Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Antara Mr. Spock dan Homer Simpson

Oleh: Muhammad Chatib Basri (pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia) dan Syarifah Namira Fitrania (peneliti Creco Research and Consulting)

19 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
ilustrasi: tempo/imam yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Antara Mr. Spock dan Homer Simpson

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oleh: Muhammad Chatib Basri (pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia) dan Syarifah Namira Fitrania (peneliti Creco Research and Consulting)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mr. Spock, tokoh fiksi dalam film Star Trek, mungkin adalah bayangan para ekonom tentang makhluk ekonomi (homoeconomicus). Ia dingin, rasional, mampu berpikir tenang, dan melakukan kalkulasi dalam setiap keputusannya. Sebaliknya, Homer Simpson, tokoh kartun dalam film The Simpsons, adalah gambaran tentang manusia yang kacau: tambun karena rakus, kecanduan junk food dan nonton televisi, agresif, pemalas, serta tak profesional. Keputusannya tak selalu didasarkan pada kalkulasi yang dingin.

Sayangnya, Homer, walau jauh dari ideal, mungkin tokoh yang lebih dekat dengan keseharian manusia. Ironisnya, teori ekonomi selalu menganggap bahwa pelaku ekonomi lebih mirip Mr. Spock ketimbang Homer. Kita bisa berdebat soal ini. Deskripsi yang menarik itu disampaikan oleh Richard Thaler, pemenang Nobel ekonomi tahun 2017 dan guru besar ekonomi dari University of Chicago, Amerika Serikat. Thaler, bersama Daniel Kahneman dan Amos Tversky, adalah ekonom yang berjasa mengembangkan behavioral economics.

Pendekatan ini mencoba melihat bagaimana faktor psikologi, kultural, kognitif, dan emosi berpengaruh dalam keputusan individu. Dan Thaler benar. Kita, misalnya, kerap terkejut melihat bagaimana orang membuat kalkulasi risiko ekonomi dan kesehatan dalam menghadapi virus di masa pandemi seperti saat ini. Karena itu, menarik jika kita mencoba melihat apa yang terjadi pada perilaku masyarakat dan kegiatan ekonomi mereka ketika perekonomian kembali dibuka di tengah jumlah kasus Covid-19 belum menurun.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai perilaku masyarakat dalam aktivitas ekonominya, di tengah angka kasus Covid-19 yang masih tinggi, kami melakukan eksperimen dengan menggunakan Big Data dari Google Community Mobility Reports dan Humanitarian Data Exchange. Eksperimen kami bermuara pada beberapa temuan menarik yang dapat merefleksikan dinamika perilaku pelaku ekonomi dalam masa pandemi ini.

Pertama, respons masyarakat terhadap dibukanya kembali perekonomian ternyata sangat dinamis. Big Data Google menunjukkan: setelah pemerintah membuka kembali perekonomian, mobilitas masyarakat meningkat tajam. Namun setelah itu mulai mendatar dan melambat. Walau masih tahap awal, studi kami menunjukkan beberapa faktor yang mungkin bisa jadi penjelas. Masyarakat memang mengalami penurunan daya beli, terutama kelompok yang terkena dampak Covid-19. Namun, setelah pembukaan kembali, permintaan naik sebentar, mungkin karena permintaan yang tertunda (pent-up demand), lalu turun kembali.

Selain itu, masih tingginya jumlah kasus positif corona membuat masyarakat mengurangi pergerakan untuk berjaga-jaga (precautionary motive). Penjelasan lain: terbentuknya perilaku baru yang menekan mobilitas, misalnya pergeseran pola konsumsi dari offline ke online, terbentuknya pola bekerja jarak jauh, dan pemanfaatan konsultasi e-health. Bukan tidak mungkin pola aktivitas baru ini akan permanen. Selain itu, protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah dan perusahaan membatasi permintaan serta kapasitas produksi—juga mobilitas. Contohnya pembatasan kapasitas angkut pesawat maksimal 70 persen dan jumlah pengunjung mal maksimal 50 persen.

Kedua, hasil studi kuantitatif kami menunjukkan bahwa makin tinggi tambahan orang yang tinggal di rumah, makin tinggi tambahan orang yang beraktivitas ke toko swalayan (toko pangan dan farmasi). Hal ini terjadi karena konsumsi makanan dan barang esensial lain meningkat seiring dengan peningkatan jumlah orang di rumah.

Ketiga, perhitungan kuantitatif kami menunjukkan bahwa makin banyak jumlah tambahan masyarakat yang beraktivitas di luar rumah, makin cepat peningkatan jumlah kasus baru Covid-19. Ini penting. Artinya, mobilitas memang mempengaruhi penularan. Implikasinya, aktivitas ke luar rumah wajib mensyaratkan implementasi protokol kesehatan yang ketat. Tanpa itu, setiap kali pembukaan kembali terjadi, kasus penularan akan meningkat kembali.

Keempat, perhitungan kuantitatif kami menunjukkan, pada masa-masa awal, makin banyak tambahan jumlah kasus kematian karena Covid-19, makin banyak tambahan orang yang tinggal di rumah. Namun ini tak berlangsung lama. Orang cenderung tinggal di rumah kurang dari lima hari, lalu setelahnya kembali beraktivitas di luar rumah. Padahal, kita tahu, makin tinggi mobilitas, makin tinggi risiko tertular—seperti dibahas sebelumnya. Ini sepintas sulit dijelaskan. Ada beberapa kemungkinan argumen yang dapat membantu kita memahami temuan ini, tapi kami akan berfokus pada faktor ekonomi dan psikologi.

Secara intuitif, kita bisa menduga, makin kecil tabungan, makin sulit bagi orang untuk tinggal di rumah. Jadi jika situasi ekonomi makin buruk, tabungan menipis, tak ada pilihan bagi orang selain keluar untuk mencari penghasilan (terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal). Perhitungan kuantitatif kami juga menemukan korelasi negatif antara jumlah orang yang tinggal di rumah dan beberapa indikator ekonomi, seperti indeks penjualan retail dan survei konsumen.

Tentu aturan tempat bekerja juga berpengaruh. Jika tempat bekerja mengharuskan orang datang, tentu pekerja tak punya pilihan lain. Dan ini biasanya terjadi untuk pekerja tetap. Namun, dalam kasus pekerja informal, mereka memiliki opsi untuk tak bekerja, dengan risiko kehilangan pendapatan.

Artinya, pilihan untuk tetap tinggal di rumah memang tidak dapat dinikmati semua orang. Hanya mereka yang memiliki tabungan atau bantuan sosial (bansos) yang mampu tinggal di rumah tanpa bekerja. Ini umumnya kelas menengah-atas. Tanpa semua itu, orang akan keluar dari rumah. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kebijakan pembatasan sosial berskala besar bias memihak kelompok masyarakat menengah-atas jika bansos tidak diberikan. Peran bansos besar sekali dalam keadaan seperti ini.

Di samping faktor ekonomi, aspek psikologis sangat penting dalam menjelaskan perilaku ini. Tak semua orang mirip seperti Mr. Spock. Banyak pelaku ekonomi mungkin lebih mirip Homer, yang kerap tak rasional. Tentu para psikolog lebih memiliki otoritas untuk berbicara tentang hal ini. Kami hanya mencoba melihat isu ini dari behavioral economics, mengenai kemungkinan adanya cognitive bias.

Adia Indradjaya, behavioral economist tamatan University of Nottingham, Inggris, memberi masukan mengenai beberapa kemungkinan penjelas. Pertama, bias optimisme (optimism bias), ketika orang cenderung terlalu yakin bahwa kemampuannya dalam menghadapi virus lebih baik daripada orang lain. Kita, misalnya, berpandangan bahwa orang lain terkena virus karena mereka tak berhati-hati. Sedangkan kita yakin bahwa diri kita lebih berhati-hati. Ada bias dalam melihat kemampuan diri kita. Atau bisa juga direfleksikan dengan “jika dia bisa beraktivitas di luar rumah tanpa terinfeksi, saya yang badannya lebih bugar atau lebih berhati-hati pasti lebih aman dari infeksi”.

Kedua, masalah kebiasaan dan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Awalnya mereka bisa tinggal di rumah. Namun, dalam jangka agak panjang, kebiasaan lama akan kembali, ketika mereka kembali ke luar rumah.

Kemungkinan lain bermuara pada bagaimana orang mengkalkulasi risiko. Dalam hal ini ada bias yang terkait dengan keadaan masa kini (present bias), ketika orang cenderung memilih manfaat yang segera ketimbang manfaat jangka panjang. Mudahnya begini: jika saya pekerja harian dan tinggal di rumah, saya akan kehilangan penghasilan. Sedangkan bila saya keluar, saya mungkin mendapat penghasilan. Memang ada kemungkinan kena virus, tapi mungkin juga tidak. Kehilangan pendapatan lebih segera dampaknya ketimbang manfaat sehat.

Menangani pandemi memang sepertinya membutuhkan pendekatan yang berbeda dari menangani bencana alam. Bencana alam merupakan kejadian tunggal, sementara pandemi merupakan peristiwa yang berkelanjutan, sehingga dibutuhkan kebijakan holistik yang mempertimbangkan faktor kesehatan, ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Dengan kata lain, kita tak bisa menganggap bahwa semua orang adalah Mr. Spock.

Terlebih pandemi ini mungkin masih akan bersama kita untuk periode yang agak panjang. Perilaku mungkin berubah. Dalam kondisi ini, kebijakan harus dirancang agar ia bisa efektif tak hanya untuk Mr. Spock, tapi juga buat Homer Simpson.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus