Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kontroversi Lukisan Koleksi Sang Dokter

Tak biasanya berita dari dunia seni menjadi laporan utama majalah Tempo. Pada Tempo edisi 25 Juni-1 Juli 2012, turun laporan tentang sejumlah koleksi lukisan para maestro di museum baru milik dr Oei Hong Djien di Magelang, Jawa Tengah, yang diduga palsu. Laporan berjudul "Lukisan Palsu Sang Maestro" ini menghebohkan dunia seni rupa Indonesia.

Masalahnya, museum itu dibuka untuk publik. Pengunjung harus membeli tiket. Sejumlah lukisan yang masih tak jelas asal-usulnya tentunya kurang tepat bila disajikan begitu saja. Tempo menelisik riwayat sejumlah lukisan yang diragukan itu dengan mewawancarai beberapa pakar, bertanya kepada keluarga sang maestro, dan mencari tahu kemungkinan adanya sindikat pemalsu lukisan.

Laporan Tempo tersebut membuat banyak orang lebih berhati-hati dalam membeli lukisan para maestro. Orang juga mulai memperbincangkan fenomena lukisan palsu secara terbuka setelah sekian lama hanya menjadi rumor dan kasak-kusuk.

Menindaklanjuti laporan utama majalah Tempo, sebuah kelompok kolektor yang bernaung di bawah Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia (PPSI) membuat buku mengenai hal-ihwal pemalsuan lukisan para maestro di Indonesia. Kelompok ini secara aktif mengadakan diskusi dan kampanye penyadaran, dari Bali sampai Yogya, mengenai maraknya penyebaran lukisan palsu. Lukisan palsu tak hanya merugikan kolektor yang telanjur membeli, tapi lebih penting bisa menyelewengkan dan menipu sejarah seni rupa Indonesia.

7 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelompok pemalsu lukisan maestro seni rupa Indonesia telah lama ada di kota seperti Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Jakarta. Sindikat ini jarang diulas dalam dunia seni rupa Indonesia. Seolah-olah dibiarkan begitu saja tanpa perlu dibongkar sepak terjangnya.

Isu tentang adanya sindikat pemalsu lukisan yang puluhan tahun mengendap di bawah tanah ini naik ke permukaan pada 2012. Penyebabnya tak terduga, justru datang dari tokoh besar dan terhormat seni rupa Indonesia, kolektor dr Oei Hong Djien (OHD). Pada awal April 2012, Oei membuka museum pribadinya di Jalan Jenggolo 14, Magelang, Jawa Tengah, untuk umum. Ia memamerkan koleksi barunya, antara lain karya Hendra Gunawan, Sudjojono, dan Soedibio, yang selama ini jarang dilihat oleh masyarakat seni rupa Indonesia. Ia juga mengulas koleksi barunya itu dalam buku yang ditulisnya sendiri, Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia.

Alih-alih terpukau, beberapa kritikus, kolektor, dan pengamat seni yang hadir dalam peresmian museum itu terperanjat. Diam-diam mereka sangsi akan keaslian lukisan yang dipamerkan Oei. Mereka, misalnya, ragu terhadap keaslian lukisan Hendra Gunawan berjudul Penarik Gerobak dan Penjual Es Lilin atau karya Sudjojono Perdjuangan Belum Selesai, Persiapan Serangan Malam, dan Suatu Kejadian Mengalihkan Perhatian. Bahkan istri Sudjojono, Rose Pandanwangi, menolak difoto di depan lukisan berjudul Sabda Alam, yang dinyatakan karya suaminya.

Gunjingan mengenai adanya koleksi palsu dr Oei meledak di media sosial. Terjadi polemik. Segera sesudah acara itu, kami meminta Ahmad Rofiq, koresponden Tempo di Solo, mewawancarai lebih dalam istri Soedibio, yang tinggal di Solo. Lalu kami mengundang ke kantor kami di Velbak, Jakarta Selatan, dua putra Sudjojono dari Mia Bustam: Tedja Bayu dan Watu Gunung. Juga kami bertamu ke rumah Rose Pandanwangi. Kami mewawancarai pula para pengamat seni rupa. Hampir semua ragu akan keaslian banyak lukisan di museum baru di Magelang itu.

Pada akhir Mei 2012, pengamat ekonomi Lin Che Wei mengadakan round table discussion di Galeri Nasional Jakarta untuk memperjelas masalah tersebut. Dr Oei hadir dan menampik semua tudingan. Ia menantang para penuduhnya untuk membuktikan. Diskusi ini tak menyelesaikan persoalan, malah berubah menjadi bola panas. Sehari setelah round table itu, Redaktur Pelaksana Kompartemen Seni dan Intermezo Tempo Seno Joko Suyono dan Kurniawan datang ke Magelang untuk mewawancarai dr Oei. Satu hal penting yang hendak ditanyakan kepada OHD saat itu adalah mengenai provenance atau asal-usul lukisan. Dari mana Oei memperoleh lukisan-lukisan baru tersebut? Sebab, dalam acara round table itu OHD tak menjelaskannya. Melalui siapakah lukisan itu didapat dr Oei?

OHD menerima dengan terbuka. Blakblakan berbicara, dia mengakui cara mengumpulkan koleksi penuh petualangan, di luar jalur konvesional para kolektor. Sementara kolektor umumnya melalui jalur formal seperti lelang, ia blusukan mencari. Ia memiliki dealer khusus atau orang-orang kepercayaan tertentu yang sudah bekerja sama puluhan tahun. Ia percaya kepada orang-orang ini. Dari merekalah sebagian besar "lukisan baru" itu diperolehnya. Sayangnya, dr Oei tidak mau membuka siapa nama orang-orang kepercayaannya itu.

Sebetulnya, apabila OHD saat itu dengan besar hati mengungkap siapa nama sang dealer, hal tersebut akan sangat membantu menjernihkan masalah ini. Kami bisa melakukan wawancara dengan dealer tersebut dan mereportasekan ulang dari mana barang itu didapat sang dealer. Tapi, sampai tiga jam wawancara, dr Oei tak mau membuka. OHD dengan tegas mengatakan, berdasarkan pengalaman puluhan tahun, ia bisa membedakan mana yang bodong dan mana yang asli.

Lantaran OHD tetap menutupi identitas pemasoknya, kami menyebarkan tim untuk menelusuri komunitas pemalsu lukisan di Jakarta, Bandung, Sumedang, dan Yogyakarta. Selain untuk membuktikan bahwa komunitas itu benar-benar ada, kami berharap bisa mendapat info mengenai jalur-jalur yang memasok lukisan ke Magelang. Di Yogyakarta, wartawan Tempo Dian Yuliastuti serta koresponden Addi Mawahibun dan Pribadi Wicaksono mencoba masuk ke "galeri-galeri" lukisan bodong. Berpura-pura sebagai pembeli, di sebuah tempat, Dian ditawari lukisan bodong berharga Rp 25-800 juta. Di tempat itu, ia juga melihat seorang pelukis sedang mencontoh lukisan karya Soedibio dari sebuah katalog. Bedanya, di katalog posisi lukisan horizontal, sedangkan yang sedang dikerjakan dalam bentuk vertikal.

Di Jakarta, Seno Joko Suyono serta redaktur Seni Kurniawan dan Nurdin Kalim menyebar ke berbagai lokasi. Di antaranya ke seorang pemalsu yang menurut seorang sumber pernah membuat seri lukisan berjudul Arakan Pengantin yang dinyatakan sebagai karya S. Sudjojono. Ada lebih dari sepuluh seri yang dibuatnya, dan kini sudah tersebar ke berbagai kolektor. Salah satunya menjadi koleksi OHD dan ikut dipamerkan di museum barunya. Akan halnya wartawan Tempo Agung Sedayu dan koresponden Anwar Siswadi menelusuri tempat-tempat pembuatan lukisan palsu di Bandung, Sumedang, dan Tasikmalaya.

Di Bandung, kami bertemu dengan seorang dealer seni kawakan. Dia malang-melintang dalam penjualan lukisan Hendra Gunawan. Sewaktu disodori buku Lima Maestro milik dr Oei, ia juga ragu terhadap keaslian lukisan-lukisan Hendra dalam buku itu. Dari dia Tempo mendapat peta para pemalsu di Bandung. Dia menyebut seorang pemalsu karya Hendra Gunawan yang kualitas lukisannya KW (kwalitas) 1 tinggal di daerah Sumedang.

"Saya dan Anwar datang ke sebuah desa di Sumedang yang disebut oleh dealer tadi," ujar Agung Sedayu. Mereka menemukan tempat tinggalnya, tapi sang pelukis yang juga seorang kontraktor sedang berada di luar kota. Menyamar sebagai dealer, akhirnya Agung dan Anwar berbincang-bincang dengan istri sang pelukis. Sang istri menerangkan lukisan Hendra KW 1 buatan suaminya harganya "cukup" Rp 150 juta. Istri sang pelukis juga bercerita bahwa suaminya pernah mengirim lukisan ke salah satu kolektor di Magelang melalui dealer bernama Fanny Yudha.

Dari berbagai persentuhan dengan komunitas para pemalsu lukisan di Yogya, Bandung, dan Jakarta, memang beberapa kali muncul nama Fanny Yudha sebagai dealer dr Oei. Betulkah Fanny Yudha pemasok lukisan kontroversial milik OHD dan namanya ditutup-tutupi oleh OHD? Di manakah Fanny Yudha? Kami mendapat info bahwa orang yang mengenal Yudha adalah Didik Pribadi, bekas pegawai OHD yang merawat koleksinya. Kami mencoba mencari Didik, yang katanya tinggal di sebuah perumahan di Bantul, Yogya. Dian Yuliastuti saat itu berhasil menemuinya. Ia dipersilakan menunggu di teras. Tapi, begitu Dian menjelaskan maksud kedatangannya, Didik langsung menyergah bahwa dia tak lagi berurusan dengan OHD dan kabur dengan sepeda motor.

Susah mencari Fanny Yudha. Tiba-tiba Agung Sedayu mendengar kabar penangkapan seorang pengusaha yang sedang berpesta sabu-sabu di Magelang. Ketika itu sang pengusaha hendak menjalani proses pengadilan. Naluri Agung mengendus sesuatu. "Magelang kota kecil. Sabu-sabu itu mainan orang kaya. Dia pengusaha apa?" ucap Agung. Dari sana, Agung meminta Anang Zakaria, koresponden di Yogyakarta, menelisik orang tersebut. Ternyata, bingo…, pengusaha itu bernama Yudha dan berbisnis lukisan. Dia ditangkap bersama koleganya, Nana Suryana.

Anang Zakaria berusaha menemui Fanny Yudha dan Nana Suryana di Pengadilan Negeri Magelang. Di sela-sela rehat pengadilan, Anang berusaha mendekati Yudha. Yudha kaget. Ia mengakui bertahun-tahun memasok lukisan ke Oei. Tapi pria itu mengatakan lukisan yang dipasoknya bisa dipertanggungjawabkan. Anang menggali lebih jauh soal provenance lukisan. Yudha menampik. Anang sempat bersitegang dengan Yudha dan Nana Suryana hingga membuat petugas pengadilan turun tangan.

Sementara itu, Agung dan Anwar kembali menyusuri wilayah Bandung. Kali ini mereka menemui salah satu anak Hendra Gunawan bernama Rosa Vistara. Dari Rosa, mereka memperoleh data sebuah foto Hendra Gunawan duduk di penjara Kebon Waru. Hendra duduk di depan sebuah lukisan besar. Agung dan Anwar kaget menyaksikan foto ini. Sebab, foto ini juga ada di buku Lima Maestro. Hanya, di buku OHD, Hendra duduk membelakangi lukisan Penarik Gerobak. Sedangkan pada foto yang dimiliki Rosa, Hendra duduk di depan lukisan Pandawa Dadu.

Segera dapat dibaca, gambar yang ada di buku OHD adalah hasil montase. Rekayasa itu dibuat agar Penarik Gerobak yang sesungguhnya palsu dianggap asli. Rosa mengatakan dua tamu yang mengaku utusan dr Oei dari Magelang suatu kali pernah datang meminjam foto-foto keluarga. Mereka mengaku sedang mengumpulkan data untuk membuat buku tentang Hendra. Menurut Rosa, foto-foto keluarga itu lama tak dikembalikan, sampai dia harus menagih. Setelah dikembalikan, satu foto Hendra dengan latar belakang lukisan Pandawa Dadu tak disertakan. Untungnya, Rosa telah merepronya pada 1998. Siapa orang yang mengaku utusan dr Oei itu? Di luar dugaan, Rosa saat itu menjawab, "Mereka adalah Yudha dan Nana."

Penemuan soal manipulasi foto dalam buku Lima Maestro milik OHD itulah yang akhirnya menjadi penentu turunnya masalah lukisan palsu ini sebagai cover dan laporan utama majalah Tempo, setelah berkali-kali "terpental" dalam rapat redaksi karena dianggap kurang bukti keras.


Menggelinding hingga Singapura

Kontroversi lukisan palsu terus merebak. Pemalsu tiarap, kolektor waspada.

Mencuatnya isu lukisan palsu seperti bisul yang pecah. Budi Setiadharma, kolektor lukisan dan aChairman Astra International, mengatakan isu pemalsuan ini sudah lama merebak, tapi puncaknya setelah dibukanya Museum Oei Hong Djien (OHD) di Magelang, Jawa Tengah.

Menurut Budi, terkuaknya isu lukisan palsu ini membuat para pemalsu tiarap sejenak, tapi masalah belum selesai. Pemalsuan masih akan marak karena pemalsu sukar dihukum, belum adanya lembaga laboratorium penguji dan lembaga sertifikasi resmi, perangkat hukum, serta sikap aparat. Tapi, "Kami akan terus mengingatkan masyarakat," katanya pertengahan Februari lalu.

Setelah laporan Tempo "Lukisan Palsu Sang Maestro" terbit pada Juli 2012, Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia (PPSI) menerbitkan buku Jejak Lukisan Palsu pada 2014. PPSI adalah organisasi yang menaungi para pencinta seni rupa dan kolektor. Belasan kolektor besar, seperti Budi Setiadharma, Ciputra, dan Haryanto Adikoesoemo, berhimpun di sini. Budi adalah ketuanya.

Tujuan PPSI adalah memperbaiki pasar seni rupa Indonesia yang kacau dengan adanya lukisan palsu. Budi mengatakan pemalsuan lukisan ini tak hanya merugikan ekosistem seni rupa, tapi juga masyarakat, yang dibodohi dengan karya-karya palsu sindikat ini. PPSI lantas menggelar berbagai diskusi mengenai lukisan palsu di sejumlah kota. Yang terakhir digelar di Yogyakarta pada awal Februari dan awal Maret lalu di Universitas Udayana, Bali. "Ini adalah gerakan moral untuk mengedukasi masyarakat, pencinta seni, dan perupa," ujar Budi.

Budi mengakui bahwa gerakan yang dilakukan PPSI dan laporan Tempo telah membuat para kolektor lebih berhati-hati. Mereka juga membagikan laporan Tempo tersebut kepada komunitas seni rupa di Singapura. Negeri Singa adalah pusat pasar seni rupa Asia Tenggara. Di sana banyak kolektor, galeri, dan balai lelang yang aktif memperdagangkan karya seni Indonesia. Meskipun tidak secara terang-terangan bertanya, beberapa kolektor di sana mulai menanyakan masalah pemalsuan ini. Budi pun yakin balai lelang internasional dengan perwakilan di Indonesia juga mengetahui tentang fenomena yang belum reda ini.

Merebaknya isu ini juga mendorong pengamat seni asal Prancis yang tinggal di Bali, Jean Couteau, angkat bicara. Couteau, yang mempunyai jaringan dan pengaruh yang luas di dunia seni Indonesia dan internasional, bahkan menuliskan opininya tentang pemalsuan ini di sebuah surat kabar nasional. Menurut dia, sindikat pemalsuan harus dilawan. Caranya dengan mendorong para kolektor berani bicara, terbentuknya lembaga otentifikasi yang bisa dipercaya dan laboratorium forensik yang andal, serta perangkat hukum yang kuat.

Pengamat seni rupa Agus Dermawan T. menilai liputan Tempo dan buku Jejak Lukisan Palsu berhasil menunaikan fungsi sebagai pembedah kenyataan, yang selama ini hanya jadi rumor tentang realitas kusam seni rupa Indonesia. "Yang tadinya tak mengerti bagaimana karya dipalsukan dan dimanipulasi hukumnya bisa segera paham. Calon pembeli lukisan jadi lebih berhati-hati," ucapnya. Tapi sebagai pembedah kesadaran dan pencegahan, kata dia, belum berarti apa-apa.

Belum lagi reda soal kontroversi lukisan palsu di Museum OHD itu, pada November tahun lalu Oei Hong Djien kembali menggelar pameran dan meluncurkan buku The People in 70 Years, yang ditulis Jim Supangkat dan Iwan Sewandono. Pameran yang dikuratori oleh Jim Supangkat itu menampilkan 100 lukisan koleksi Oei, termasuk beberapa karya seniman muda Indonesia dan maestro yang pernah tampil dalam buku Lima Maestro, yang sebagian dinilai palsu oleh PPSI. Lukisan itu antara lain Arakan Pengantin (S. Sudjojono,1976), Berjudi (Hendra Gunawan, 1975), Penjual Es Lilin (Hendra Gunawan, 1970), Perang Buleleng (Hendra Gunawan, 1982), dan Saritem (Hendra Gunawan, 1981).

Oei membantah jika buku barunya itu dinilai hendak menguatkan bahwa koleksinya asli."Buku ini memamerkan karya-karya ini, lho. Dipilih kurator. Ya, karya-karya yang bagus, bahkan masterpiece. Kami tak punya pikiran apa-apa," katanya.

OHD tak peduli pada tudingan orang berkaitan dengan lukisan palsu. Bagi dia, sebagai kolektor dan pengelola museum, museum dibuka untuk mensosialisasi seni rupa Indonesia dan mempromosikan karya seni demi kebaikan seniman Indonesia. Lantaran terbuka untuk publik, kritik adalah hal biasa. "No problem. Apakah saya pernah meng-counter? Belum, kan? Saya lebih baik bikin pameran lebih baik lagi, lebih baik lagi," ujarnya.

Dengan koleksinya, Oei meyakini telah menyelamatkan sejarah meskipun harus kehilangan sejumlah uang. Dokter lulusan Belanda ini memilih diam dan enggan menanggapi penilaian PPSI. "Buku sejarah seni rupa Indonesia pun belum ditulis. Apalagi alat-alat konservasi," katanya.

Budi Setiadharma menyayangkan masih munculnya lukisan-lukisan yang bermasalah ini di buku The People in 70 Years. Dia menilai buku itu memang bukan untuk menjawab buku PPSI. "Tapi kok rada keterlaluan, masih nekat. Kalau Pak OHD berpikir positif, ini kan persoalan sesuatu yang ada kebenarannya dan tidak bisa diperdebatkan," ujar Budi. Dia juga menyayangkan Jim Supangkat sebagai kurator—yang seharusnya tahu persoalan ini—masih menyertakan lukisan tersebut.

Jim Supangkat mengakui banyak orang menanyakan perkara ini. Tapi, menurut dia, hal itu tidak ada hubungan sama sekali. Dia mengaku punya penilaian sendiri soal lukisan sehingga tak mungkin memilih lukisan palsu. "Saya yakin tidak akan terjebak. Mustahil kurator terjebak lukisan palsu," ucapnya.

Jim tetap meyakini lukisan koleksi Oei Hong Djien itu asli, seperti Arakan Pengantin karya Sudjojono. "Itu kritik Sudjojono terhadap fenomena di Cirebon. Itu Sudjojono betul. Saya kenal dia 10 tahun terakhirnya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus