Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Salep mujarab Leimena dan awal perjumpaan dengan Sukarno.
Leimena menjawab hasil survei pelayanan medis yang mengenaskan.
Tak tenggelam gerakan Jong Ambon dalam urusan kesehatan.
KAKI Catharina Leimena kecil tak henti diserang gatal. Kala itu, sekitar 1943, Jepang masih menduduki Nusantara. Penyakit kulit mewabah. Gatal yang terus digaruk berujung luka menganga. “Bukan saya saja, saudara-saudara juga, tukang, semua borokan,” kata Catharina, Senin, 10 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Catharina, perempuan yang September nanti genap berusia 84 tahun, masih ingat betapa wabah penyakit kulit itu membuat ayahnya, Johannes Leimena, yang baru didapuk memimpin Rumah Sakit Tangerang, makin sibuk. Racikan dokter Leimena yang dijajal ke anak-anaknya terbukti manjur, bisa menyembuhkan gatal dan borok di kulit. Kabar tentang obat mujarab ini pun menyebar, banyak yang menjulukinya sebagai salep Leimena.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dr. Leimena (depan, ketiga dari kanan) sebagai delegasi Perjanjian Renville. Istimewa
Remy Jesaja Leimena, dokter yang juga adik Catharina, mengatakan obat itu merupakan racikan sederhana salicyl zwavel zalf, kombinasi acid salicyl dan sulfur praecipitatum. “Itu salep kulit,” kata Remy, yang pernah menjabat Direktur Utama Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia, Jakarta.
Bukan hanya soal salep, Jo—begitu Johannes Leimena biasa dipanggil—juga kondang karena selalu siap sedia kapan pun tenaganya dibutuhkan. Namun Peristiwa Lengkong pada 25 Januari 1946 yang belakangan membelokkan jalan hidupnya untuk kembali ke pusaran politik.
Ketika itu, Rumah Sakit Tangerang merawat sejumlah taruna Akademi Militer Tangerang yang terluka dalam pelucutan senjata secara damai yang berakhir dengan pertempuran di markas Jepang, Desa Lengkong. Seorang taruna yang dirawat, Soekadi, akhirnya tak tertolong dan menambah jumlah korban tewas menjadi 37 orang dalam pertempuran yang dipimpin Mayor Daan Mogot itu.
Mayor Jenderal Tentara Nasional Indonesia (Purnawirawan) Profesor Dr Satrio menyaksikan bagaimana Leimena, seniornya di The School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), turun langsung ke meja operasi yang minim alat. “Lampu penerangan operasi adalah lampu biasa dengan ‘kukusan’ sebagai reflektor,” tulis Satrio dalam Buku Kenangan Dr. Leimena yang terbit pada 1979, dua tahun setelah Leimena meninggal.
Terpukul oleh gugurnya para perwira muda dan taruna dalam Peristiwa Lengkong, Presiden Sukarno mendatangi Rumah Sakit Tangerang. Ini menjadi perkenalannya dengan Leimena, dokter kelahiran Ambon yang dalam dua dekade selanjutnya berkutat mengurus banyak persoalan Republik.
•••
“RUSTIG, rustig, rustig.”
Kosakata Belanda yang berarti tenang itu selalu meluncur dari bibir Johannes Leimena di hampir setiap kesempatan, dari meja perundingan hingga menghadapi wartawan. Jo memang dikenal sangat tenang menghadapi segala urusan. Dalam Buku Kenangan Dr. Leimena, Sultan Hamengkubuwono IX menuturkan, tak seorang pun yang tidak bisa merasakan ketenangan jiwa pria kelahiran Amboina, 6 Maret 1905, ini.
Itu sebabnya, Jo lebih sering dipanggil dengan sebutan “om”, bukan “bung” seperti banyak tokoh saling memanggil pada masa kemerdekaan. Banyak sejawat yang memandangnya sebagai bapak, sesepuh. “Memang demikianlah peran Om Jo dalam hubungan dengan rekan-rekannya,” kata Hamengkubuwono IX, yang kerap menginap di kediaman Leimena ketika melawat ke Jakarta.
Leimena (tengah) bersama Bung Karno (kanan). Repro buku Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa
Dua bulan seusai Peristiwa Lengkong, Sutan Sjahrir menghubungi Leimena untuk bergabung dengan kabinet. Amir Sjarifuddin, kawan lama Leimena yang ketika itu menjabat Menteri Penerangan pada Kabinet Sjahrir I, juga membujuk Leimena agar turut membangun pemerintahan yang baru terbentuk. Namun Leimena menolak halus dengan alasan tugasnya sebagai dokter lebih penting. “Itu nanti saja, sekarang kita sedang berjuang,” ucap Amir, yang akhirnya membuat Leimena luluh.
Sjahrir pun mengirimkan mobil ke Tangerang untuk menjemput Leimena. Ia diangkat sebagai Menteri Muda Kesehatan, di bawah Menteri Kesehatan Darma Setiawan, pada Maret 1946. Setahun kemudian, di era Kabinet Amir Sjarifuddin, jabatan Menteri Kesehatan mulai diembannya. Namanya tak putus di posisi ini sepanjang sepuluh tahun kemudian, meski pada periode ini kabinet berulang kali dibongkar-pasang seiring dengan pergantian pimpinan, dari Mohammad Hatta hingga Burhanuddin Harahap. Leimena bahkan tetap di kabinet dengan jabatan berbeda hingga Presiden Sukarno dicopot pada 1966.
Pada masa baktinya di pusat pemerintahan itulah Leimena mulai membenahi sektor kesehatan, yang bertahun-tahun mengalami kemunduran akibat pergolakan politik dan cekaknya keuangan negara. Ketika itu, Departemen Kesehatan—kini Kementerian Kesehatan—mengalami krisis tenaga dokter, paramedis, hingga pegawai administrasi.
Berupaya membangun sistem kesehatan masyarakat yang mumpuni, Leimena memerintahkan pelaksanaan survei serta pendataan ulang semua peralatan dan personalia di Departemen Kesehatan. Hasilnya, di seluruh Indonesia ada 680 rumah sakit milik pemerintah dan swasta, dengan 60 ribu tempat tidur. Artinya, hanya ada 8 unit tempat tidur untuk setiap 10 ribu jiwa penduduk Indonesia saat itu, atau 0,8 per mil.
Kondisi ini begitu memprihatinkan. Pada masa itu, rasio jumlah tempat tidur rumah sakit di Sri Lanka bahkan sudah 2 per mil. Sedangkan di Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat angkanya berkisar 3,5-10,4 per mil.
Data personalia tak kalah menyedihkan. Jumlah dokter tercatat hanya 1.200 orang, dengan tenaga medis sebanyak 4.976 orang, apoteker 80 orang, dan asisten apoteker 650 orang. Mereka harus melayani 75 juta jiwa penduduk Indonesia. Masalah lain: sebagian besar di antara personalia itu, juga peralatan kesehatan, berada di perkotaan, yang hanya menampung 30 persen dari total penduduk.
Dari sana, Leimena membentuk dua instansi baru, yaitu Jawatan Pendidikan Kesehatan Rakyat dan Jawatan Usaha Higiene. Jawatan yang pertama bertugas mendidik tenaga medis, mempelajari cara dan peralatan yang efisien, serta mensosialisasi kesehatan kepada masyarakat. Adapun Jawatan Usaha Higiene membuat pusat-pusat percontohan untuk meningkatkan aspek kuratif atau pengobatan dan upaya preventif.
Bandung menjadi pusat percontohan pertama yang dibangun dengan sebutan Bandung Plan. Aspek kuratif dipusatkan di rumah sakit umum milik pemerintah di sana. Di setiap kawedanan, pemerintahan administratif yang dulu ada di antara kabupaten dan kecamatan, dibangun sebuah rumah sakit pembantu yang dilengkapi 40-70 tempat tidur untuk menampung kasus ringan. Selanjutnya, pemerintah membangun balai pengobatan di setiap kecamatan, yang ditangani seorang juru rawat dari rumah sakit pembantu. Keduanya, rumah sakit pembantu dan balai pengobatan, diawasi seorang dokter rumah sakit umum.
Pada saat yang sama, upaya preventif digalakkan di desa-desa. Bagian ini digarap juru higiene (juru kesehatan) dengan memberikan pendidikan kesehatan serta mengawasi kebersihan rumah, pasar, sampai warung. Tugas mereka termasuk memantau sumber penyakit, seperti nyamuk dan lalat. Juru higiene dilatih dan diawasi mantri kesehatan.
Bandung Plan mulanya diuji coba di dua kecamatan, yakni Rancaekek dan Majalaya. Satu hingga tiga desa mendapat sebuah balai pengobatan dan juru higiene. Balai pengobatan yang berada di tingkat kecamatan mengawasi kegiatan pengobatan.
Konsep serupa dirintis di Yogyakarta. Hingga 1954, sistem ini telah terbangun di tujuh kecamatan di sana. Demikian pula di Magelang, Jawa Tengah. Di wilayah itu terdapat sekolah pendidikan higiene yang memakai balai pengobatan di kecamatan sebagai tempat praktik. Pemerintah juga mengaktifkan kembali Balai Penelitian Kesehatan Masyarakat di Jakarta, yang dibangun pada 1937. “Bandung Plan adalah embrio dari sistem rujukan yang sekarang dikembangkan Kementerian Kesehatan,” kata Dr Satrio, Menteri Kesehatan pada akhir pemerintahan Orde Lama.
Pola dasar pembinaan kesehatan masyarakat gagasan Leimena berlanjut pada masa Orde Baru. Buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia yang disusun pada 1975 menyebutkan sistem pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) merupakan pengembangan dari Bandung Plan.
Presiden Soeharto turut menghargai kiprah Leimena. “Kita melihat poster pemimpin bangsa yang sampai akhir hayat tetap memberi keteladanan dalam kesederhanaan hidup, semangat kerukunan, jiwa pengabdian, dan vitalitas perjuangan untuk kepentingan bangsa dan tanah air,” tutur Soeharto saat memberikan sambutan dalam peluncuran Buku Kenangan Dr. Leimena pada 1980.
•••
LULUS dari STOVIA pada 1930, Johannes Leimena mengawali kariernya sebagai dokter di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting Batavia—sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tapi pekerjaan ini tak berlangsung lama.
Pada tahun yang sama, Gunung Merapi di Karesidenan Kedu meletus, memuntahkan lahar dan awan panas, hingga mengubur 13 desa dan merusak 23 desa lain. Leimena ditugasi membantu penanganan bencana erupsi di wilayah yang kini terbagi menjadi sejumlah kabupaten di Jawa Tengah tersebut.
Amanah baru datang setelahnya. Rumah Sakit Zending Immanuel, Bandung, menjadi tempat pengabdian Leimena sampai 1941. Rumah sakit yang diselenggarakan Lembaga Misionaris Belanda (NZV) itu tak asing bagi Leimena. Begitu pula sebaliknya. Dia kerap datang ketika melakoni co schap—praktik klinik alias magang.
Pada tahun pertamanya bertugas, Leimena didapuk memimpin bagian anti-opium, yang merawat para pecandu morfin. Karakternya sebagai penganut Kristen yang taat terlihat di sini. Ia tak hanya menggunakan pendekatan medis, tapi juga spiritual. Leimena, misalnya, selalu berupaya meyakinkan penderita bahwa candu tak hanya bertentangan dengan kesehatan, tapi juga kodrat manusia. Dia pun selalu memulai kegiatan sehari-hari di rumah sakit dengan kebaktian pendek, baru kemudian berkeliling zaal alias ruang pengobatan.
Setahun sebelum Belanda menyerah tanpa syarat kepada Dai Nippon, Leimena pindah tugas, dari Bandung ke Purwakarta, untuk memimpin Rumah Sakit Zending Bayu Asih. Kepindahan ini adalah promosi. Dua tahun sebelumnya, pada 1939, Leimena mendapat gelar doktor setelah menamatkan pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS) di Batavia.
Posisi Leimena sebagai Direktur Rumah Sakit Bayu Asih tak berubah pada era pendudukan Jepang. Namun, belakangan, Kenpeitai atau satuan Polisi Militer Jepang menangkap Leimena. Kenpeitai menahannya di kantor pusat mereka di bekas gedung Rechts Hogeschool—sekarang kantor Kementerian Pertahanan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta—pada 1943.
Keluarga besar Johannes Leimena hadir dalam peresmian Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Johannes Leimena di Ambon, Oktober 2019. Dok. Catharina W. Leimena
Leimena tak tahu persis alasan penangkapan itu. Namun ia menduga salah satunya berkaitan dengan kedekatannya dengan Amir Sjarifuddin, yang pada waktu hampir bersamaan juga ditangkap tentara Jepang karena diduga terlibat dalam gerakan bawah tanah bikinan sekutu.
Beberapa waktu sebelum penangkapan itu, Leimena memang bertemu dengan Amir di Batavia. Keduanya kawan lama di kepanitiaan persiapan Kongres Pemuda II, Oktober 1928. Amir sebagai perwakilan Jong Batak menjabat bendahara, sedangkan Leimena dari Jong Ambon adalah Pembantu Umum IV.
Berbeda dengan kolega-koleganya di pergerakan mahasiswa, Leimena memang menjauh dari pusaran politik selepas kongres tersebut. Dia berkutat di aktivitas kedokteran dan gereja. Begitu pula ketika Kepala Dinas Kesehatan Jakarta Surono menempatkannya kembali sebagai dokter pemerintah di Tangerang setelah keluar dari penjara tentara Jepang. Kala itu, Leimena sibuk menata ulang Rumah Sakit Tangerang, yang lebih tepat disebut poliklinik besar dengan gedung dan kegiatan pelayanan yang tak keruan.
Namun Frans Hitipeuw dalam bukunya, Dr. Johannes Leimena: Karya dan Pengabdiannya, mencatat bagaimana Tangerang hanya menjadi lokasi “gerilya” baru bagi Leimena. Dia tak pernah betul-betul tenggelam. Di balik kesibukannya sebagai dokter, ia tak henti menebar pengaruh ke banyak kelompok gerakan, bahkan yang berlawanan, sebelum hingga setelah kemerdekaan.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo