Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pantang Menyerah Melawan Kanker

Para pasien kanker terus berupaya agar tak kalah oleh penyakit itu. Sebagian dari mereka menginspirasi pasien lain dengan bermain sepak bola amputasi dan menerbitkan buku.

6 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Candra Wahyuaji (kedua dari kanan) mengikuti seleksi timnas sepakbola amputasi di Jakarta, 16 januari 2022. Dok. Candra Wahyuaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Candra Wahyu Aji tergabung dalam Indonesia Amputee Football setelah kakinya diamputasi karena kanker tulang.

  • Rahmi Fitria menulis buku berjudul Berdamai dengan Kanker demi mencegah orang terkena kanker.

  • Pasien kanker sebaiknya terus melanjutkan pengobatan meski dilakukan di tengah masa pandemi Covid-19.

CANDRA Wahyu Aji tidak mengira benturan kakinya dengan tiang gawang saat bertanding sepak bola pada pertengahan 2012 berbuntut panjang. Tulang kaki kanannya retak. Beberapa bulan kemudian, dokter menyatakan ada tumor di kakinya. Belakangan, pria yang saat itu berusia 14 tahun ini divonis terkena kanker tulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentu saja ia kaget bukan kepalang. Sebab, semua orang tahu bahwa kanker adalah penyakit mematikan. Perlu proses panjang untuk pengobatannya. Maka setiap peringatan Hari Kanker Sedunia pada 4 Februari, kita kembali diingatkan untuk menjaga kesehatan agar terhindar dari kanker sekaligus berempati dan mendukung mereka yang sudah terkena agar bisa melawan penyakitnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dukungan semacam itulah, terutama dari keluarga dan orang-orang terdekat, yang membuat Candra tak menyerah. Ia menempuh beragam pengobatan, dari kemoterapi hingga pengobatan alternatif. “Semua dicoba,” tuturnya kepada Tempo, Rabu lalu. Pada 11 Maret 2013, ia merelakan kaki kanannya diamputasi demi mencegah penyebaran kanker.

Beberapa bulan pasca-amputasi, Candra mulai bangkit kembali. Pemicunya saat ia melihat anak-anak bermain sepak bola di sekitar rumahnya, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan. Dia pun tertarik menjadi pelatih bola.

Keluarga dan teman Candra menyarankan ia membuka sekolah sepak bola (SSB). Mulanya, dia tak percaya diri menjadi pelatih karena kehilangan kaki kanannya. Namun, akhirnya, pada 2015, ia memutuskan untuk membuka sekolah sepak bola yang diberi nama SSB Putra Garuda Muda.

Sayangnya, SSB itu hanya bertahan setahun. Candra tak kuat membayar sewa lapangan untuk latihan meski saat itu ia bisa melatih 50 anak. “Biaya sewa lapangannya mahal,” dia mengenang.

Saat duduk di bangku sekolah menengah kejuruan, Candra mulai mengenal futsal. Anak-anak yang sempat bergabung di SSB yang pernah dibinanya ia tarik ke akademi futsal. Kini akademi tersebut masih vakum, tapi dia berencana meneruskannya kembali.

Pada 2018, Candra ditawari bergabung dengan Indonesia Amputee Football (Inaf). Dia tak menolak tawaran tersebut. Tak dinyana, tim sepak bola amputasi tersebut tengah mencari pemain untuk mengikuti pertandingan di Malaysia.

Latihan untuk pemain sepak bola amputasi sama seperti pemain bola lainnya, yaitu berlari dan latihan menendang bola. Hingga kini, pria berusia 22 tahun itu masih ikut sepak bola amputasi. Beberapa waktu lalu, ia mengikuti liga amputasi nasional di Jember, Jawa Timur.

Selain itu, Candra tertarik mendaki gunung. Pada 2019, ia bersama lima kawannya mendaki Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Beberapa gunung lain yang pernah didakinya antara lain Cikuray, Kencana, Sindoro, Sumbing, dan Slamet. Tidak ada persiapan khusus sebelum mendaki gunung tersebut.

Candra berpesan agar pasien kanker lainnya terus bersemangat menjalani pengobatan. Para anggota keluarga yang menjadi pendamping juga sebaiknya bersabar dan tidak menunjukkan keputusasaan di depan orang yang menderita kanker. “Takutnya pasien kanker itu tidak semangat lagi karena berpikir nyawanya tidak bisa diselamatkan,” tutur pria yang sudah dinyatakan sembuh dari kanker tulang tersebut.

* * *

Ajis Pirmansyah (kiri) mengikuti Fun Footbal bersama Jakarta69 FC. Dok. Ajis Pirmansyah

Kecelakaan saat bermain sepak bola dan berujung pada kanker tulang juga menimpa Ajis Pirmansyah, warga Desa Sukamaju, Rancakalong, Sumedang. Pada 2015, dia mengalami benturan dengan pemain lain saat bertanding. Namun kakinya tak langsung diobati setelah benturan tersebut.

Sepekan kemudian, kaki Ajis diurut. Namun kaki kanannya justru bertambah bengkak. Dia lantas memeriksakan kakinya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumedang. “Dokter bilang saya kena kanker tulang stadium satu dan harus diamputasi,” tuturnya.

Ajis enggan kehilangan kaki kanannya. Ia pun berobat ke berbagai tempat, termasuk pengobatan alternatif selama berbulan-bulan. Namun hasilnya nihil.

Ajis lalu dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dokter Hasan Sadikin Bandung. Dia berobat selama tujuh bulan di rumah sakit itu. Setelah kemoterapi keempat, ia memutuskan pulang ke Sumedang lantaran ada ujian sekolah.

Ajis pun tidak melanjutkan pengobatannya. Namun kondisi kakinya justru semakin parah. “Terasa nyeri, panas, dan bengkak di kaki,” tutur pria berusia 21 tahun itu. Dia akhirnya merelakan kaki kanannya diamputasi pada 11 Oktober 2016 atau tepat saat hari ulang tahunnya.  

Kehilangan kaki membuat mental Ajis jatuh. Perlu waktu sekitar enam bulan untuk bisa bangkit kembali. Setelah mendapat bantuan kaki palsu dari pemerintah daerah Sumedang, ia mencoba beraktivitas lagi. Salah satunya ialah melanjutkan pendidikannya dengan ikut sekolah kejar paket C untuk mendapatkan ijazah SMA.

Pada Desember 2020, Ajis ditawari oleh salah satu kawannya untuk bergabung dengan Inaf. Ia pun berupaya berlatih sepak bola amputasi. “Tongkat menjadi tumpuan utama,” kata dia.

Hingga kini, pria yang sudah dinyatakan sembuh dari sakit kanker tulang itu masih menekuni sepak bola amputasi. “Intinya jangan putus asa dan terus berdoa.”  

 

***

 

Penulis buku “Berdamai dengan Kanker”, Rahmi Fitria. Dok. Rahmi Fitria

Cara berbeda dilakukan Rahmi Fitria. Mantan jurnalis di salah satu stasiun televisi itu menulis buku berjudul Berdamai dengan Kanker pada 2017 dan terbit pada 2018.

Rahmi didiagnosis menderita kanker payudara stadium III B pada 2013. Saat itu, usianya 35 tahun. Warga Kota Bogor, Jawa Barat, tersebut menjalani beberapa pengobatan, seperti operasi pengangkatan benjolan, pengangkatan payudara, dan kemoterapi. Pengobatan itu rampung pada 2014 dan ia pun dinyatakan sembuh.

Mental Rahmi sempat jatuh karena kanker payudara. Apalagi saat itu ia tengah merintis bisnis skin care. Mentalnya juga naik-turun selama menjalani pengobatan. Beruntung, keluarganya sangat mendukung pengobatannya. Kakaknya sering menemani dia berobat ke rumah sakit.

Pada 2017, kakak Rahmi juga didiagnosis menderita kanker ovarium. Sebelumnya, ibunya juga terkena kanker ovarium dan meninggal. Saat itu, Rahmi marah dengan keadaan. Ia pun bertekad menulis buku agar orang bisa terhindar dari kanker. “Jangan sampai yang sehat terkena kanker,” tuturnya.

Rahmi menuangkan pengalamannya dalam buku Berdamai dengan Kanker itu. Selain itu, ia mewawancarai 10 pasien kanker dan sejumlah dokter. Beberapa riset di luar negeri tentang kanker juga memperkuat isi buku tersebut.

Menurut Rahmi, kanker payudara di tubuhnya dipicu oleh emosi negatif yang dipendam dan stres berkepanjangan. Masalah serupa ditemukan pada pasien kanker yang ia wawancarai. Emosi dan pikiran yang positif justru bisa berperan dalam proses penyembuhan kanker. “Jadi jangan sampai kehilangan semangat.”  

Rahmi menerangkan, 70 persen isi bukunya mengulas aspek emosi dan kesehatan mental. Selain itu, ia mengulas pentingnya menjaga gaya hidup sehat, antara lain mengkonsumsi makanan sehat, seperti sayuran dan buah; berolahraga secara rutin; minum air putih 2 liter per hari; dan istirahat yang cukup. Tujuannya agar regenerasi sel di dalam tubuh berjalan optimal.

Rahmi juga menyarankan pasien kanker bergabung dengan pasien lain dalam komunitas. Tujuannya agar bisa saling berbagi dan menguatkan. “Keluarga juga perlu lebih banyak mendengarkan pasien kanker.”  

***

Anak-anak penyintas kanker mengikuti kegiatan di rumah pejuang kanker Ambu, Bandung, Jawa Barat, 5 Oktober 2021. TEMPO/Prima Mulia

Data Global Burden of Cancer Study menyebutkan angka kasus baru dan kematian akibat kanker di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018, terdapat 348.809 kasus baru dengan 207.210 kematian. Dua tahun kemudian, jumlah kasus baru dan kematian masing-masing naik menjadi 396.914 dan 234.511.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia, Soehartati A. Gondhowiardjo, menuturkan pandemi Covid-19 sangat berdampak bagi pasien kanker. Mereka lebih mudah terjangkit virus corona karena imunitasnya terganggu. Sedangkan jika terjangkit Covid-19, pasien kanker memiliki risiko kematian yang tinggi. “Karena itu, salah satu prioritas vaksin Covid-19 adalah untuk pasien kanker,” ujarnya.

Pandemi Covid-19 juga membuat pelayanan pengobatan bagi pasien kanker terganggu. Sebab, sebagian tenaga kesehatan terjangkit virus corona sehingga harus menjalani isolasi dan sebagian lainnya wafat karena virus tersebut. Sejumlah tenaga kesehatan yang tersisa juga ditugaskan untuk menangani pasien Covid-19.

Soehartati menuturkan sebagian pasien kanker juga khawatir tertular Covid-19 jika harus berobat ke rumah sakit. Hal itu terlihat dari turunnya jumlah pasien kanker yang berobat di 47 pusat radioterapi di 16 provinsi. Radioterapi adalah jenis terapi untuk mengobati pasien kanker dengan menggunakan sinar pengion.

Menurut Soehartati, pengobatan kanker menjadi tak optimal jika para pasien menundanya. Misalnya, pasien kanker yang telah mendapat jadwal radioterapi sebaiknya tetap datang ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan. “Kalau berhenti, hasil terapinya jadi tidak optimal,” kata dia.  

Pasien kanker yang tengah menjalani pengobatan bisa datang ke rumah sakit dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Misalnya, mengenakan masker, menjaga jarak, dan sering mencuci tangan. Anggota keluarga yang mendampingi ke rumah sakit juga sebaiknya hanya seorang.

Adapun pasien kanker yang telah rampung menjalani pengobatan maupun terapi bisa menunda jadwal kontrolnya ke rumah sakit saat angka penularan corona sedang tinggi. Mereka bisa berkonsultasi secara online. “Jadi harus pandai membaca situasi penyebaran Covid-19.”  

GANGSAR PARIKESIT
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gangsar Parikesit

Gangsar Parikesit

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014. Liputannya tentang kekerasan seksual online meraih penghargaan dari Uni Eropa pada 2021. Alumnus Universitas Jember ini mendapatkan beasiswa dari PT MRT Jakarta untuk belajar sistem transpotasi di Jepang.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus