Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah lokasi penggalian pasir di Dusun Sumber Urip, Desa Sori Bura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Gemeng sibuk mengayunkan cangkulnya. Kamis siang, 26 Februari lalu, petani kopi asal Lombok itu tengah menggali pasir untuk bahan membangun fondasi rumahnya. "Tiba-tiba ada barang itu, lalu saya ambil," kata Gemeng tentang penemuan artefak keris, tombak, dan kerangka manusia. "Tapi barang-barang itu sudah diamankan oleh polisi," ujarnya kepada Tempo di bekas lokasi penemuan pada awal Maret lalu.
Penemuan Gemeng itu dibenarkan oleh I Gusti Made Suarbhawa, peneliti dari Balai Arkeologi Denpasar. Menurut Suarbhawa, temuan artefak terbaru di sekitar Tambora itu berupa keris, tombak, keramik, dan tulang-belulang manusia. "Benda-benda itu sudah diambil untuk dilakukan penelitian di balai arkeologi," ujar Suarbhawa saat ditemui di Dusun Pancasila di DesaTambora.
Dari foto-foto yang diperlihatkan, artefak itu semuanya sudah tidak utuh. Suarbhawa menjelaskan tulang-belulang manusia, misalnya, ketika ditemukan penduduk sudah teraduk tidak jelas sehingga sulit direkonstruksi. Hanya beberapa bagian yang bisa diidentifikasi sebagai kerangka manusia, yakni dari serpihan tengkorak dan rahangnya.
Adapun keris, tombak, dan keramik masih bisa diidentifikasi. Menurut Suarbhawa, bila dilihat dari usianya, pecahan keramik itu berasal dari Cina pada zaman Dinasti Ching abad ke-17. Lalu, jika melihat keris dan tombak yang bagian sarungnya dililit perak, artinya benda itu bukan milik masyarakat biasa. "Mungkin sekali itu milik prajurit kerajaan," kata Suarbhawa.
PENEMUAN artefak di Sumber Urip pada akhir Februari lalu itu merupakan temuan terbaru para arkeolog dan ilmuwan lainnya untuk menguak misteri tiga kerajaan-Pekat, Sanggar, dan Tambora-yang musnah akibat letusan dahsyat Gunung Tambora pada 1815. Penelitian pertama dilakukan Haraldur Sigurdsson, ilmuwan dari University of Rhode Island, Amerika Serikat, pada 1986. Dalam penelitian awal itu, Sigurdsson mengumpulkan data arkeologis di lereng Tambora.
Pada Agustus 2004, Sigurdsson mengajak Igan Supriatman Sutawidjaja, ahli geologi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Bandung. Dengan ground penetrating radar (GPR), mereka melakukan penelitian mengukur ketebalan endapan awan panas di beberapa lokasi yang diduga sebagai tempat ketiga kerajaan yang hilang.
Dari hasil penelitian di Desa Oi Bura, ditemukan lokasi permukiman yang diduga hilang diterjang awan panas. Lokasi itu berada 25 kilometer di sebelah barat Gunung Tambora. Pada kedalaman 2-3 meter, mereka menemukan balok-balok kayu rumah yang hangus menjadi arang. "Itu bukan kayu batang pohon karena bentuknya rata," kata Igan.
Pada bidang penggalian berikutnya ditemukan sisa-sisa rumah tradisional Sumbawa yang terkubur, lengkap dengan kerangka manusia dan tulang-belulangnya yang juga menjadi arang. "Terdiri atas dua orang dalam posisi telentang dan lainnya menelungkup. Diperkirakan kerangka ini adalah penghuni rumah tersebut," ujar Igan. Benda temuan lain, seperti tembikar, pecahan porselen Cina, potongan kain, kopi, dan beras, hangus menjadi arang.
Dari temuan artefak itu, Sigurdsson menyebut permukiman Tambora yang terkubur letusan tersebut sebagai "Pompeii dari Timur". Itu merujuk pada sebuah desa yang hilang terkubur material letusan Gunung Vesuvius di Pompeii, Italia, pada 79 Masehi. Sebelumnya, Sigurdsson bersama koleganya, Steve Carey, melakukan penelitian di Pompeii sepanjang sekitar dua dekade.
Menurut Igan, pada akhir penelitian 2004, Bupati Bima saat itu meminta saran untuk melindungi dan melestarikan situs arkeologi Tambora serta mempromosikannya sebagai tujuan wisata. Saat itu Sigurdsson berjanji mencarikan dana melalui UNESCO dan lembaga lain untuk pelestarian situs vulkanologi dan arkeologi di wilayah Gunung Tambora. "Dia mau bikin rumah atau museum untuk menyimpan artefak temuan di sana," kata Igan.
Sebelum pulang, tutur Igan, tim ingin mengubur kembali situs artefak. Namun Bupati memilih membiarkan situs itu terbuka dan berencana mendirikan tembok di sekelilingnya. Ketika tim menengok lagi ke lokasi di sela survei geologi untuk melengkapi data endapan awan panas pada 2006, tembok pelindung situs itu ternyata tidak ada. Begitu pula artefak seperti tiang kayu dan kerangka korban Tambora. "Satu rumah artefak itu lenyap, mungkin tergerus air hujan dan hanyut," ujar Igan. Posisi situs itu berada di daerah lembah, tempat air mengalir.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Indiyo Pratomo, ahli vulkanologi dari Museum Geologi Bandung, pada 2006. Indiyo bersama Pusat Arkeologi Nasional melakukan survei GPR di kawasan situs yang sama dan lokasi lain di Pekat.
Setelah Indiyo, sepanjang 2007-2010 I Made Geria dari Balai Arkeologi Denpasar melanjutkan penelitian. Saat itu Geria, kini Kepala Pusat Arkeologi Nasional di Jakarta, bersama timnya berhasil menemukan sisa bangunan yang masih utuh, komponen atap rumah, kerangka atap bambu, dan tiang penyangga. Ditemukan juga papan kayu berukir, yang diduga merupakan bagian dinding di beranda rumah. Semua material bangunan yang ditemukan itu sudah terarangkan.
Bangunan itu merupakan temuan rumah kedua setelah temuan tim Sigurdsson pada 2004. Jarak di antara kedua temuan itu 15 meter. Dalam penelitian pada 2008, Geria dan timnya kembali menemukan komponen bangunan serupa dengan material yang sudah menjadi arang, yang juga berjarak 15 meter dari temuan rumah kedua. Di dalam rumah itu ditemukan kerangka manusia dengan posisi kakinya seperti melangkah ke luar rumah. "Di rumah itu juga ditemukan keramik, tombak, keris, botol minuman, dan tangkai bendera," kata Geria di kantornya di Pejaten, Jakarta Selatan.
Dalam ekskavasi yang dilakukan setahun kemudian, di lokasi yang sama ditemukan satu lagi kerangka manusia dalam posisi tertindih bangunan. Menurut Geria, diduga ketika terjadi letusan, orang tersebut ke luar rumah. Tapi, belum sempat melangkah jauh, dia tertimpa rumah yang roboh. "Itu terlihat dari posisi tulang kakinya yang tertindih bangunan," ujarnya.
Dalam penggalian yang dilakukan pada 2010, tim ini kembali menemukan komponen bangunan yang sama. Menurut Geria, semua bangunan rumah yang ditemukan itu mirip dengan konstruksi rumah tradisional Sumbawa dan Bima. Letak rumah berderet linier mengikuti pola permukiman daerah pegunungan. Lokasi situs yang diekskavasi itu diduga merupakan permukiman masyarakat Kesultanan Tambora. "Permukiman masyarakat biasa, bukan istana kerajaan," kata Geria.
KESULTANAN Tambora telah dikenal sejak 200 tahun sebelum Gunung Tambora meletus dahsyat. Kesultanan Tambora tercatat dalam kitab Nagarakretagama di masa Kejayaan Majapahit di bawah Hayam Wuruk sebagai satu di antara sepuluh kerajaan yang ada di Sumbawa. Jatuhnya Majapahit berpengaruh juga terhadap kerajaan-kerajaan di Sumbawa, yang kemudian menjadi taklukan kerajaan Goa Tallo (Makassar) dan membawa pengaruh Islam di wilayah itu pada abad ke-17.
Dalam buku Oud en Nieuw Oost-Indien (1726), Francois Valentijn menulis, di wilayah Kesultanan Tambora terdapat banyak kampung, antara lain Cadinding, Canceeloe, Baraboen, Wawo, Lawasa, dan Papoenti. Valentijn juga mencatat bahwa orang Tambora waktu itu bersahabat dengan kerajaan lain. Mereka memiliki perangai khas: pemberani dan temperamental.
Karena itu, ketika VOC (perusahaan dagang Hindia Timur milik Belanda) datang ke wilayah tersebut pada 1673, mereka mendapat perlawanan sengit dari Kerajaan Dompu, Pekat, Sanggar, dan Tambora. Kompeni kewalahan dan kemudian mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Kapten J.F. Holsteyner. Dengan taktik adu domba, seperti antara Kerajaan Dompu dan Tambora, VOC akhirnya bisa menguasai wilayah tersebut. Dalam intrik itu, Ratu Dompu tewas, sehingga Raja Tambora diasingkan.
Dalam buku The Family of the Rajah of Tambora at the Cape, J. Hoge menulis bahwa Raja Tambora Nizam ad-Din Abd al-Bashir, yang berkuasa pada 1687-1697, diasingkan ke Cape Town, Afrika Selatan, karena memberontak terhadap VOC. Dia dituding melakukan konspirasi membunuh Raja Dompu dan membunuh ratunya. Raja Tambora itu meninggal di Cape Town pada 1719.
Sejak itu Tambora dan kerajaan lain di Sumbawa mengikut persekutuan dengan VOC. Tambora, yang saat itu dikenal sebagai penghasil kayu, madu, beras, dan kuda, menjalin perdagangan dengan VOC. Made Geria menunjukkan bukti korespondensi antara Tambora dan kantor VOC di Batavia dan Makassar sepanjang 1675-1745. "Bukti korespondensi itu kini tersimpan di Nationaal Archief Den Haag, Belanda," katanya.
Bukti lain yang menunjukkan Tambora sebagai pusat perdagangan yang ramai adalah penemuan artefak keramik dan tembikar dalam jumlah yang banyak. Dalam penelitiannya, Geria menemukan aneka keramik yang sebagian besar tidak utuh, berupa piring, mangkuk, cawan, dan buli-buli. Dari motif, ragam hias, serta bahan dan warnanya, keramik itu berasal dari Cina zaman Dinasti Ching abad ke-17. "Temuan keramik dalam jumlah besar itu mengindikasikan adanya kegiatan dengan negara lain," ujarnya. Letak geografis Kerajaan Tambora dekat dengan Labuan Kenanga, yang diduga sebagai pelabuhan dan tempat pertemuan para pedagang dari luar.
Kemasyhuran Tambora sebagai pusat perdagangan terbukti dengan banyaknya pedagang dari luar yang datang ke sana setelah letusan dahsyat pada 1815. Seperti yang diceritakan dalam Syair Kerajaan Bima, para pedagang itu datang dari Maluku, bahkan ada orang Arab, Cina, dan Belanda. Mereka membawa beras, gula, jagung, dan kedelai untuk ditukarkan dengan piring, mangkuk, kain tenun, senjata, perak, dan budak dari wilayah Tambora.
KEJAYAAN dan kemasyhuran kerajaan di lereng Tambora musnah akibat letusan dahsyat pada April 1815. Ribuan jiwa tewas. Peradaban kerajaan pun terkubur. Menurut Made Geria, sejumlah bukti yang menunjukkan peradaban kerajaan Tambora sudah maju ditemukan dalam penelitian yang dilakukan sejak 1986.
Geria dan timnya, misalnya, menemukan alat tenun, tali tambang, dan tombak berburu. Benda-benda artefak ini mengindikasikan di wilayah tersebut telah berkembang aneka kerajinan sebagai mata pencarian masyarakat saat itu. Dalam penelitiannya, Geria juga menemukan masyarakat Tambora waktu itu telah berburu rusa dan membuat dendeng dari daging rusa sebagai komoditas yang diperdagangkan.
Temuan lain yang mengindikasikan adanya kerajaan di lereng Tambora adalah aksesori dan senjata yang ditemukan bersama kerangka manusia. Menurut Geria, kerangka manusia yang ditemukan timnya membawa keris yang diselipkan di pinggang. Orang tersebut juga memakai cincin permata. Di sekitar kerangka itu ditemukan pula botol minuman keras, bandul kalung berukuran besar, gelang, dan mata uang asing. Semua benda itu mengindikasikan bahwa kerangka manusia tersebut bukanlah dari masyarakat biasa. "Setidaknya orang itu mempunyai kedudukan penting," katanya. "Bandul kalung besar yang dipakai juga merupakan pelengkap pakaian kebesaran."
Saat ini, menurut Geria, dia bersama timnya tengah melakukan penelitian untuk mencari lokasi Kesultanan Tambora. Temuan sementara, lokasi Kesultanan Tambora diduga berada di bangunan kolonial di area perkebunan kopi peninggalan Belanda di Desa Tambora.
Sulaiman, Kepala Desa Tambora, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, memiliki dugaan yang sama. "Saya punya anggapan Kesultanan Tambora berada di lokasi tanah lapang dekat pabrik kopi peninggalan Belanda," kata pria yang mengaku sebagai keturunan ketujuh kerajaan Tambora itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo