Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Dua Prajurit

Soeharto membenci sekaligus menyayangi Benny Moerdani. Lama terputus, hubungan keduanya pulih setelah lengsernya sang Presiden.

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Biar jenderal atau menteri, yang bertindak inkonstitusional akan saya gebuk!” Kata-kata itu meluncur dari mulut Soeharto di atas pesawat kepresidenan, pertengahan 1989. Ketika itu dia dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia.

Soeharto tak menyebut nama tapi publik tahu siapa yang dimaksud. Leonardus Benyamin Moerdani. Di akhir 1980-an sang Presiden memang sedang sengit-sengitnya kepada Benny. Bawahan yang paling dia percaya itu berani menganjurkan dia untuk tidak lagi menjadi presiden serta menentang anak-anaknya.

Itulah isu yang berkembang. Mayjen (Pur) Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad, malah mengatakan Benny ingin melakukan kudeta. Informasi ini yang menurut Kivlan dilaporkan Prabowo Subianto kepada mertuanya yang berujung pemecatan Benny dari jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang Umum MPR 1988.

Benny tegas-tegas membantahnya. ”Bagi saya seorang prajurit yang pernah melawan pemimpin tertingginya berarti sudah cacat seumur hidupnya,” katanya kepada Brigjen (Pur) FX Bachtiar yang menanyakan hal itu.

Kata-kata Benny itu dikutip Bachtiar dalam artikelnya di biografi ”LB Moerdani Pengabdian Tanpa Akhir” yang terbit Desember 2004. Puluhan sahabat dan kenalan yang ikut menuliskan pengalaman mereka mengatakan Benny seorang loyalis. Ucapan Benny kepada Letjen (pur) Sofian Effendy menggambarkan hal itu: ”Soeharto adalah guru saya. Dia yang membesarkan saya.”

Membesarkan? Ya. Mereka berkenalan dalam Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat pada 1961. Soeharto, sang Komandan, mengagumi keberanian Kapten Benny yang ketika itu memimpin Pasukan Naga. Mereka kembali bertemu pada 1965 kala Benny ditempatkan di satuan intelijen Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang dipimpin Soeharto.

Hubungan mereka kian dekat. Setelah berkuasa, pada 1974 Soeharto mengangkat Benny menjadi Kepala Perwakilan RI di Seoul, Korea Selatan. Tapi Benny sering meninggalkan posnya karena punya tugas ”sampingan”: mengawal Soeharto dalam berbagai lawatan ke luar negeri. Lakon pengawal tak resmi ini dia jalankan hingga bertahun-tahun.

Saking percayanya, Pada 1975 Soeharto menunjuk Benny memimpin Operasi Seroja ke Timor Timur. Dan Benny sukses. Enam tahun kemudian, dia ditugaskan memimpin pasukan Kopasandha membebaskan pesawat GadudaWoyla DC-9 yang dibajak di Bandar Udara Don Muang, Thailand. Ada yang mengatakan itu rekayasa Soeharto agar bisa mendongkrak pangkat Benny.

Benar atau tidak, yang pasti sejak itu karir Benny maju pesat. Puncaknya ketika Soeharto menunjuk Benny sebagai Panglima ABRI dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988). Tapi, laporan Prabowo membuat Soeharto marah dan ”memensiunkan” anak emasnya itu lebih awal.

Mantan dokter tentara dalam Operasi Mandala Ben Mboi, bercerita, Soeharto sudah lama jengkel pada Benny. Soalnya, dia berani meminta si Bos ”menjauhkan” anak-anaknya dari kekuasaan. Itu dia sampaikan ketika keduanya bermain bilyar, sendirian, di Cendana. Saat itu Benny sudah menjadi Pangab. ”Ketika saya angkat masalah anak-anak itu, Pak Harto berhenti bermain, masuk kamar tidur dan tinggalkan saya di kamar bilyar,” ujar Benny kepada Ben.

Anehnya, Soeharto seperti tak bisa benar-benar membenci Benny. Ketika menyusun kabinetnya pada 1988, Benny mendapatkan pos menteri pertahanan dan keamanan. Keputusan tak terduga itu membuat Benny kalah taruhan dan harus membayar Laksamana (Pur) Sudomo satu set golf plus 2.000 bola.

Padahal ketika bertemu Sudomo beberapa waktu sebelum pengumunan kabinet, Soeharto masih amat marah pada Benny. Itu karena Benny mengusulkan penguasa Orde Baru untuk mundur dari pentas politik setelah 1993. Benny khawatir, kalau diteruskan nasib Soeharto akan seperti Presiden Soekarno: diturunkan dengan paksa.

Soeharto akhirnya diturunkan setelah huru-hara pada 1998. Tapi itu justru berkah bagi kedua ”sahabat” yang hampir sepuluh tahun marahan. Pada ulang tahun Soeharto pertama setelah lengser—8 Juni 1998— Benny datang. Keduanya kembali saling mengunjungi dan berkirim kartu ucapan hingga Benny berpulang pada 29 Agustus 2004.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus