Awal dan akhir kekuasaan Soeharto ditandai dengan dua hal: kecemasan dan darah. Demonstrasi besar-besaran, penembakan mahasiswa, dan aksi massa yang memakan korban terjadi sesaat sebelum Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, 1996.
Hal yang sama terjadi ketika ia dipaksa turun dari jabatannya. Di ujung 32 tahun pemerintahannya, keadaan ekonomi negara juga hancur. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika terjerembap sangat cepat.
Terjungkalnya Rupiah
2/1/1998 5985
8/1/1998 10676.8
14/1/1998 7287.2
23/1/1998 14555
28/1/1998 11041.8
3/2/1998 10011.2
10/2/1998 7287.9
16/2/1998 9699.3
19/2/1998 8566.5
23/2/1998 9429.5
27/2/1998 8569.5
10/3/1998 10477.8
SU MPR menerima pidato pertanggungjawaban Soeharto periode 1993-1998.
25/3/1998 8290.8
13/4/1998 7375.3
Kerusuhan massal pecah di sekitar kampus Universitas Trisakti
5/5/1998 8042.4
9/5/1998 12281.4
19/5/1998 12281.4
Soeharto bertemu sejumlah ulama dan tokoh masyarakat, di istana.
26/5/1998 10165.5
29/5/1998 11117.7
Akhir Kekuasaan
Penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti dan kerusuhan massal setelahnya memicu kejatuhan Soeharto. Namun, berbagai rentetan peristiwa sebelumnya juga menunjukkan ”tanda-tanda” pudarnya pengaruh sang jenderal besar itu.
1997
Juli
Krisis ekonomi mulai menghantam Indonesia. Ditandai dengan nilai tukar rupiah yang terus merosot.
Aksi demonstrasi besar-besaran mulai muncul di kampus Institut Teknologi Bandung. Mereka menyuarakan reformasi. Aksi ini menjalar ke seluruh Indonesia. Mereka mencoba keluar dari kampus, sesuatu yang dilarang saat itu. Bentrokan mahasiswa dengan aparat keamanan pun terjadi di mana-mana.
1998
Februari-Maret
Sejumlah aktivis demokrasi diculik selama berhari-hari. Penculikan ini diyakini sebagai usaha meredam gerakan mereka. Belakangan diketahui penculikan dilakukan oleh Komando Pasukan Khusus, yang saat itu dipimpin Komandan Jenderal Mayjen Prabowo Subianto.
Mereka yang diculik adalah Nezar Patria, Andi Arif, Desmon J. Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Herman Hendrawan, Rahardjo Waluyo Djati, Faisal Riza, dan Mugianto. Sebagian di antara mereka tak ketahuan nasibnya hingga kini.
10 Maret
Sidang Umum MPR menyatakan menerima pidato pertanggungjawaban Soeharto sebagai presiden periode 1993-1998. Pada saat yang sama, para mahasiswa menggelar ”Sidang Umum Tandingan” yang menyatakan menolak pidato pertanggungjawaban presiden.
11 Maret
MPR memilih kembali Soeharto sebagai presiden. Ini adalah periode ketujuh pemerintahannya, dan kali ini ia didampingi Wakil Presiden B.J. Habibie.
14 Maret
Presiden Soeharto mengumumkan Kabinet Pembangunan VII. Kabinet ini disorot karena menyertakan putri Presiden, Siti Hardijanti (Tutut), sebagai Menteri Sosial, dan salah satu kroninya, Bob Hasan, sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
12 Mei
Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas dalam unjuk rasa di kampus itu. Mereka adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hertanto, dan Hendriawan Sie.
13 Mei
Kerusuhan massal pecah di sekitar kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. Presiden Soeharto, yang sedang melawat ke Kairo, Mesir, mengatakan siap mundur secara konstitusional bila rakyat menghendaki. Ia menyatakan akan ”mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan dengan keluarga, anak-anak, serta cucu-cucu”.
14 Mei
Kerusuhan meluas di Jakarta. Aksi serupa muncul di Solo, yang disertai penjarahan. Sejumlah gedung, pertokoan, dan rumah terbakar, ratusan orang tewas.
15 Mei
Ratusan korban tewas terbakar ditemukan di Toserba Yogya, Klender, Jakarta Timur.
16 Mei
Ratusan lagi korban tewas terbakar di Ciledug Plaza, Ciledug, Tangerang.
17 Mei
Angka resmi menunjukkan 499 korban tewas dan lebih dari 4.000 gedung hancur atau terbakar akibat kerusuhan.
18 Mei
Ribuan mahasiswa di berbagai daerah menggelar demonstrasi besar-besaran menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Di Jakarta, mereka menduduki kompleks DPR/MPR, Senayan.
Ketua MPR/DPR, Harmoko, menyampaikan hasil rapat pimpinan MPR yang meminta Soeharto mundur dari jabatannya secara arif dan bijaksana. Tapi Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengatakan permintaan Harmoko itu tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
19 Mei
Di Istana Merdeka, Presiden Soeharto bertemu sejumlah ulama dan tokoh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini