Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Geliat Minol, dari Cap Tikus hingga Wine Lokal

DI tengah polemik peredaran minuman beralkohol alias minol, produk lokal justru melejit dengan olahan dan kemasan profesional. Menyusul Cap Tikus, minuman tradisional beralkohol dari Minahasa, Sulawesi Selatan, awal tahun ini muncul Sophia, dari moke dan sopi khas Nusa Tenggara Timur. Beredarnya dua merek itu disokong regulasi pemerintah daerah yang pro-pemberdayaan ekonomi warga. Seperti halnya Bali, yang punya beragam minol, baik yang tradisional seperti arak maupun wine lokal. Sejumlah merek minuman keras itu tak hanya mengandalkan penjualan langsung, tapi juga memanfaatkan media sosial dan pasar daring. Strategi itu pula yang membuat minol yang diproduksi di Semarang, Vibe, bisa meluaskan pasar. Penjualan liquor ini juga disokong capaian Vibe, yang meraih penghargaan di kompetisi level Asia hingga dunia. Tempo melaporkan dari Bali dan NTT.

19 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KECAMATAN Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tak hanya menjadi lokasi gudang buah salak pondoh. Di tengah kawasan itu terdapat pula winery—tempat pembuatan wine—yang dikelola Rangga Purbaya bersama kawan-kawannya. Di sanalah Rangga, seniman dari kelompok kolektif Ruang MES 56, meracik beraneka minuman fermentasi. Ada minuman anggur bebuahan (fruit wine) dan tuak yang dijual dengan merek Pondoh, juga minuman keras sulingan alias spirit yang dilabeli Moonshine. Produk itu tak dijajakan di pasar daring (online), tapi lewat jalur underground; jejaring pertemanan dan media sosial. Pandemi Covid-19 tak menjadikan penjualan produknya anyep.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada hari ketika Rangga repot di bangunan winery seluas 500 meter persegi itu. Seperti Rabu, 9 September lalu, saat ia sibuk menghasilkan tuak dari salak pondoh bersama kawannya. Untuk memproduksi satu tong tuak berkapasitas 150 liter air, dibutuhkan 90 kilogram salak pondoh yang sudah dihancurkan dengan blender. Sari airnya lalu dia masak hingga mendidih dan ditambahi 2 kilogram gula. Setelah itu, larutan tersebut didiamkan sehari untuk mencapai suhu ruangan. Baru kemudian Rangga mencampurnya dengan ragi bikinan sendiri untuk fermentasi. Dari proses itu, ia mendapatkan 300 botol tuak kemasan 500 mililiter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rangga mendirikan Pondoh bersama seorang kawannya pada 2013. Awalnya adalah melejitnya cukai alkohol ketika itu yang membuat harga minuman beralkohol alias minol menjadi makin mahal. “Kami jadi terpikir membuat minuman fermentasi, yang narasinya enggak hanya bisnis,” katanya, Kamis, 10 September lalu. Eksperimen produksi minol dia serap dari YouTube. Dia mencoba mengolah beragam buah untuk campuran, dari pepaya, mangga, rambutan, sampai akhirnya salak pondoh. Karena sentra salak pondoh dekat, buah itu menjadi pilihan utamanya. Mereka memanfaatkan salak petani sekitar yang tak terserap pasar. “Baru kemudian kami membuat market di ekosistem seni lewat komunitas kolektif tempat saya bergabung.” 

Foto udara perkebunan anggur milik Sababay di Bali./Dok. Sababay

Rangga dan kawan-kawan menghargai tuak Rp 50 ribu per botol. Lain halnya dengan spirit, yang dibanderol Rp 100 ribu per kemasan 200 mililiter. Dalam sebulan, sebanyak 500-600 botol minuman beralkohol lahir di winery Rangga. Dari angka itu, separuh yang terjual adalah tuak. Sisanya adalah wine klasik dari salak dan spirit. Dia yakin penjualannya bisa lebih masif kalau sudah mengantongi izin edar dari pemerintah. “Ini jadi bagian dari mimpi kami, bagaimana produksi fruit wine dan tuak lokal tak hanya menarik dari sisi bisnis, tapi juga membuka ruang edukasi perajin yang terlibat di dalamnya,” ujarnya. 

Jalan lebih panjang dilalui Vibe, merek liquor atau spirit lokal yang berpabrik di Semarang, Jawa Tengah. Beroperasi sejak 2005, Vibe memiliki kapasitas produksi mencapai 1 juta botol tahun lalu. Produk minuman dengan kadar alkohol 40 persen bikinan PT Kharisma Serasi Jaya ini pun mulai mengoleksi penghargaan. September tahun lalu, Vibe mengantongi enam penghargaan dari Asia International Spirits Competition dan ditahbiskan sebagai Brand of the Year 2019.

Dalam kompetisi itu, vodka Vibe menyabet medali emas, gin dan rum meraih perak, sementara varian leci dan triple sec mendapat perunggu. “Tapi masih banyak yang menganggap enteng karena levelnya Asia. Ini yang melecut kami untuk nekat ke perlombaan internasional Ultimate Spirits Challenge (USC),” ucap Direktur PT Kharisma, Soe Eksan Njoto, saat ditemui di Jakarta, Selasa, 8 September lalu. 

Minuman beralkohol Anggur Merah Cap Orang Tua dan Vibe, liquor asal Semarang./Tempo/Isma Savitri

Dalam kompetisi World-Class Wine & Spirits Competition 2020 USC yang dihelat di New York, Amerika Serikat, Vibe beradu kualitas dan rasa dengan merek legendaris dunia. Dari tujuh produk Vibe yang didaftarkan, enam mendapat skor di atas 80 dari panelis dan masuk daftar USC di situs resminya. Bahkan varian dry gin Vibe dinilai 92 alias sangat direkomendasikan panelis, mengalahkan merek sejenis yang lebih dulu tersohor seperti Hendrick’s Gin, yang memperoleh skor 89. Direktur Pemasaran PT Kharisma, Damien E. Chua, mengatakan capaian yang diumumkan USC pada Agustus lalu ini menambah daya tarik produknya. Walau demikian, menurut dia, masih banyak yang tak percaya bahwa ada minuman keras asli Indonesia yang mendapat nilai setinggi itu di USC. 

Dari enam varian awal Vibe, dua memiliki kekhasan, yakni black tea dan leci. Ini disengaja karena varian lain, seperti vodka, mesti bersaing di pasar yang sudah amat sesak. “Kalau black tea dan leci memang waktu itu hanya kami yang membuat,” tutur Damien. Damien dan Eksan menguji sendiri rasa 20 varian Vibe. Walau kantor Vibe berada di Jakarta, Semarang dipilih sebagai lokasi pabrik dengan pertimbangan kualitas air yang bersih dan jaraknya dekat dengan pelabuhan. “Sejak awal kami bermimpi Vibe bisa diekspor.”

 

• • •

SILANG pendapat di masyarakat tak menyurutkan perkembangan minuman lokal beralkohol di Nusantara. Dalam satu dekade terakhir, sejumlah minuman keras lokal bahkan diproduksi massal dan dijual secara legal. Di antaranya Cap Tikus 1978 asal Minahasa, Sophia di Kupang, juga Arak Bali. Minuman keras tradisional cap tikus mulai merambah industri pada Desember 2018. Kemasannya memakai botol beling 320 mililiter yang desainnya sekilas mirip minol Belanda zaman kolonial. Sedangkan cap tikus produksi rumahan kebanyakan dikemas dengan botol bekas air mineral. Versi komersialnya pun lebih inovatif karena punya varian rasa kopi. 

Kini cap tikus bahkan mudah dibeli via pasar daring. Distribusinya meluas berkat upaya Bupati Minahasa Selatan Tetty Paruntu yang membuat terobosan dengan melegalkan minuman itu. Bahkan pemerintah setempat ikut memfasilitasi produsen dalam mengembangkan produk yang lahir di Desa Kapitu, Amurang Barat, itu. “Lagi pula, memang cap tikus adalah bagian tak terpisahkan dari kebiasaan dan tradisi di sana,” ucap Raymond Michael Menot, antropolog Universitas Indonesia yang meneliti minuman beralkohol Nusantara. 

Minuman beralkohol dengan merk Pondoh yang berasal dari Yogyakarta./Rangga Purbaya

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur juga justru menggenjot pendapatan daerah dari pemasaran minol lokalnya, sopi. Mengusung nama Sophia, merek sopi NTT yang baru muncul pada awal tahun ini tersebut dikelola secara profesional oleh PT Niaga Agung Makmur (NAM) Sophia dengan cita rasa dan kadar alkohol yang diklaim setara dengan sopi produk rumahan. Perbedannya terlihat jelas dari kemasannya yang lebih elegan dan harganya yang lebih mahal. Dalam peluncuran perdananya, ada tiga varian Sophia yang dijual. Dua lainnya siap diproduksi dan satu varian masih dikembangkan. 

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan pemasaran Sophia adalah salah satu strategi untuk membangkitkan ekonomi warganya. “Harganya diatur toko atau distributor. Pemprov NTT hanya menyiapkan regulasi sehingga tata niaga Sophia berjalan baik. Masak, NTT kalah oleh cap tikus Manado?” ujarnya. Viktor menjelaskan, minuman lokal seperti sopi, moke, dan arak yang selama ini diproduksi di rumah warga serta usaha kecil, mikro, dan menengah akan diambil untuk diolah lagi menjadi Sophia. Pengelolanya adalah Badan Layanan Umum Undana, dengan Toko NAM sebagai distributor. 

Sophia dihasilkan dari moke (minuman beralkohol asal Flores), sopi dari Rote Ndao, tuak nakaf insana dari Timor, dan raidawa dari Sabu Raijua. Minuman itu sering dipakai untuk acara adat dan dikonsumsi sehari-hari. Sebelum meluncur ke pasar, Sophia diteliti tim dari Universitas Nusa Cendana, Kupang. Menurut salah satu anggota tim, Dodi Kusuma, moke dan sopi dihasilkan dari pengolahan pohon lontar atau enau. “Dulu pengolahannya kadang kurang higienis, dan kami meriset lagi kandungan metanol dan etanolnya,” katanya. 

Tangki fermentasi anggur di Sababay Winery, Gianyar, Bali, November 2014./Dok.TEMPO/M Iqbal Ichsan

Kepala Bidang Sumber Daya Industri Dinas Perdagangan dan Perindustrian NTT Bernad Haning menjelaskan, selama ini hanya 25 persen sopi dan moke rumahan yang terpakai oleh pihaknya. Sisanya dibuang karena pengolahannya kurang higienis dan belum sesuai dengan standar. Karena itu, pemerintah NTT akan membantu penyulingan perajin sopi dan moke. 

Pemilik Toko NAM, Leonard Anthonius, mengatakan produksi Sophia tercatat sekitar 300 botol dan baru terjual tak sampai separuhnya. Kebanyakan pembelinya justru orang luar NTT yang menjadikan Sophia sebagai buah tangan. Harganya bervariasi, tergantung jenis botol dan kadar alkoholnya. Namun keberadaan Sophia tak lantas mengganggu sopi dan moke biasa. “Moke biasa masih laku ratusan botol, dengan harga di bawah Sophia,” tuturnya.

 

• • •

 REGULASI yang pro-minuman beralkohol lokal juga ada di Bali. Pada awal Februari lalu, Gubernur Bali I Wayan Koster mensosialisasi Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali. Aturan itu menjadi angin segar bagi perajin arak di Desa Dukuh, Karangasem. Kepala Desa Dukuh, I Gede Sumiarsa, mengaku tengah merancang konsep koperasi arak agar harga minuman itu stabil di kalangan perajin. 

Hampir 90 persen warga Desa Dukuh adalah perajin arak sejak 1990-an. Mereka beralih ke arak karena pembuatannya lebih mudah ketimbang gula aren. Dalam sehari, seorang perajin bisa meracik arak dua kali atau menghasilkan satu setengah jeriken. Satu jeriken arak dengan kadar alkohol 35 persen dihargai Rp 500 ribu dan bisa dituang ke 50 botol kemasan 600 mililiter. 

Proses pembuatan wine di Sababay Winery, Gianyar, Bali, November 2014./Dok.TEMPO/M Iqbal Ichsan

Bali tak hanya punya arak. Ada juga merek wine lokal, Hatten Wines, yang dikemas profesional. Usaha ini didirikan Ida Bagus Rai Budiarsa, putra pebisnis brem dan arak di kawasan Sanur, Denpasar. Semula, Rai Budiarsa menggagasnya bersama tiga orang Australia pada 1992. Namun ketiga bule itu belakangan hengkang, sampai akhirnya pada 1994 Rai mengambil alih komando bisnis ini. Awalnya hanya anggur hitam atau Alphonse Lavallee yang diolah karena jenis itulah yang tersedia di Bali. Buah itu menjadi bahan dasar produk Hatten Wines, seperti Jepun, Aga Red, dan Pino de Bali. 

Baru kemudian Hatten mengembangkan anggur putih karena dianggap cocok dengan kultur kuliner Bali yang didominasi olahan laut. “Sampai sekarang penjualan white wine kami pun lebih bagus ketimbang red wine,” ujarnya. Tak mudah menemukan anggur putih yang dikehendaki Rai. Ia sempat mengimpor buah itu, tapi tak cocok. Dia baru merasa sreg dengan anggur putih dari Kediri, Jawa Timur yang di daerah asalnya disebut anggur Belgia. Jenis ini kemudian dikembangkan di Bali pada 2000-an untuk produk Aga White dan Alexandria. 

Total ada tujuh jenis anggur yang ditanam Hatten di kebunnya di Singaraja. Mereka bekerja sama dengan petani setempat mengelola sekitar 45 hektare kebun anggur. Hatten sempat membentuk kelompok tani untuk memutus rantai ke tengkulak, tapi cara ini tak berjalan mulus. Hatten lantas membiayai kebutuhan petani berupa bibit, pupuk, dan teknologi pengairan serta membagikan 25 persen keuntungan dan memberikan uang bulanan. Namun lagi-lagi program itu gagal karena sebagian petani justru menjual barang bantuan dari Hatten. 

Anggur jenis Alfonso Lavallee atau yang lebih dikenal dengan anggur Bali, di perkebunan anggur milik Hatten di Bali./Dok. Hatten

Hingga akhirnya Hatten membeli lahan sendiri dan mengajak petani bekerja sama dengan sistem kontrak. “Kami memberikan penyuluhan agar hasil anggurnya sesuai dengan standar kualitas,” tutur Rai. Kini tercatat ada 27 petani anggur yang bekerja sama dengan Hatten di kebun yang berlokasi di Desa Sanggah Langit, Kecamatan Gerokgak, Singaraja. Hasil anggur di lahan itu langsung diproses di Sanur tak lama setelah dipetik. Total sekitar 120 ribu botol wine diproduksi Hatten dalam sebulan. Namun, saat pandemi, Rai mengaku jumlahnya merosot hingga tinggal 20 persen.

Produk Hatten selama ini diedarkan di kawasan hotel berbintang di Bali selatan, dan sempat diekspor ke Belanda, Inggris, Maladewa, serta Singapura. Karena menganggap biaya ekspor terlalu mahal, Rai menghentikan bisnis itu dan menyasar pasar lokal luar Bali, seperti Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Medan, Jakarta dan Surabaya. Di tengah pandemi, kata Rai, ekspatriatlah yang menjadi pembeli setia Hatten. “Wisatawan senang dengan wine lokal karena harganya murah, sementara masyarakat Indonesia kebanyakan justru memilih minol impor karena gengsinya.” 

Bali punya sejumlah produsen anggur terkenal selain Hatten Wines. Salah satunya Sababay Winery, yang didirikan Mulyati Gozali sekitar sepuluh tahun lalu. “Kami terpikir membuat usaha wine lokal karena melihat banyak petani anggur di Buleleng kesulitan menggarap hasil lahan. Kualitas anggur dan harganya juga rendah,” ucapnya. Sababay berarti Teluk Saba, yang berada di Gianyar. Pabrik wine itu berdiri di atas lahan seluas 2 hektare. Di sanalah anggur petani dari Buleleng diolah. 

Dalam produksi, Sababay Winery melibatkan dua pakar wine, yakni Nicolas Delacressionnere asal Bordeaux, Prancis, dan Yohan Handoyo. Sejumlah seri wine dengan harga bervariasi dilahirkan Sababay. Salah satunya bubbly wine, seperti Moscato de Bali yang beraroma buah segar dengan rasa manis dari anggur Muscat. Varian inilah yang disebut Evy Gozali, CEO Sababay, paling laris dan mendapat penghargaan internasional. 

Minuman beralkohol khas NTT Sophia dan minuman asal Manado Cap Tikus yang dijual di Toko NAM, Kota Kupang, NTT./Tempo/Jhon Seo

Sedangkan untuk kemasannya, Evy menampilkan burung jalak khas Bali dengan desain botol modern. Ia menembus pasar lokal dengan penjualan daring dan langsung ke bar serta memiliki distributor resmi di kota besar Indonesia. Sababay pun dipercaya Konferensi Waligereja Indonesia membuat anggur misa sejak 2018. 

Harga wine Sababay di atas Rp 200 ribu per botol. Di lini wine lokal ekonomis, minuman yang belakangan kian populer di kalangan anak muda adalah anggur merah dan anggur ginseng. Anggur Merah Cap Orang Tua berukuran 650 mililiter dibanderol Rp 65 ribu dan mulai melejit setelah beberapa kali nongol di akun media sosial pesohor, seperti Melanie Subono. Tak jauh berbeda harganya dengan anggur ginseng botolan, dengan varian kopinya yang terkenal. Bersulang!

ISMA SAVITRI (JAKARTA), MADE ARGAWA (DENPASAR), YOHANES SEO (KUPANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus