Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Boentaran Martoadmodjo aktif dalam pergerakan kemerdekaan serta menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
Boentaran dipenjara karena menolak pemerintahan Sutan Sjahrir.
Tak hanya mendirikan Palang Merah Indonesia, Boentaran juga mendirikan Rumah Sakit Jakarta.
TUGAS khusus dari Presiden Sukarno diterima oleh dokter Raden Boentaran Martoadmodjo pada 3 September 1945. Menteri Kesehatan pertama Indonesia yang baru sekitar dua pekan menjabat itu diperintahkan membentuk badan palang merah. Dalam buku Mengenal Palang Merah Indonesia dan Badan SAR Nasional disebutkan bahwa Boentaran langsung bergerak mengerjakan tugasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boentaran mengumpulkan sejawatnya yang juga aktif dalam gerakan kemerdekaan. Dua hari setelah perintah turun, dia membentuk Panitia Lima dengan ketua Raden Mochtar, dikenal sebagai pendiri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dan sekretaris Bahder Djohan—menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1950-1951. Sedangkan anggotanya adalah Djoehana Wiradikarta, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, serta Marzuki dan Sitanala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
dr Boentaran Martoatmodjo di pelantikan lulusan pertama sekolah pembantu perawat. Repro TEMPO//Nurdiansah
Sejarawan Yayasan Bung Karno, Rushdy Hoesein, menuturkan, salah satu yang dibahas tim itu adalah rencana pembentukan palang merah yang kerap gagal sejak 1932. Ketika itu, salah satu pencetusnya adalah Bahder Djohan. Kegagalan itu terjadi karena ada penolakan keras dari Belanda dan Jepang. “Karena dianggap bisa memperkuat persatuan masyarakat,” ujar Rushdy.
Panitia Lima, kata Rushdy, tak ingin pembentukan itu gagal lagi. Mereka menilai palang merah dibutuhkan segera dalam suasana Indonesia baru saja merdeka dan masih ada potensi terjadi konfrontasi dengan Belanda. Selama dua pekan, Panitia Lima menggodok pembentukan palang merah. Pada 17 September 1945, atau sebulan setelah proklamasi kemerdekaan, terbentuklah Palang Merah Indonesia. Wakil Presiden Mohammad Hatta meresmikan PMI dan menjadi ketuanya. Sedangkan Boentaran menjabat ketua harian hingga 1949. Menurut Rushdy, PMI berkantor di seberang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat.
•••
Dr Boentaran Martoadmodjo berbicara dalam Kongres Umum Buruh di Bandung, 1951. DOKUMENTASI KELUARGA
BERCITA-cita menjadi dokter, Boentaran Martoadmodjo masuk School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Batavia, yang merupakan sekolah pendidikan untuk dokter pribumi. Pria kelahiran Purworejo, 11 Januari 1895, itu lulus dengan gelar Indish Arts. Ia lalu ditugasi di kantor inspeksi di Semarang, yang berada di bawah pengelolaan pemerintah Hindia Belanda. “Boentaran juga pernah ke Kalimantan untuk membasmi penyakit kolera,” kata keponakan Boentaran, Tri Budhy Hartaty Budhy Rahayu, Sabtu, 8 Agustus lalu.
Dalam buku karya Gunseikanbu berjudul Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (1986) tertulis sejumlah kiprah Boentaran dalam bidang kesehatan. Misalnya dia pernah menjadi dokter kerja di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, dan dokter di Kraksan, Kabupaten Jember, Jawa Timur, serta ikut membasmi penyakit lepra di Semarang, Jawa Tengah. Boentaran juga menempuh pendidikan dokter di Universiteit Leiden, Belanda, pada 1928-1931 dan tercatat sebagai pengurus Indische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia.
Organisasi itu berisi anak muda Indonesia yang menginginkan kemerdekaan. Salah satu tokohnya adalah Mohammad Hatta. Boentaran juga menjadikan rumahnya saat kuliah di Belanda sebagai markas perhimpunan. Boentaran yang berstatus sebagai dokter Hindia Belanda hampir dipulangkan karena aktivitasnya mendukung kemerdekaan Indonesia. Namun ia batal dideportasi karena salah seorang profesor menjaminnya.
Boentaran makin tercemplung dalam dunia kemerdekaan ketika ia kembali ke Indonesia pada 1931. Misalnya dia bergabung dengan Perserikatan Nasional Indonesia. Ia juga menjadi pemimpin Komite Pembantu Rakyat dan Ketua Ikatan Dokter Indonesia. Puncaknya, Boentaran bergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 1945.
Dalam rapat besar BPUPKI pada 15 Juli 1945, Boentaran mengemukakan pendapatnya mengenai kesehatan. Saat itu, pertemuan sedang merumuskan konstitusi negara. Boentaran menanggapi pernyataan anggota BPUPKI lain, Poerbonegoro Soemitro Kolopaking, yang menyebutkan bahwa rancangan undang-undang dasar tak mengatur soal kesehatan, hak tanah, dan hak berkumpul.
Seperti tertulis dalam Majalah Konstitusi terbitan Mahkamah Konstitusi pada 2013, Boentaran menyoroti pasal yang menyebutkan negara memelihara fakir miskin dan anak-anak telantar. Menurut dia, seharusnya pasal tersebut juga mengatur soal pemeliharaan kesehatan masyarakat. “Apabila kesehatan rakyat dipelihara, dengan sendirinya tidak ada fakir miskin dan anak telantar,” ucap Boentaran dalam rapat.
Pernyataan Boentaran lalu disanggah oleh anggota BPUPKI lain, Soepomo. Dia mengatakan ketentuan itu tidak bisa dimasukkan karena tak ada negara di mana pun yang lepas dari kemiskinan, termasuk Indonesia. Ihwal kesehatan, Soepomo menuturkan, kata tersebut tak mungkin dimasukkan karena belum tentu semua penduduk mengakui negara yang baru akan merdeka.
Pemimpin sidang, Radjiman Wedyodiningrat, lalu mempersilakan Boentaran menjawab sanggahan Soepomo. Namun dia memilih tidak memperpanjang perdebatan meskipun tak menyetujui sepenuhnya isi pasal tersebut. Alasannya saat itu adalah, “Untuk menjalankan pemerintahan negara yang merdeka,” ujar Boentaran.
Setelah Indonesia merdeka, Presiden Sukarno menjadikan Boentaran sebagai Menteri Kesehatan. Rushdy Hoesein mengatakan kiprah Boentaran sebagai dokter dan keterlibatannya dalam gerakan kemerdekaan menjadi alasan pria itu ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan. Namun usia jabatannya tidak panjang. Dia hanya menjabat hingga November 1945.
Setelah melepas jabatannya, Boentaran bergabung dalam kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang didirikan Tan Malaka. Bersama sejumlah anggota kelompok itu, yaitu Iwa Kusumasumantri, Mohammad Yamin, dan adiknya, Raden Sundoro Budhyarto Martoatmodjo, dia menentang kabinet yang dibentuk Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada November 1945. Pada 26 Juni 1946, organisasi itu menculik Sjahrir di Solo.
Dalam buku Tan Malaka berjudul Dari Penjara ke Penjara Jilid 3 disebutkan bahwa Sjahrir diculik karena dianggap terlalu mudah bernegosiasi dengan Belanda, yang ingin kembali menguasai Indonesia. Persatuan Perjuangan lalu membuat maklumat yang dikirimkan kepada Sukarno. Isinya antara lain pemberhentian kabinet Sjahrir serta Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik. Nama Boentaran ada dalam Dewan Pimpinan Politik.
Sukarno berang terhadap penculikan itu dan mengeluarkan maklumat pembebasan Sjahrir. Tak lama kemudian, Sjahrir dibebaskan dan kembali ditunjuk sebagai perdana menteri. Pada 10 November 1946, Sjahrir memimpin Perundingan Linggarjati dengan Belanda. Hasilnya, Belanda hanya mengakui kemerdekaan Indonesia di Sumatera, Jawa, dan Madura. “Boentaran dan ayah saya maunya seluruh Indonesia merdeka,” kata putri Budhyarto Martoatmodjo yang juga kemenakan Boentaran, Tri Budhy Hartaty Budhy Rahayu.
Dianggap menentang pemerintah, Boentaran akhirnya dipenjara pada 1948-1950. Namun dia tak berhenti ikut dalam kegiatan politik. Boentaran tercatat pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Sembari praktik sebagai dokter di Jakarta dan Yogyakarta, Boentaran juga menjabat Wakil Ketua Umum Partai Indonesia (Partindo) pada 1960.
•••
UNDANGAN makan bersama Presiden Sukarno dilontarkan oleh Aris Moenandar kepada Raden Boentaran Martoadmodjo suatu hari pada 1953. Ketika itu Aris, yang merupakan pejabat di Kementerian Sosial dan orang dekat Sukarno, ingin membuat rumah sakit di Jakarta. Saat itu, Ibu Kota baru memiliki sedikit rumah sakit, yang hanya bisa diakses kalangan terbatas.
dr Boentaran Martoatmodjo di pelantikan lulusan pertama sekolah pembantu perawat. Repro TEMPO//Nurdiansah
Menurut cucu Boentaran, Ida Faiza, kakeknya menyatakan bersedia membuat rumah sakit baru. “Akhirnya Sukarno memberikan lahan di Sudirman,” ucap Ida, Selasa, 11 Agustus lalu. Lahan itu berada di Jalan Jenderal Sudirman Kaveling 49, yang awalnya merupakan tempat Pekan Raya Ekonomi Internasional, dengan luas 9 hektare. Menurut Ida, Presiden Sukarno memberikan lahan itu karena tertegun pada niat pembuatan rumah sakit yang bersifat nasional, tidak membedakan asal-usul, suku, agama, dan politik.
Boentaran ditunjuk sebagai ketua formatur pembentukan yayasan dalam rapat di rumah Ketua Perhimpunan Budi Kemuliaan Dokter Seno Sastroamidjojo pada 10 November 1953. Pertemuan pun berlanjut dan dihadiri 22 tokoh, di antaranya Adam Malik—belakangan menjadi Menteri Luar Negeri dan wakil presiden ketiga—dan Wakil Wali Kota Jakarta Raya Raden Soeratno Sastroamidjojo.
Semua peserta yang hadir bersepakat mendirikan Yayasan Rumah Sakit Jakarta. “Masing-masing menyumbang 100 gulden,” ujar Ida. Boentaran pun menjadi Ketua Yayasan sampai 1970. Menurut Ida, ibunya, Tri Moeljani Boentaran, bercerita bahwa Boentaran jarang memberikan logam emas kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga di rumah. “Kalau ada duit pasti diberikan ke Yayasan,” kata Ida.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo