Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kariadi salah satu dokter pribumi yang merintis pengobatan malaria di Papua.
Sempat kesulitan mengatasi malaria karena tak mendapatkan minyak untuk mikrosop, ia membuatnya dari daun kenanga yang kemudian dipatenkan atas nama dia.
Ia gugur dibedil tentara Jepang di usia 40.
WABAH malaria yang menyerang Manokwari mengurungkan niat Kariadi meninggalkan wilayah paling barat di Papua itu untuk mempersunting kekasihnya, Soenarti, di Surabaya pada 1 Agustus 1933.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pernikahan yang dia rancang sejak empat bulan sebelumnya itu, Kariadi hanya diwakili pamannya dengan mahar sebilah keris dan uang 300 gulden. Waktu itu Kariadi berusia 28 tahun. Setelah lulus Sekolah Kedokteran Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Artsen School/NIAS), ia dikirim ke Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski tak dihadiri mempelai pria, pernikahan yang digelar di rumah orang tua Soenarti di Plampitanstraat 57 itu berlangsung khidmat. “Malaria sedang jadi wabah waktu itu,” kata Nina Herlina Lubis, guru besar sejarah Universitas Padjadjaran, Bandung, yang menulis biografi Kariadi, Rabu, 5 Agustus lalu.
Dokter Kariadi memeriksa pasien di rumah sakit Martapura, Kalimantan Selatan. Dokumentasi Keluarga/Biografi Dokter Kariadi Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Bandung
Kariadi memilih berjibaku bersama petugas medis lain di Manokwari untuk melawan penyakit yang dibawa oleh nyamuk Anopheles itu. Papua Barat dikenal sebagai wilayah endemis malaria. Karena dedikasinya dalam memberantas malaria, Nina menjelaskan, kelak Kariadi dipercaya sebagai Kepala Jawatan Pemberantasan Malaria Jawa Tengah.
Percintaan Kariadi dan Soenarti terbuhul karena kesamaan profesi di jerambah yang sama. Selama kuliah di NIAS sejak 1921, pada usia 17 tahun, Kariadi tinggal di rumah orang tua Soenarti di Surabaya. Soenarti waktu itu belajar di School tot Opleiding van Indische Tandartsen, sekolah dokter gigi.
Lahir di Singasari alias Malang, Jawa Timur, 15 September 1905, Kariadi yatim-piatu sejak kecil. Bersama kakaknya, Kariono, ia diasuh paman mereka hingga kuliah di sekolah dokter.
Setahun setelah lulus dari NIAS pada 1931, ia bekerja di rumah sakit Centrale Buzgerlijke Ziekewsichting di Surabaya sebagai asisten dokter Soetomo. Tiga bulan berpraktik di sini, pada April 1932 ia dikirim pemerintah ke Manokwari. Setahun di sana, wabah malaria menyerang wilayah ini.
Selama berpraktik di Manokwari itu, kesehariannya ia tuliskan dalam surat untuk Soenarti. Dua bulan sebelum menikah, Kariadi mengabarkan bahwa ia sedang meriang. Dia terkena malaria. “Sewaktu di Jawa saya jarang sakit,” tulisnya. “Di sini sering sakit, terutama malaria dan angina (angin duduk).”
Dokter Kariadi memeriksa bayi di Martapoera, Kalimantan Selatan 1938. Dok. Keluarga/Biografi Dokter Kariadi Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Bandung
Dalam surat lain bertanggal 22 Agustus 1932, Kariadi bercerita bahwa Manokwari juga diserang wabah difteri. Ia menyuntikkan serum ke tubuhnya sendiri, juga masyarakat di sana, untuk menumpas wabah bakteri yang menyerang selaput lendir dan tenggorokan itu.
Selama di Papua, Kariadi berkeliling ke pedalaman pulau itu, melewati medan yang sulit untuk mengobati masyarakat yang sakit karena dua penyakit tersebut. Selama bertugas, Kariadi tak mendapat upah. Masyarakat membayarnya dengan hasil bumi, seperti ubi. Dalam surat untuk Soenarti pada 11 November 1932, Kariadi bercerita bahwa ia tengah meneliti malaria di Danau Anggi, daerah di ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut.
Dalam ceritanya, selama perjalanan ke danau itu, Kariadi menemukan nyamuk jenis baru. Ia berharap temuan tersebut bisa meningkatkan konduite sebagai dokter karena saat itu penemuan tentang nyamuk masih dianggap istimewa. Namun, menurut Nina Herlina, temuan Kariadi itu diklaim oleh atasannya, orang Belanda.
Dalam praktik plus penelitian itu, Kariadi tak hanya menemukan malaria dan difteri yang menyerang penduduk Papua. Penyakit kaki gajah (filariasis) juga diderita orang-orang di Manokwari. Namun tak banyak informasi yang ia ceritakan ihwal penyakit itu dalam surat tertanggal 29 April 1933.
Setelah menikah, Soenarti pindah ke Manokwari mengikuti suaminya. Mereka tinggal di rumah sederhana di sebuah bukit. Setahun kemudian, tepatnya pada 5 November 1934, anak perempuan pertama pasangan dokter itu lahir dan diberi nama Numaya Kartini Kariadi.
Selama bertugas di Papua, kinerja Kariadi dinilai bagus. “Dia dianggap yang terbaik di antara 14 dokter lain,” tutur Nina. Pada tahun ketiga praktiknya di Manokwari, Kariadi mendapat kabar bahwa ia akan mengisi pos baru di Jawa Tengah. Persisnya di Kroya, Banyumas.
Tapi di Kroya pun tak lama. Setahun berselang, ia dimutasi ke rumah sakit pemerintah di Martapura, Kalimantan Selatan. Di sini ia bertugas cukup lama, sekitar enam tahun. Anak keduanya, Sri Hartini Kariadi, lahir di Martapura. Hartini mengikuti jejak ayahnya menjadi dokter spesialis penyakit dalam dan kini merupakan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Selain bekerja di rumah sakit pemerintah, Kariadi membuka praktik dokter untuk para karyawan perkebunan di Danau Salak, Binglo, Banzai, dan Kaneko. Gaji yang ia terima sebagai dokter sebesar 600 gulden. Ia menyisihkan beberapa gulden gajinya untuk pasien yang datang dan tak punya biaya atau justru membutuhkan uang.
Selama di Martapura, selain mengurus kesehatan masyarakat, Kariadi tetap aktif meneliti malaria dan kaki gajah. Hasil penelitiannya terbit di majalah kedokteran berbahasa Belanda, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, edisi 1936, 1937, 1938, dan 1941. Beberapa karya ilmiah yang dimuat antara lain berjudul “Orienteerend Filariasis te Martapoera” dan “Enkele Ervaringen met Chinine en atebrine en bij de behandeling van Chronische Malaria in verband met het Optreden van Zwartwaterkoorts te Manokwari”.
Kariadi juga aktif dalam organisasi Muhammadiyah di Banjar. Ia menjadi anggota Raad Bandjar alias Dewan Banjar. Dalam biografi ayahnya, Sri Hartini bercerita bahwa di antara pelbagai kesibukan kerja dan organisasi, Kariadi masih menyempatkan diri menyalurkan hobi, yakni memotret. “Ada satu ruangan di rumah yang dipakai khusus untuk mencetak foto jepretan Ayah,” ucap Hartini.
Keadaan tenang itu berubah ketika Jepang mengalahkan Belanda dalam perang dunia. Dalam sebuah catatan harian Kariadi bercerita, suasana di Martapura pada era peralihan kekuasaan Belanda ke Jepang sangat kacau. Perampokan toko dan rumah marak. Ia pun mengirim keluarganya kembali ke Surabaya. Ia menyusul enam bulan kemudian, setelah masa kerjanya habis pada 15 Mei 1942.
Sempat menganggur selama dua bulan, ia lalu diminta menjadi kepala laboratorium di Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) di Semarang pada 1 Juli 1942. Karena berpengalaman menangani malaria, ia juga diangkat sebagai Kepala Jawatan Pemberantasan Malaria Jawa Tengah. Di tempat barunya, ia menerima gaji hanya setengah dari bayarannya ketika bekerja di Kalimantan.
Selama menjadi Kepala Jawatan Pemberantasan Malaria, Kariadi sulit mendapatkan cedar olie atau immersion oil. Minyak ini ia butuhkan untuk meneliti spesimen di bawah lensa mikroskop. Deteksi malaria atau bengek bisa diketahui melalui peneropongan spesimen keberadaan bakteri di sampel yang diambil dari dahak pasien.
Karena ketiadaan minyak itu, Kariadi mengolahnya sendiri. Ia mencoba pelbagai minyak untuk mengetahui bakteri dalam spesimen. Banyak yang gagal. Bakteri baru terlihat ketika Kariadi mencoba minyak daun kenanga pada 1944. Kariadi menamai minyak itu “Minyak Semarang”. Keuletan Kariadi itu membuatnya bisa menangani pasien malaria atau tuberkulosis lebih tepat. Bahkan pemberian minyak itu pula yang menjadi terapi penyembuhan para pasien
Penemuan minyak tersebut mendapat publikasi dari koran di Makassar. Dengan persetujuan Izi Hooko Kai—perkumpulan ahli obat—minyak itu dinamai Oleum Pro-Mikroskopi Kar. Kata “Kar” di belakang merujuk pada nama Kariadi sebagai penemunya.
Para ahli obat di Semarang dan daerah lain menyambut temuan Kariadi itu dengan pujian. Soetjahjo, dokter paru-paru asal Surabaya, menyebutkan minyak kenanga itu, selain wangi sehingga membuat betah peneliti, berkualitas bagus dalam menyembuhkan pasien tuberkulosis.
Temuan itu membuat Kariadi kian giat membuat penelitian dan publikasi ilmiah. Dalam Berita Ketabiban, 24 Desember 1942, ia menulis artikel “Index Penoelaran jang amat tinggi dari A. Subpictus (Grassi 1899) (Myzomia Rossi)”. Keaktifan menulis dalam banyak publikasi itu membuat Kariadi tak perlu menempuh ujian doktor ketika melanjutkan studi di Sekolah Kedokteran Tinggi di Jakarta.
Kekalahan Jepang di Pasifik oleh tentara Sekutu, yang ditandai dengan bom Hiroshima dan Nagasaki yang mengisyaratkan berakhirnya Perang Dunia II, keadaan Semarang justru memanas. Terutama ketika Sukarno-Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Jepang yang kalah merasa belum menyerah, sementara Belanda kembali ke Indonesia. Para pemuda pejuang menduduki instansi sipil, perkebunan, dan pabrik-pabrik karena merasa Indonesia sudah menjadi negara bebas.
Mereka juga meminta tentara Jepang melucuti senjatanya. Sebagian menuruti permintaan itu. Tapi Kidobutai, pasukan elite Jepang yang dipimpin Mayor Kido Shinichiro, menolak. Penolakan yang berbuah serangan sporadis para pemuda ke pelbagai mes perwira Jepang.
Dokter Kariadi bersama dengan istrinya drg Soenarti di Manokwari, 1933. Dok. Keluarga/Biografi Dokter Kariadi Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Bandung
Mayor Shinichiro membalas serangan itu. Tak hanya menyerang balik markas laskar pemuda, tentara Jepang juga menyerbu polisi Republik yang berjaga di Reservoir Siranda, sumber air masyarakat Semarang. Serangan itu memunculkan isu bahwa tentara Jepang menabur racun di penampungan air tersebut untuk memusnahkan penduduk Semarang.
Cemas terhadap isu itu, Kariadi hendak mengeceknya. Namun, karena situasi masih panas, tentara Jepang menghadangnya sebelum sampai di reservoir. Adu mulut tak terhindarkan. Bahkan mereka beradu fisik hingga seorang tentara Jepang meletuskan senapannya. Kariadi roboh bersimbah darah.
Sopir yang menyetir mobilnya membawanya ke rumah sakit, tapi ia tak tertolong. Penembakan itu membuat laskar pemuda naik pitam. Serangan balik yang dikenal sebagai Pertempuran Lima Hari pun meletus di Semarang hingga Jepang menawarkan gencatan senjata karena terpepet menghadapi perlawanan pemuda dan rakyat Semarang yang marah.
Tiga hari kemudian, di tengah dentuman bom serta desingan peluru, jenazah Kariadi dimakamkan di halaman Purusara. Enam belas tahun kemudian, kerangka tubuhnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal.
Untuk mengenang jasa-jasa Kariadi, setelah ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1964, Purusara berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi, Semarang. “Bangunan peninggalan Belanda yang menjadi pusat rumah sakit telah menjadi cagar budaya,” kata Parna, juru bicara rumah sakit.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo