Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

ArtJog dan Isu Lingkungan

ArtJog 2019 menyuguhkan karya yang menyoroti kerusakan lingkungan dan sumber daya alam. Konsepnya bukan lagi bursa seni, melainkan festival seni rupa kontemporer.

14 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karya perupa Teguh Ostenrik berjudul Daun Khatulistiwa atau Domus Frosiquilo di ArtJog 2019, Jogja National Museum, Yogyakarta. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMBARAN daun jati berbahan besi membentuk kubah seperti jendela melayang di tengah samudra. Dari balik celah-celah dedaunan muncul video meng-gambarkan pemandangan bawah laut Wakatobi, dari permukaan air laut hingga ekosistem terumbu karang. Keindahan terumbu karang dengan warna-warni flora dan binatang lautnya menyejukkan mata. Ada berbagai jenis hewan karang, alga, dan ikan.

Tapi kesejukan itu berubah menjadi kesedihan tatkala muncul karang yang memutih atau mati. Ekosistem terumbu karang rusak dan punah karena perubahan iklim. Permukaan dan suhu air laut naik. Sampah-sampah dibuang serampangan ke laut menjadi polutan yang menghancurkan ekosistem laut. Itulah beberapa penyebab kerusakan koral.

Dari dalam laut itu, seorang bocah bersuara: saya adalah koral. Anak itu mem-berikan peringatan keras tentang keru-sakan terumbu karang. Bila karang memutih atau mati, rantai makanan akan terputus sehingga berdampak pada ketersediaan ikan di laut dan ekosistem laut itu. Dia juga menarasikan pentingnya keberadaan ekosistem laut, yang menyumbang 70 persen oksigen.

Para penyelam berseliweran meneng-gelamkan besi di bawah laut. Besi-besi itu merupakan seni instalasi yang ditanam di laut agar menjadi terumbu karang sebagai rumah ikan. Di sejumlah bagian instalasi dicangkokkan beberapa potong koral atau terumbu.

Suasana bawah laut yang meresahkan itu karya perupa Teguh Ostenrik berjudul Daun Khatulistiwa atau Domus Frosiquilo. Seni instalasi berukuran 9 x 6 meter dalam bentuk kubah itu salah satu karya yang dipajang dalam pameran seni kontemporer ArtJog yang digelar di Jogja National Mu-seum, Yogyakarta, 25 Juli-25 Agustus 2019. Total 40 seniman berpameran. Karya mereka beragam, di antaranya seni insta-lasi, lukisan, dan video.

Lewat karya instalasi Daun Khatulistiwa, Teguh ingin mengajak orang-orang peduli terhadap kerusakan terumbu karang Indo-nesia. “Kerusakannya mengerikan di se-mua perairan Indonesia, hanya 6 persen yang masih bagus. Saya ingin orang terge-rak,” kata Teguh.  

Karya Teguh satu di antara lima karya seniman special project yang tampil dalam ArtJog 2019, yang bertema “Common Space”. Selain Teguh, ada Handiwirman Saputra, Sunaryo, Riri Riza, dan Piramida Gerilya—kolaborasi seniman lintas disiplin, di antaranya Indieguerillas, Singgih Susilo Kartono, dan Lulu Lutfi Labibi. Lima karya proyek spesial itu tampil dalam ukuran gigantis, dipajang di halaman dan lantai satu gedung pameran.

Teguh menggunakan pelat besi yang dipotong menggunakan laser sebagai bahan seni instalasi berbentuk daun jati. Dia memilih citraan daun jati karena daun ini punya bentuk artistik. Selain itu, pohon jati adalah tanaman yang semua bagiannya bisa dimanfaatkan. Pohon jati menjadi salah satu sumber oksigen yang menopang kehidupan makhluk hidup di bumi.

Seni instalasi berbentuk daun jati itu akan Teguh tenggelamkan di Pantai Jiko-malamo, Ternate, Maluku Utara, pada 23-28 September mendatang. Dia bekerja sama dengan Yayasan Terumbu Rupa dan PT Pelni untuk proyek tersebut. Sebe-lumnya, perupa lulusan jurusan seni murni di Hochschule der Künste, Jerman, ini bersama Yayasan Terumbu Rupa pernah me-nenggelamkan sepasang instalasi seni piramidanya. Karya berjudul Domus Piramidis Dugong itu ditanam di kawasan laut Pulau Bangka.

Tema lingkungan juga diangkat Handi-wir-man Saputra dalam karyanya yang berbentuk taman. Dia menggali halaman Jogja National Museum sedalam 5 meter dengan diameter 6 meter. Taman karya Handiwirman tidak terlihat indah, tapi berbentuk jurang menganga yang diisi buntelan plastik dalam ukuran besar dan kecil. Pada ujung buntelan itu tergantung benda serupa tali plastik. Ada juga bambu yang diisi buntelan plastik mini seperti batu yang ditata berbaris. Di lapisan terbawah jurang terdapat kaca.

Handiwirman juga membuat benda mirip pipa yang dibengkokkan. Kawat-kawat terpajang ruwet di antara cor-coran yang menopang tanah. Karya ini me--manfaatkan benda-benda di sekitar ha--laman museum, seperti benang, kawat, kertas, plastik, kain, dan rambut. Dia membiarkan lumut tumbuh di sekitar jurang itu. Handiwirman memberi judul karyanya Taman Organik Oh Plastik.

Perupa asal Bukittinggi, Sumatera Barat, yang juga anggota Kelompok Jendela itu dikenal banyak menghasilkan karya yang tampak remeh-temeh memanfaatkan ben-da-benda tak terpakai atau yang dianggap sebagai sampah. Karya itu memang me--nan-tang orang untuk berpikir apakah karya ter-sebut abstrak atau realis. “Biarkan benda-benda itu menyusun ceritanya sen-diri saat bertemu dengan publik,” tutur Handiwirman. 

Karya gigantis lain yang memanfaatkan bahan ramah lingkungan adalah instalasi berbahan bambu ciptaan perupa Sunaryo. Dia menjalin bambu melengkung menye-rupai perangkap ikan atau bubu berukuran raksasa membentuk lorong panjang. Lo-rong yang diberi nama Bubu Waktu ini menjadi pintu yang mengantarkan pengun-jung keluar setelah menikmati semua karya yang dipamerkan.

Di tengah lorong itu terdapat bambu yang seperti menembus dinding. Cahaya menyinari ujung bambu tersebut. Di bagian dasar bambu terdapat gambar ikan berenang. Pada bagian ini, Sunaryo meng-gambarkan lorong waktu. Dia juga menyertakan suara musik yang mene-nangkan, membawa orang pada suasana kontemplasi. Ada juga suara air yang menyejukkan hati dan musik meditatif.

Dua karya proyek spesial lain adalah hasil kolaborasi seniman lintas disiplin berjudul Murakabi dan seni instalasi karya sutradara Riri Riza bersama Studio Batu. Konsep Murakabi adalah warung bersama yang menjual makanan, minuman, dan pakaian lokal. Desainer Lulu Lutfi Labibi antara lain memajang lurik ciptaannya yang dijual. Saat pengunjung masuk ke sana, ada orang yang melafalkan kata-kata dalam bahasa Jawa. Di antaranya “tumbas”, yang berarti “beli”.

Karya Handiwirman Saputra berjudul Taman Organik Oh Plastik. TEMPO/Shinta Maharani

Riri Riza mengeksplorasi keindahan pemandangan Sumba, kepercayaan Ma-ra--pu, tradisi, ritual, dan berbagai kom-pleksitas persoalan daerah itu dalam seni instalasi. “Film tak cukup menggambarkan Sumba. Perlu medium lain untuk meng-hasilkan pengalaman yang berbeda,” ujar Riri.

ArtJog juga melibatkan seniman muda yang menyuguhkan karya-karya segar. Salah satunya karya Natasha Tontey. Natasha dikenal kerap menghasilkan karya dengan obyek yang menyeramkan dan menjijikkan. Dia membuat video insta-lasi yang bercerita tentang serangga berjudul Pest to Power. Dia menjadi salah satu pemenang penghargaan seniman muda yang digelar ArtJog untuk seniman ber-umur di bawah 35 tahun.

Kurator Agung Hujatnika menyebutkan tema ArtJog kali ini berangkat dari gagasan tentang ruang yang menyodorkan isu ak-tual yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Beberapa karya menyuguhkan perspektif ekologis dengan membicarakan sumber daya alam, yakni air, oksigen, lautan, dan sungai. “Karya-karya itu me-nang-kap fenomena pemanasan global, penggundulan hutan, dan polusi lautan oleh plastik,” ucap Agung.

Konsep ArtJog tahun ini sedikit berubah dari pergelaran sebelumnya. Direktur ArtJog Heri Pemad menyebut pameran ini sebagai festival, bukan bursa pasar seni rupa. Padahal selama ini orang mengenal ArtJog sebagai bursa pasar seni rupa yang identik dengan transaksi jual-beli karya, di antaranya lukisan. Kolektor datang ke ArtJog dan membeli lukisan. “Tidak ada yang berubah soal jual-beli karya. Hanya, kesuksesan ArtJog tidak ditentukan oleh sedikit-banyaknya karya yang laku dijual,” ujarnya.

Menurut Agung, festival seni rupa kon-tem-porer berbeda dengan art fair atau bursa seni rupa, yang lebih menekankan sisi komersial atau pasar. ArtJog dikategorikan sebagai festival seni kontemporer karena tidak melibatkan galeri secara langsung dalam transaksi jual-beli. “ArtJog bukan art fair. Waktunya menegaskan sebagai festival dengan konsep kemeriahan,” katanya.  

SHINTA MAHARANI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Tempo

Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus