Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengenang Koh Put On dan Koh A Piao

DUA komik karya dua orang peranakan Tionghoa, Kho Wan Gie dan Goei Kwat Siong, puluhan tahun silam sangat terkenal di sini, yaitu Put On dan Si A Piao. Kedua komik ini sudah lama tak terbit. Bila dihitung dari tahun kelahirannya pada 2 Agustus 1930, kini komik legendaris Put On genap berusia 90 tahun. Adapun Si A Piao berumur 70 tahun. Bagaimana kisah munculnya kedua komik ini?

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mengenang Koh Put On dan Koh A Piao/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA saat setelah Kho Wan Gie wafat pada Mei 1983, sinolog Universitas Indonesia, C.M. Hsu, berkata: “Masyarakat Indonesia selayaknya selalu ingat Put On. Nama ini selama puluhan tahun telah memberikan kegembiraan kepada semua warga negara Indonesia, dan secara khusus kepada peranakan Tionghoa. Tentu sambil kita tak melupakan tokoh lain, A Piao!”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Put On dan A Piao adalah nama tokoh komik. Put On ciptaan Kho Wan Gie, sementara A Piao bikinan Goei Kwat Siong. Dua kartunis peranakan Tionghoa ini memang selalu menyajikan komik setrip yang tema-temanya berkait erat dengan kebudayaan dan perilaku konstruktif warga Tionghoa di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kho Wan Gie, kelahiran Indramayu, Jawa Barat, 1908, tercatat sebagai kartunis Tionghoa pertama yang paling dikenal. Kartunnya awalnya dimuat di Sin Po, media massa yang terbit sebagai majalah mingguan pada 1910 dan berubah menjadi koran harian pada 1912. Put On pertama kali muncul di Sin Po edisi 2 Agustus 1930, atau 90 tahun silam, meski pada kehadiran awal itu namanya belum dikibarkan. Baru pada Sin Po edisi 17 Januari 1931 nama Put On ditarik ke atas dan dijadikan judul komik: Put On

Komik Si A Piao karya Goei Kwat Siong. Tempo

Nama Put On adalah main-main bunyi bahasa Hokkian yang pengertiannya mengacu pada bahasa Inggris, put on, yang bisa diartikan sebagai “pakailah” dan “taruhlah di atas”. Dengan demikian, makna Put On adalah figur yang layak diterima dan dipakai sebagai cermin warga Tionghoa peranakan kelas menengah-atas. 

“Menurut ayah saya, sambutan masyarakat kepada sosok Put On selalu seru. Itu sebabnya, ketika Sin Po tutup pada 1948, Put On dipindahkan ke majalah Pantjawarna. Setelah Pantjawarna tutup, Put On pindah rumah lagi ke koran Warta Bakti,” kata Kho Goan Sioe, 71 tahun. Putra keempat Kho Wan Gie ini masih menyimpan puluhan gambar asli Put On, yang setiap halamannya dilukis dalam ukuran 36 x 25 sentimeter. Juga tinta Cina, pena celup, penggaris, serta alat lukis Kho Wan Gie tatkala aktif di perkumpulan seni Yin Hua pimpinan Lee Man Fong. 

Salah satu daya tarik komik enam panel ini adalah upayanya melibatkan banyak tokoh. Misalnya ibu Put On yang dipanggil Nee. Lalu Si Tong dan Si Peng, adik laki-lakinya. Juga sahabatnya, On Tek serta A Liuk dan A Kong yang mewakili warga Tionghoa totok. Put On punya pacar bernama Dortjie, orang Tionghoa yang kebelanda-belandaan. 

Put On, yang terinspirasi tokoh Jiggs dari komik Bringing Up Father ciptaan George McManus, menyentuh hati karena jenaka dan lugu. Nasibnya selalu tertimpa kemalangan kecil-kecil, atau swee-siao orang Tionghoa bilang. Namun, lebih dari itu, Put On dikenal sebagai figur yang suka menolong, bergaul dengan semua suku, dan tidak pernah membedakan agama. Ia selalu mendukung politik bangsa Indonesia, dari perlawanan atas Agresi Militer Belanda 1948 sampai Konferensi Asia-Afrika 1955. Sebagai orang Tionghoa, ia sangat cinta kepada bangsa dan negara Indonesia, meski nasib diri dan komunitasnya sering didiskriminasi. Ketika Indonesia akan merebut Irian Barat pada 1961, Put On yang bertubuh gemuk itu mendaftar sebagai sukarelawan dan ingin ikut perang dalam Trikora atau Tri Komando Rakyat! 

Pada sebuah edisi tahun 1959, komik Put On menceritakan kesusahan orang-orang Tionghoa akibat Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959. Peraturan itu melarang orang Tionghoa berniaga di desa sehingga hanya bisa berdagang di kota besar. Padahal peluang berdagang di kota besar sangat kecil. 

Adapun yang mengejutkan adalah komik yang terbit pada Oktober 1965. Di situ tiba-tiba hadir ayahanda Put On, yang sejak komik itu dibuat tidak pernah muncul dalam panel. Bersamaan dengan itu, muncul pula—untuk pertama kalinya—Put On tatkala masih bocah. Diceritakan bahwa saat itu Put On berulang tahun dan sang ayah bertutur, “Lu ingat kaga, dulu masih kecil? Lu bandelnya bukan maen!” Pada panel berikutnya terkisah, Put On yang berbaju baru diam-diam menyatroni pohon jambu milik sahabat ayahnya yang sedang bertamu ke rumahnya. Perbuatan ini akhirnya tepergok. 

Munculnya ayah Put On, cerita bandelnya Put On saat kecil, dan kisah yang berfalsafah tentang “kecenderungan orang yang makan teman sendiri” ternyata adalah “kisah perpisahan” untuk selama-lamanya. Komik yang diberi tanggal “2-10-65” itu adalah edisi terakhir Put On karena koran Warta Bakti yang secara berkala memuatnya dibredel pemerintah pasca-Gerakan 30 September 1965. Kho Wan Gie kabarnya memang tahu bahwa Warta Bakti akan dihabisi, dan si Tionghoa Put On bakal disisihkan secara sosial, sehingga sosok ayah dan Put On kecil buru-buru diungkap. Sementara itu, masyarakat tahu, yang “makan” Warta Bakti adalah teman-teman pengelola Warta Bakti sendiri. 

Begitu legendarisnya Koh (Kakak) Put On, sampai namanya selama berpuluh tahun dipakai masyarakat untuk meledek orang yang gemuk dan naif: “Koh Put On, lu!” Namun kenaifan Put On ternyata inspiratif. Buktinya, sejumlah media massa lalu membuat kartun semacam. Misalnya Si Tolol di Star Magazine dan Oh Koen di majalah Star Weekly. Tapi Put On tetap paling sohor. 

Seusai Gerakan 30 September 1965, orang-orang Tionghoa yang berafiliasi dalam politik diburu “algojo” kelompok antikomunis. Kho Wan Gie, yang tidak berpolitik, yakin tak akan menjadi sasaran. Tapi, melihat situasi yang sangat kacau dan mengerikan, ia pun ikut kelabakan. Ia lantas menghilangkan diri dari percaturan dalam waktu lama. 

Komik Put On karya Kho Wan Gie. Dok. Agus Dermawan T

Zaman terus berjalan. Pada pertengahan 1970-an, tiba-tiba muncul komik Nona Agogo, Djali Tokcher, dan sebagainya. Aparat usil curiga, jangan-jangan ini karya Kho Wan Gie lantaran watak gambarnya mirip! Di tengah kecurigaan itu, dua komik tersebut hilang. Sampai kemudian hari muncul komik berjudul Sopoiku (bahasa Jawa), yang artinya “siapa itu”. Sebuah nama yang agaknya meledek polisi politik, yang mungkin dulu pernah mencari-cari dirinya. Lalu sejarah menulis, beberapa tahun setelah itu, Sopoiku hilang tak tentu rimbanya, sampai muncul berita Kho Wan Gie wafat. 

Dalam kitab Lexicon of Foreign Artist Who Visualized Indonesia (1600-1950) susunan Leo Haks dan Guss Maris terbitan 1995, nama Kho Wan Gie muncul di halaman 147. Di situ Kho disebut sebagai seniman Tiongkok. Atas penulisan itu, keluarganya mengomel. Mereka mengatakan Kho Wan Gie adalah warga negara Indonesia. Buktinya, sejak 1932 Put On sudah berseru untuk Indonesia yang dicintainya: “Bersariket kita ada berdiri. Berselisihan kita djatoh!

 

• • •

BAGAIMANA dengan Goei Kwat Siong dan A Piao? Goei, kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 1919, adalah komikus piawai. Pada 1950 atau 70 tahun lalu, Goei, yang biasa dipanggil GKS (Ge Ka Es), bertemu dengan Siauw Tik Kwie, pelukis yang kemudian terkenal dengan komik Sie Djin Koei. Siauw bercerita kepadanya bahwa majalah Star Weekly akan membuka rubrik Taman Anak-anak. Alangkah baiknya apabila Goei mau menyumbangkan komiknya untuk rubrik itu. Goei tentu saja menyambut tawaran itu dengan antusias. Ketika terbit di Star Weekly, tokoh komik tiga panel ciptaannya diberi nama Si A Piao. Piao dalam bahasa Mandarin artinya elegan atau keren, yang dalam kosmologi anak-anak bisa diartikan sebagai smart atau cemerlang. 

Komik Put On karya Kho Wan Gie. Dok. Agus Dermawan T

Si A Piao yang berambut 6 milimeter (kadang lebih pendek) dihidupkan sebagai bocah yang baik hati, suka menolong, pintar sekali, dan berpengetahuan luas lantaran suka membaca. Tapi kadang ia suka lupa lantaran pikirannya terlalu terpaku pada bacaan. Di satu komiknya diceritakan, pada suatu hari, A Piao dan adiknya berjalan di tengah panas terik matahari. Melihat adiknya kepanasan, A Piao melipat koran yang sedang ia baca dan menjadikannya topi untuk si adik. Dalam karya lain, A Piao, yang sedang lupa, tampak menyiram taman sambil berlindung di bawah payung, di kala hujan sedang turun. 

Goei, yang ternyata kurang menyukai tradisi Tionghoa yang selalu mencukur sangat pendek rambut anak-anak, juga membuat sindiran lucu sekali. Suatu waktu, kepala A Piao yang nongol separuh di balik tembok hendak diangkat oleh tetangganya untuk dipindahkan. Aha, kepala A Piao dikira kaktus! 

Berbeda dengan ciptaan Kho Wan Gie, komik Goei tidak menggunakan kata-kata. Alasannya: penyimak komik ini adalah anak-anak, sementara anak-anak sudah diberi bacaan padat di halaman-halaman sebelahnya. Si A Piao ditawarkan sebagai komik pendidikan. Maklum, Goei adalah guru di sekolah Tionghoa Pekalongan. Ia berkata bahwa Si A Piao adalah komik untuk semua anak Indonesia, bukan hanya buat anak keturunan Tionghoa. Nasionalisme Goei tumbuh ketika ia melihat semangat Injo Beng Goat, tokoh yang selalu menyarankan warga Tionghoa seribu persen berjiwa Indonesia. 

Kho Wan Gie muda dan saksofon. Dok. Agus Dermawan T

Si A Piao, yang sangat dicintai anak-anak, pamit pergi dan tak pernah pulang setelah Star Weekly dilarang terbit pada 1965. A Piao ditengarai sebagai perpaduan karakter komik Henry karya Carl Thomas Anderson dari Amerika Serikat dan Sanmao (san = tiga, mao = utas rambut) ciptaan komikus Tiongkok, Zhang Leping. 

Goei Kwat Siong wafat pada 1975 dan memiliki cucu yang bekerja sebagai ahli animasi di studio televisi CNN, Atlanta, Amerika Serikat. 

AGUS DERMAWAN T., PENULIS BUKU BUDAYA DAN SENI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus