Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dokter Gembel Aktivis Politik

Moewardi tak ragu menggratiskan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Ia aktif dalam banyak organisasi kemasyarakatan, kepanduan, juga politik, dan menjadi orang kepercayaan Tan Malaka. Akhir hidupnya tak terlacak.

15 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Moewardi kerap menggratiskan biaya kesehatan untuk masyarakat miskin.

  • Pengalaman masa kecil dan kepanduan yang mengasah kebulatan tekad menjadi 'dokter gembel'.

  • Bersama Sardjito dan Abdulrahman Saleh mendirikan Sekolah Kedokteran Klinik dan Praklinik di Klaten.

PENGUMUMAN dalam surat kabar Pemandangan pada 1 Desember 1934 menarik perhatian masyarakat Batavia saat itu. Isinya menyatakan pada 2 Desember 1934, mulai pukul 06.00 sampai pukul 24.00, semua orang boleh berobat ke klinik dokter Moewardi di Jalan Raden Saleh. Masyarakat berkantong cekak bisa mengambil obat dengan cuma-cuma.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Moewardi baru berusia 27 tahun waktu itu. Menggratiskan pengobatan bagi orang miskin tidak umum. Tapi itu telah menjadi cita-cita yang dipendamnya sejak kuliah di sekolah kedokteran pribumi atau School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Ia lulus pada 1 Desember 1933. Maka iklan itu adalah pengumumannya pada hari pertama praktik dokter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak keenam Moewardi, Banteng Witjaksono, kini 74 tahun, menuturkan dari cerita ibunya, ia mendapat banyak cerita “kegilaan” ayahnya selama menjadi dokter. Misalnya, kepada pasien yang datang dan mengaku belum makan, Moewardi justru memberikan uang jajan.

Banteng masih berusia dua tahun ketika ayahnya diculik empat pemuda komunis saat sedang bekerja di Rumah Sakit Jebres di Surakarta, Jawa Tengah, pada 13 September 1948. Ia praktis tak bisa mengenang ayahnya, yang waktu itu berusia 41 tahun. Dari ibunya, Soesilowati, kisah-kisah tentang ayahnya ia dapatkan.

Dokter Moewardi berbicara dalam sidang KNIP di Malang, 1947. Dok. Keluarga

Moewardi memiliki tujuh anak: dua dari istri pertama dan lima dari istri kedua. Moewardi menikah dengan Soeprapti pada 1932. Keduanya memiliki dua anak, Sri Sejati dan Adi S. Moewardi. Soeprapti meninggal saat melahirkan Adi karena mengalami perlengketan rahim. Moewardi baru menikah lagi dengan Soesilowati, 23 tahun, anak seorang pejabat Surakarta, pada 1939.

Banteng anak nomor empat Soesilowati. Tiga kakaknya adalah Ataswarin Komariyah, Kusumarita, dan Cipto Yuwono. Ia punya satu adik, Happy Wahyungsih. Sebelum hilang diculik, Moewardi mengecup pipi dua anak terkecilnya itu sebelum berangkat kerja.

Lichte Christian, cucu Sri Sejati, pernah mendengar kisah serupa tentang “kegilaan” buyutnya itu. “Pasien yang tidak bisa bayar pakai uang bayar pakai sayur atau buah, ya apa saja yang mereka punya,” ucap Lichte menirukan cerita Sri. Tarif berobat Moewardi, kata Lichte, 26 tahun, paling murah dibanding dokter-dokter lain di Batavia.

Soesilowati, Banteng melanjutkan, pernah bercerita bahwa ayahnya tak selalu mematok harga murah. Ia memasang tarif mahal kepada pasien orang Belanda. Juga kepada pribumi yang ia nilai orang kaya. Dari tarif mahal kepada mereka itu, Moewardi bisa menyubsidi obat bagi orang miskin.

Ia juga tak segan datang ke kampung-kampung untuk mengobati masyarakat kecil, kapan saja dibutuhkan, dibayar atau tidak. Ada satu kisah yang diingat Banteng ketika ayahnya dipanggil untuk mengobati seorang penduduk Tanah Abang. Tanah Abang tahun 1930-an adalah wilayah kumuh dengan jalan becek jika hujan.

Ketika sampai di sana, Moewardi disambut penduduk yang menawarkan punggung untuk menggendongnya karena khawatir celana dan sepatunya kotor. Meski ditampik, penduduk memaksa karena mereka tahu Moewardi akan menolak dibayar ketika sudah mengobati pasien yang miskin.

Atas kedermawanannya itu, Moewardi dijuluki “Dokter Gembel”.

•••

MOEWARDI lahir pada Rabu Pahing, 30 Januari 1907, pukul 10.15, di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah. Ia anak ketujuh dari 13 bersaudara dari pasangan Mas Sastrowardojo dan Roepeni. Sejak kecil anak-anak Sastrowardojo punya keistimewaan karena orang tua mereka bekerja sebagai guru yang terhormat pada masa itu.

Moewardi juga cemerlang di sekolah. Menurut sejarawan Rushdy Hoesein, Moewardi selalu menjadi yang terpandai di kelasnya. Rushdy menggambarkan sosoknya sebagai seseorang yang bertekad baja. “Dia punya prinsip harus dapat nilai 10 kalau gurunya seorang Belanda untuk menunjukkan bumiputra tidak bisa diremehkan,” kata Rushdy.

Prinsip ini terus dibawa sampai Moewardi mengenyam pendidikan dokter di STOVIA. Prinsip lain yang ia bawa adalah mengenai hidup hemat. Dalam buku Dr. Moewardi, Pencipta Pandu Rakyat Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1981/1982 yang memuat hasil wawancara dengan Soenarto dan Soepadi, kakak Moewardi, sewaktu bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), mereka hanya diberi uang saku 25 sen gulden sebulan.

Soenarto dan Moewardi bersiasat agar uang tersebut tak cepat habis. Mereka mengatur pengeluaran dengan bergantian membayar kebutuhan 1 sen dan 0,5 sen. “Di akhir bulan selalu ada kelebihan uang yang bisa dipakai untuk kesenangan bersama,” tutur Soepadi.

Soepadi mengingat Moewardi kecil sebagai sosok yang agak jahil. Jika ada cikar (gerobak yang ditarik lembu) lewat di depan rumah mereka, ia akan melompat dan membonceng di belakang tanpa izin sais. Moewardi tak mau turun meski sais mengusirnya. Ia baru turun ketika sais mengacungkan cambuk sapi.

Saat duduk di kelas V ELS, Moewardi mulai mengikuti organisasi pandu Spoorzoeker. Menurut Soepadi, keaktifan dalam kepanduan ini yang membuat Moewardi tak canggung mengomandoi kakak-kakaknya ketika ada rumah tetangga yang terbakar. “Mas, lekas ambil daun pisang, lekas ambil air, lekas ditutupi, lekas diguyurkan!”

Setelah tamat dari ELS pada 1922, Moewardi melanjutkan pendidikan ke STOVIA di Batavia. Di STOVIA, ia mendapat uang saku kedinasan per bulan sehingga memiliki tabungan berlimpah karena bisa hidup berhemat. Saban kali pulang ke Pati, ia selalu membawa oleh-oleh untuk keluarga. “Ini modal sikap yang membuat dia bisa bertahan menjadi ‘Dokter Gembel’ yang terus-menerus menggratiskan obat bagi si miskin,” kata Rushdy.

Dokter Moewardi (duduk) bersama dengan rekan-rekannya, 1930an. Dok. Keluarga

Menurut Rushdy, di STOVIA, Moewardi masih memegang teguh prinsip harus mendapat nilai 10 jika dosennya orang Belanda. “Karena dia berprinsip pintar saja tidak cukup, ia harus gigih jika ingin berhasil menjadi dokter,” ucapnya. Kegigihan ini membuat Moewardi cepat disukai pengajar dan senior-seniornya. Karena itu, di tahun awal, ia sudah ditawari bergabung dengan Jong Java, yang segera menjadi rumah keduanya.

Di sana ia bergabung dengan kepanduan Jong Java, Jong Java Padvinderij. Di luar Jong Java, ia juga aktif dalam Nederlansch Indiche Padvinder Vereneging, organisasi pandu yang beranggotakan pemuda Belanda dan bumiputra. Pada 1925, Moewardi menjadi pemimpin Jong Jawa Jakarta Raya karena seniornya, dokter Pirngadi, akan bertugas ke Medan.

Hari-hari Moewardi setelah itu sangat sibuk. Di kepanduan, ia tokoh yang menonjol lewat usaha-usaha menyatukan organisasi pandu yang ada. Di organisasi pemuda, ia berhasil mencetuskan Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda Nasional, 28 Oktober 1928.

Namanya membesar setelah memimpin Barisan Pelopor pada usia 37 tahun. Barisan Pelopor adalah perhimpunan pemuda di dalam Jawa Hokokai, organisasi paramiliter bentukan Jepang, yang memiliki jaringan hingga tiap kecamatan. Ia pun menjadi dekat dengan Presiden Sukarno dan sempat ditawari menduduki posisi Menteri Pertahanan. Moewardi menolak karena ingin tetap menjadi “Dokter Gembel”.

Barisan Pelopor lalu bersalin rupa menjadi Barisan Banteng pada 1946 yang bermarkas di Surakarta. Ia turun ke gelanggang politik karena memiliki kesamaan pandangan dengan Tan Malaka hingga Achmad Soebardjo.

•••

KEPINDAHAN Moewardi ke Surakarta pada 1946 berjalan mulus karena secara hampir bersamaan ia diminta Presiden Sukarno membantu Sardjito, Direktur Institut Pasteur Bandung, memindahkan laboratorium dari Bandung ke sana. Waktu itu, Moewardi masih aktif sebagai pengajar di Ikkadai Gakku, sekolah tabib di Jakarta.

Bermula dari mendaratnya tentara sekutu ke Bandung pada Oktober 1945, Menteri Kesehatan dokter Boentaran meminta Sardjito mengamankan seluruh isi laboratorium dari serbuan Sekutu. Saat itu Sardjito tengah mengembangkan vaksin cacar, penyakit yang menjadi momok bagi rakyat Indonesia pada 1940-an.

Di Jakarta, sementara itu, Moewardi tengah berseteru dengan Belanda yang ingin mengambil alih paksa institusi tempat ia mengajar. Ketika itu, Belanda ingin membuat enam fakultas yang menjadi sentra pendidikan tinggi di Indonesia. Ikkadai Gakku akan dibuat menjadi fakultas kedokteran.

Dua peristiwa ini menyatukan Moewardi dan Sardjito, yang bersepakat memindahkan seluruh kegiatan (penelitian dan pendidikan kedokteran) ke Klaten. Pada 4 Maret 1946, bersama Abdulrahman Saleh, mereka lantas membangun Departemen Klinik Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten. Sehari setelahnya, mereka mendirikan Departemen Praklinik di lokasi yang sama.

Di antara mereka bertiga, hanya Sardjito yang betul-betul berfokus pada dunia kedokteran. Abdulrahman Saleh saat itu aktif dalam kegiatan penerbangan bersama dinas Angkatan Udara. Sedangkan Moewardi aktif dalam pergerakan bersama organisasi-organisasi yang ia bentuk. Karena itu, Sardjito yang ditunjuk menjadi kepala perguruan tinggi tersebut, sementara Moewardi dan Abdulrahman Saleh hanya pengajar.

Sekolah ini menjadi tonggak berdirinya Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada di kemudian hari. Nama Moewardi diabadikan di Rumah Sakit Jebres, yang menjadi tempat praktik sekolah kedokteran tersebut. “Dari penelitian saya,” ucap Rushdy, “Dokter Moewardi selalu berpegang pada sumpah setia sebagai dokter dengan mengamalkan nilai-nilai patriotik dalam kepanduan.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus