Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dodi Ambardi*
Dua puluh lima tahun lalu, Dede Oetomo, sosiolog Surabaya, mengabarkan temuan menarik hasil penelitiannya tentang hubungan antara bahasa dan penggunanya di majalah Prisma edisi Januari 1989. Lebih spesifik, ia bercerita bagaimana kelas menengah Indonesia memilih ekspresi bahasanya.
Dede Oetomo mengamati pertumbuhan pesat kelas menengah baru di perkotaan. Kelompok baru ini membangun koloni-koloni permukiman dan menyatu dalam kompleks-kompleks perumahan yang terpisah dengan penduduk lokal. Menurut temuan Dede, penghuni perumahan-perumahan cenderung memilih pengantar bahasa Indonesia untuk bergaul di lingkungannya dan dalam membesarkan anaknya ketimbang menggunakan bahasa daerah tempat asalnya. Sedangkan penghuni kampung-kampung asli di perkotaan tetap menggunakan bahasa lokal.
Ada alasan praktis di balik pemilihan pengantar bahasa Indonesia di wilayah perumahan-perumahan itu. Asal-muasal daerah anggota baru kelas menengah itu berlainan. Karena itu, mustahil bagi mereka untuk menggunakan bahasa daerah masing-masing untuk berkomunikasi dengan tetangga. Alasan lain bersumber dari gengsi sosial. Kata Dede, kenaikan status sosial dan ekonomi yang mereka alami memerlukan kesepadanan ekspresi bahasa. Klop, bahasa Indonesia dianggap lebih bergengsi dan lebih cocok untuk kelas menengah baru ini.
Tesis Dede tampaknya berlaku sampai hari ini. Gaya berbahasa memiliki konstituen kelasnya masing-masing yang mencerminkan pula hierarki sosial. Tapi, karena perkembangan yang terjadi setelah 25 tahun, tentu saja terjadi sedikit modifikasi atas tesis itu. Kelas menengah baru ini semakin membengkak jumlahnya dan semakin sejahtera ekonominya. Karena itu, kelas ini perlu dipecah dalam sejumlah subkategori: menengah-atas, menengah-menengah, dan menengah-bawah. Selain itu, mereka mengalami terpaan sosial yang jauh lebih luas dan intensif tapi bertingkat. Berkat kemakmuran yang dinikmati, mereka tidak lagi sekadar berwisata ke Tawangmangu, Batu, Puncak, Berastagi, Pantai Losari, Kuta, Sanur, atau Senggigi. Mereka menjangkau Singapura, Bangkok, Taipei, dan Tokyo. Sebagian dari mereka yang sudah masuk kategori kelas menengah-atas bahkan merambah Perth, Sydney, London, Paris, Milan, dan Los Angeles. Terpaan media massa dan media sosial mempercepat perambahan kelas menengah ke dunia internasional secara virtual—melalui ujung jari mereka. Pendeknya, kelas menengah telah bertransformasi menjadi warga kosmopolit atau setidaknya mengidap aspirasi kosmopolitan.
Pilihan-pilihan baru untuk kelas menengah terbentang kian luas, tak terkecuali bahasa. Dua puluh lima tahun lalu, Dede mengidentifikasi pergeseran penggunaan bahasa di kalangan menengah perumahan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia, yang dianggap lebih bergengsi. Kini pergeseran itu terjadi dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris—yang dianggap lebih bergengsi pula. Ragam ekspresi campuran Indonesia-Inggris pun kini sedang merebak menjadi mode.
Namun ada variasi kefasihan beringgris-inggris di kalangan kelas menengah ini yang tampaknya bersepadan dengan subkategori kelas menengah. Yang menengah-atas dengan Inggris yang bagus, ketika dikirimi pesan pendek (SMS) mengapa tak kunjung sampai ke tempat pertemuan, akan menjawab balik, "On the way." Mereka pun gemar mengutip komplet sebuah ungkapan dengan ucapan yang betul, misalnya, "No pain no gain." Sedangkan mereka yang masuk subkategori kelas menengah-menengah dan menengah-bawah, dengan bahasa Inggris pas-pasan tapi ingin tetap menaikkan gengsi sosialnya, cara memakai campuran Indonesia-Inggris kadang menghasilkan ekspresi yang agak rusak. Misalnya, "Aku exciting banget…." Tentu yang dimaksudkan adalah pernyataan ketertarikan kepada sesuatu atau ketertarikan melakukan sesuatu. Saya kira yang hendak diekspresikan adalah "Saya [I am extremely] excited…". Kerusakan ekspresi ini menjadi gawat karena pernyataan bahwa dia exciting bisa membawa kesan bahwa dia sedang menawarkan elemen tubuh yang bohai….
Rusak atau tidak rusak bahasa Inggrisnya, kelas menengah yang semakin makmur ini adalah rumpun konsumen yang berdaya beli tinggi. Dan para pengusaha perumahan memiliki naluri tajam untuk membidik pasar potensial perumahan. Alhasil, para profesional pemasaran menjual imaji gengsi kompleks perumahan ke konsumen kelas menengah ini dengan memampangkan nama-nama Inggris. Dulu nama perumahan masih memuat ekspresi lokal, seperti pondok, griya, atau yang umum ya sekadar perumahan plus nama tempat aslinya. Kini nama perumahan yang mutakhir dipermak dengan akhiran Inggris residence, regency, atau yang berukuran raksasa dengan akhiran city. Dan mereka memilih penamaan hunian bersekat dengan istilah suit atau apartment atau condominium ketimbang "rusume" alias rumah susun mewah—yang kelasnya berbeda dengan sekadar rusun.
Bunyi promosi mereka pun bertaburan dengan ungkapan Inggris. Ini contoh yang saya ambil dari iklan layanan Internet berkecepatan tinggi untuk perumahan kelas menengah: "Comfort and Enjoyable you need it & make you happy." Saya menduga ekspresi yang dimaksudkan perumus promosi itu adalah, "Comfort and Joy you need to make you happy," atau sekadar diringkas, "Comfortable and enjoyable."
Namun tak penting amatlah isu akurasi bahasa Inggris. Yang penting promosi itu memberikan kesan gagah dan berkelas—meskipun kadang memang cuma tinggal kesan. Toh, pembeli kelas menengah dan personel pemasaran sama-sama bergembira dengan menggunakan ekspresi yang diyakini dapat menopang gengsi mereka.
*) Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo