seorang pengacara yang sangat disegani (pada 1986 ketika usianya mencapai 75 tahun dan masih datang ke kantor setiap hari), ketika membandingkan advokasi hukum saat ini dengan advokasi yang dikenalnya pada 1950-an mengatakan: ”Advokasi hukum sudah sangat merosot. Semua orang mengejar uang.”
Kutipan-kutipan ini diambil dari catatan Dan Lev. Mungkin lebih daripada siapa pun, Dan Lev terus menghidupkan kenangan kita akan tahun-tahun 1950-an dan membuat kita sadar akan arti penting periode yang lalu itu. Arti penting tahun-tahun tersebut bertumpu pada dua ide yang relevan bagi kita saat ini. Pertama, seperti tecermin dalam wawancara yang dilakukannya, tahun-tahun 1950-an merupakan dekade tatkala lembaga hukum benar-benar berfungsi, memiliki wibawa dan respek, dan sistem hukum pada waktu itu secara keseluruhan bekerja dengan baik. Kejaksaan Agung merupakan lembaga yang profesional dan independen yang sangat disegani sampai 1959. Di Mahkamah Agung sampai akhir 1970-an korupsi sama sekali tidak ada. (Hakim Agung Wirjono Koesoemo pernah menolak seorang rakyat miskin yang datang jauh-jauh dari Tangerang untuk menyerahkan seekor ikan sebagai tanda terima kasih atas keputusan yang dikeluarkannya. Wirjono mengatakan bahwa jika sedikit saja ia membuka pintu, maka ternoda sudah prinsip yang dipegangnya). Perhimpunan advokat Indonesia waktu itu masih belum terpecah belah menjadi penjaja pengaruh dan uang semata. Kadaster dan register publik masih bisa diandalkan dan notaris-notaris masih melayani publik sesuai dengan fungsinya. Itulah zamannya para profesional yang tangguh: Kusumah Atmadja (dan kemudian Subekti) di Mahkamah Agung berani menantang Presiden Soekarno soal wibawa pengadilan dan Suprapto di Kejaksaan Agung dengan berani melawan tekanan militer soal independensi lembaga yang dipimpinnya. Seperti diceritakan dalam biografi Suprapto yang ditulis Iip D. Yahya dan yang diterbitkan baru-baru ini, itulah masa ketika lembaga hukum masih mampu mengadili menteri dan memeriksa perwira (Yahya, Mengadili Menteri, Memeriksa Perwira [2004]).
Tidak banyak yang tahu citra lembaga hukum yang solid dan sistem pengadilan yang berfungsi dengan baik pada 1950-an. Pemerintah di bawah kekuasaan militer berusaha keras menggambarkan tahun-tahun 1950-an sebagai masa-masa kekacauan dan kegagalan. Tidak ada yang membantah bahwa memang tahun-tahun 1950-an adalah masa-masa penuh pergolakan, tidak kurang pula karena militer sendiri yang membuatnya demikian.
ABRI menggambarkan demokrasi dan rule of law pada 1950-an sebagai penyimpangan yang kacau-balau, sesuatu yang ”non-Asia”, sesuatu yang masyarakat Indonesia ”belum matang untuk menerimanya”—istilah yang kadang-kadang mirip dengan istilah yang dipakai pemerintah kolonial untuk membenarkan pemerintahan diskriminatif mereka itu. Pada tahun-tahun 1950-an militer mencari pembenaran atas kekuasaan dan hak istimewa yang mereka pegang dengan mendelegitimasi demokrasi dan merongrong lembaga-lembaga hukum yang ada.
Inilah poin kedua yang dikemukakan Dan Lev. Lev, yang menimba dari banyak sumber, berargumentasi bahwa lembaga-lembaga hukum dan rule of law ambruk pada 1957 bukan karena kekuatan alam atau cacat sistem. Malah sebaliknya, karena dirusak dengan sengaja secara politis. Menjelang akhir 1950-an, lembaga-lembaga hukum berada di bawah tekanan yang luar biasa, terutama dari pemerintah dan militer. Akhirnya, lembaga-lembaga hukum itu ambruk. Jaksa Agung Suprapto dipecat karena ia melawan militer. Penggantinya bertahan cuma enam bulan sebelum tewas dalam suatu kecelakaan mobil.
Wirjono Prodjodikoro mampu jalan terus sebagai Ketua Mahkamah Agung karena dengan mudahnya ia menyerah. Ia menanggalkan jubah hakimnya dan mengenakan seragam militer. Ia menanggalkan independensi pengadilan, dan luar biasa bagi seorang hakim, masuk dalam pemerintah sebagai anggota kabinet. Kolega dan temannya mencemaskan langkah yang diambil Wirjono ini, tapi sejujurnya, lembaga-lembaga hukum akhirnya bergantung juga kepada dukungan pemerintah dan masyarakat untuk mempertahankan wibawa dan efektivitasnya, sementara pemerintah Orde Lama dan Baru tetap menunjukkan sikap bermusuhan terhadap rule of law dan lembaga-lembaga hukum.
Adnan Buyung Nasution dalam disertasinya yang terkenal itu menggambarkan bagaimana proses konstitusional pada 1957–1959 dan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 telah merongrong proses demokrasi. Goenawan Mohamad mengemukakan bahwa surut dan dideligitimasinya rule of law merupakan produk yang sengaja diciptakan dan tak terelakkan akibat radikalisasi politik di bawah Demokrasi Terpimpin dan munculnya pemerintahan militer dan big business di bawah Orde Baru.
Pelajaran utama dari tahun-tahun 1950-an yang diwariskan Yap Thiam Hien, Djojodigoeno, Mohamad Roem, Lukman Wiriadinata, Suprapto, dan Daniel Lev kepada kita adalah bahwa demokrasi tidak bisa dipisahkan dari keberanian lembaga-lembaga hukumnya. Pemerintah yang demokratis tidak bisa dipisahkan dari konsep inti hak asasi dan kesetaraan individu yang dijunjung tinggi dan yang diterapkan dengan bebas. Hanya dengan kepastian bahwa setiap warga negara bebas: bebas menyatakan pikiran dan harapannya, bebas berserikat, bebas dari ketakutan terhadap tindak sewenang-wenang pemerintah, barulah demokrasi sebenarnya bisa berkembang. Lumpuhnya demokrasi pada 1957 tidak bisa lepas dari lumpuhnya rule of law dan lembaga-lembaga hukum.
Reformasi bisa gagal seperti halnya demokrasi parlementer pada 1957. Kegagalan itu bisa datang dalam berbagai bentuk. Bagaimanapun, ketidaktoleranan itu tidak datang hanya dari mereka yang mengenakan seragam. Tapi jelas, reformasi bisa gagal bila kita menelantarkan lembaga-lembaga hukum dan rule of law. Lembaga-lembaga hukum yang kuat merupakan titik sentral pemulihan kembali pemerintahan yang demokratis dan suatu masyarakat yang lebih jujur dan adil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo