Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Roboh Diterpa Badai

Berpuluh tahun tiga serangkai Soeharto-Salim-Bob Hasan membangun imperium bisnisnya. Menggurita hingga kini.

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN dua generasi itu terjadi September 2005. Disaksikan ratusan pasang mata, ketiga putri Soeharto menjabat erat tangan Liem Sioe Liong yang gemetar dimakan usia. Siti Hardijanti Rukmana, Siti Hediati Harijadi, dan Siti Hutami Endang Adiningsih bergiliran menjura takzim kepada konco lawas ayahnya itu.

Taipan nomor wahid di zaman Orde Baru itu pun membalasnya hangat. Meski sambil duduk, tak lupa ia mengumbar senyum. Ketiga putri itu tentulah mengingatkannya pada masa-masa keemasan selama berpuluh tahun yang telah dirajutnya bersama kekuasaan Soeharto.

Soeharto, yang saat itu sudah divonis ”sakit permanen” oleh tim dokter, memang tak bisa lagi hadir di hajatan kolega lamanya ini. Padahal, Liem, yang juga beken dengan nama Soedono Salim, sedang menggelar pesta ulang tahunnya ke-90.

Pesta megah dua malam dengan ongkos Rp 20 miliar itu digelar di Hotel Shangri-La, Singapura. Sekitar 2.500 tamu menyesaki The Island Ballroom Hotel yang disulap bak istana kekaisaran Cina di masa dinasti Ming dan Ching. Meski dipenuhi konglomerat dan sejumlah pejabat Orde Baru, kehadiran tiga putri Soeharto tampaknya punya tempat tersendiri di hati Om Liem.

Itu sebabnya, ketiga putri Presiden RI ke-2 ini pun selalu mendapat perhatian istimewa penyelenggara pesta. Begitu pula ketika mereka mengha-diri pesta perkawinan berlian Liem dengan Lie Shu Zen, gadis asal Lasem, Jawa Tengah, April 2004 lalu, di Singapura juga.

l l l

PERSAHABATAN Soeharto dengan Liem merupakan bagian dari cerita panjang sejarah Orde Baru. Bersama Mohamad ”Bob” Hasan, ketiganya menjadi pusat pusaran arus ekonomi-politik negeri ini, hingga Orde Baru runtuh pada 1998 berbarengan dengan lengsernya Soeharto.

Pertalian ketiganya memang terbukti punya ”hoki” bagus. Berkat imperium bisnis mereka yang menjalar ke segala penjuru negeri, majalah Forbes edisi 28 Juli 1997 bahkan pernah menobatkan ketiganya menjadi bagian dari orang terkaya di muka bumi ini.

Jika dirunut ke belakang, persahabatan Soeharto dengan Liem terbuhul sejak lima dekade silam. Bermula dari kedatangan Liem muda di Kudus, Jawa Tengah, pada 1938. Ketika meninggalkan tanah kelahirannya di Fujian, Cina, usia Liem baru 22 tahun.

Bersama saudara-saudaranya, di Kudus, Liem membuka toko kelontong sembari membantu perjuangan RI lewat perkumpulan pedagang Cina, Cong Siang Hwee. Perkenalannya dengan ayah Fatmawati, mertua Bung Karno, kian melempangkan bisnisnya memasok kebutuhan tentara.

Demikianlah hingga Soeharto menjabat Panglima Kodam Diponegoro, Jawa Tengah, pada 1950-an. Atas saran Soeharto, Liem kemudian menggabungkan usahanya dengan kelompok bisnis Djuhar Sutanto alias Liem Oen Kian, yang juga sama-sama kelahiran Fujian.

Ketika itu, lewat bendera Four Seas, Djuhar menjadi pemasok TNI Angkatan Laut. Belakangan, Four Seas berganti nama menjadi Five Stars, dengan masuknya Lim Chin Song, yang membawa dua pegawainya, termasuk Ibrahim Risjad.

Singkat cerita, Liem dan Djuhar sepakat mendirikan PT Waringin Kentjana. Inilah cikal-bakal imperium bisnis Grup Salim. Risjad, yang juga bergabung di perusahaan itu, mengajak saudara sepupu Soeharto, Sudwikatmono, yang kala itu masih berjualan karung goni. Empat serangkai inilah yang di kemudian hari dijuluki The Gang of Four—empat pilar bisnis Grup Salim.

George J. Aditjondro, yang rajin menelisik harta keluarga Cendana, menyebutkan awal 1950-an sebagai titik awal dibangunnya kerajaan bisnis keluarga Cendana. Ketika itu Soeharto menjabat Pangdam Diponegoro.

Berkat dukungan Soeharto, Liem dan Bob Hasan saat itu banyak memenangi kontrak pasokan berbagai kebutuhan prajurit Kodam Diponegoro. Mulai dari nasi, pakaian seragam, hingga obat-obatan.

Hubungan segi tiga itu makin kompak setelah Soeharto pindah ke Jakarta dan diangkat menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) pada awal 1960-an. Ia segera mendirikan Yayasan Dharma Putera Kostrad, satu dari puluhan yayasan Soeharto yang kerap dijadikan instrumen bisnis keluarga Cendana.

Setelah Soeharto menjadi presiden, ia pun mengajak Liem, sahabat lamanya, ke puncak kekuasaan. Pada 1971-1972, keduanya sepakat membangun pabrik tepung terigu raksasa, PT Bogasari Flour Mills—cikal-bakal Indofood—di Jakarta dan Surabaya.

Sebagai bentuk proteksi, kata George, pesaingnya dari Singapura hanya diizinkan beroperasi di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, dan menggarap pasar Indonesia bagian timur. Pasar utama di Indonesia bagian barat—dengan pangsa 80 persen—khusus digarap Bogasari. ”Inilah tambang uang utama yang pertama mereka bangun,” kata George.

Penguasaan Soeharto di perusahaan ini tentu tak langsung. Selain ada Sudwikatmono di sana, kontrol dilakukan lewat salah satu yayasan yang didirikannya.

Sedikitnya ada 40 yayasan di bawah kendali keluarga Cendana yang punya saham di berbagai perusahaan besar. Selain Bogasari, berbagai sektor bisnis dimasukinya, mulai dari pabrik semen, pupuk, jalan tol, hingga perkebunan kelapa sawit. Kebanyakan perusahaan itu terkait dengan Liem dan Bob Hasan.

l l l

SOAL Bob Hasan, kedekatannya dengan keluarga Cendana tak bisa dilepaskan dari bisnisnya dengan anak-anak Soeharto. Bersama Sigit Harjojudanto, ia membangun Nusantara Ampera Bhakti (Nusamba), salah satu mesin uang Cendana.

Sekitar 80 persen saham perusahaan di bidang pertambangan dan telekomunikasi ini dimiliki tiga yayasan Soeharto: Supersemar, Dakab, dan Dharmais. Sisanya dibagi di antara Bob dan Sigit.

Teman main golf dan memancing Soeharto ini juga menggandeng Tommy Soeharto di Sempati. Sedangkan Bambang Trihatmodjo dan Yayasan Kartika Eka Paksi milik Angkatan Darat dirangkulnya di International Timber Corp. Berkat kepiawaiannya inilah, PT Kiani Kertas yang dibangun Bob mendapat kucuran dana ratusan miliar rupiah dari yayasan Soeharto.

Perkenalannya dengan Soeharto bermula dari nasib baik Bob, yang sejak terlahir di Ngadirejo, Jawa Tengah, pada 24 Februari 1931, dibesarkan oleh Jenderal Gatot Subroto. Sang Jenderal adalah sahabat karib ayahnya, Soetedjo, pria Jawa dari keluarga juragan tembakau yang memperistri perempuan Tionghoa.

l l l

BERKOLABORASI dengan kedua pilar bisnisnya itulah, keluarga Cendana lambat-laun menancapkan kukunya di jagat bisnis nasional. Lewat keenam anaknya, menurut majalah Time edisi 24 Mei 1999, imperium bisnisnya menjalar di 18 sektor. Mulai dari pertambangan, kehutanan, bank, telekomunikasi, jalan tol, transportasi udara, hingga media.

Michael Backman, peneliti bisnis dan perusahaan di Asia, pernah berhitung: jumlah perusahaan keluarga Cendana lebih dari 1.247. Dalam tulisannya di harian The Asian Wall Street Journal, 26 Mei 1998, disebutkan perusahaan-perusahaan itu setidaknya tersebar pada 20 konglomerat.

Padahal itu belum memperhitungkan perusahaan di luar negeri. Belum juga termasuk perusahaan di luar keluarga inti, seperti Grup Hanurata, yang dibangun Sudwikatmono bersama Sigit dan Indra Rukmana (suami Siti Hardijanti).

Menurut taksiran majalah Time dan Forbes, total kekayaan Soeharto saat lengser mencapai US$ 15 miliar, atau sekitar Rp 150 triliun (dengan kurs Rp 10 ribu per dolar). Angka lebih fantastis pernah diungkap majalah Newsweek (Januari 1998) dan AWSJ (Januari 1999), yang menyebut US$ 40 miliar.

Betapapun digdayanya, kerajaan bisnis Cendana akhirnya koyak-moyak saat badai krisis ekonomi menerpa Asia pada 1997-1998. Putra-putri Soeharto, yang dulu tak tersentuh aparat, pun terjerat utang raksasa ke negara.

Nasib tak berbeda dialami Salim dan Bob Hasan, dua kroni Soeharto. Tapi, benarkah imperium bisnis ketiganya telah ambruk? Sulit mempercayainya. Sebab, bagaimanapun, ketiga konglomerasi yang menggurita puluhan tahun ini telah menjadi pilar ekonomi Indonesia. Jika roboh, bangunan ekonomi nasional pun runtuh seketika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus