Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1896. Gelap tiba-tiba membalut aula. Panggung masih melompong. Tak ada gadis centil yang biasanya membuka acara. Hanya ada sebuah layar terbentang. Selama beberapa detik, keheningan menghanyutkan beberapa puluh pasang mata sebelum akhirnya sebuah sinar terang meluncur ke layar disertai suara mendengung pemutar film.
Di layar itu tiba-tiba nongol gambar dua gadis muda berambut pirang, menari genit dengan payung kecilnya. Para penonton terpana. Kaget. Bukan karena pakaian seksi warna merah muda dan biru yang membuat mereka melongo. Tapi, itulah untuk pertama kali sebuah film diputar oleh penemunya, Thomas Alfa Edison. Koran New York Times menuliskan sejarah itu keesokan harinya, 24 April 1896.
Saat ini, lebih dari seabad setelah Edison mempertontonkan gambar hidupnya, teknologi bioskop nyaris tak berubah selain kemudian gambar menjadi berwarna pada awal dekade 1960. Bioskop masih saja memakai film seluloid yang disorot cahaya dan pada dua tepinya ada lubang untuk gerigi pemutar film.
Revolusi di bioskop baru dimulai beberapa bulan terakhir. Bioskop-bioskop mulai melirik pemakaian film digital. DG2L, salah satu pelopor proyektor digital dari Amerika Serikat, misalnya, telah dikontrak untuk memasang peralatan sinema digital di 2.000 bioskop yang tergabung dalam jaringan United Film Organizers (UFO) di India. Inilah proyek sinema digital terbesar dengan anggaran multijuta dolar. ”Kami telah memasang di 150 bioskop,” kata A.K. Sheth, CEO of DG2L Technologies.
Sheth menuturkan, untuk tahap pertama mereka menargetkan memasang pada 500 bioskop di India Utara. Pemasangan pada 50 bioskop pertama, menurut Sheth, adalah yang tersulit. ”Proyek ini akan menghemat biaya distribusi ke bioskop-bioskop serta bisa mengirim film ke mana pun hanya dalam hitungan menit,” kata Sanjay Gaikwad, Executive Director UFO. Sekali pencet tombol, film bisa terkirim ke ribuan bioskop melalui satelit atau jaringan Internet, atau kabel ADSL seperti Telkom Speedy. Kalau tak ada akses Internet atau satelit, film juga bisa dikirim dalam bentuk piringan DVD dengan proteksi khusus.
Di beberapa proyek percontohan di negara Eropa dan Amerika Serikat, kantor berita BBC mencatat teknologi semacam ini bisa menghemat sekitar 75 persen biaya pengiriman film. Saat ini sudah sekitar 200 bioskop di sana yang tak lagi menggunakan proyektor film 35 milimeter. Mereka menggantinya dengan proyektor digital seharga US$ 60 ribu sampai US$ 100 ribu (sekitar Rp 630 juta sampai Rp 1 miliar).
Cara kerja sinema digital ini unik. Film tak dicetak di pita seluloid, tapi dijadikan data digital. Agar kualitasnya bagus tapi ukuran file tak besar, film dimampatkan dengan teknologi MPEG4 (Moving Picture Experts Group versi 4). Dalam film itu juga dimasukkan suara dengan kualitas surround 5.1 (5 kanal suara plus 1 subwoofer). Orang awam mengenal teknologi ini membuat suara tembakan dalam film seperti berputar mengitari penonton.
Agar tak bisa dibajak, film ini dilengkapi teknologi encryption atau pelindung khusus. Data digital itu diacak dan hanya bisa dibuka oleh mesin khusus keluaran DG2L dan dipancarkan melalui proyektor khusus.
”Inilah lompatan besar dalam dunia film,” kata George Lucas, pencipta film Star Wars.
Bagi produser film, sinema digital juga berarti bisa menghemat ongkos pembuatan film. Untuk mencetak film dalam bentuk pita seluloid, saat ini biayanya sekitar 100 ribu poundsterling (sekitar Rp 1,9 miliar juta). Dengan teknologi sinema digital, biaya dipangkas menjadi seperseratusnya, 1.000 poundsterling atau sekitar Rp 19 juta. Hemat kan? ”Kami bisa mengalihkan anggaran itu untuk membeli aktoraktor yang mahal,” kata Richard Jobson, sutradara film digital A Woman In White.
Bila teknologi ini sampai ke Indonesia, siap-siap saja menyaksikan wajah murung para pengantar film. Tak akan ada lagi kisah Joni—seperti dalam film Janji Joni—yang ngebut dari bioskop ke bioskop demi mengantar rol film.
Burhan Sholihin (Fortune, BBC, Business Wire)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo