Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG Arab, seekor anjing, dan letusan Tambora merupakan unsur yang selalu ada dalam setiap cerita rakyat yang sampai kini diceritakan secara turun-temurun di Bima, Sumbawa. Nama tokoh dan alur cerita bisa berbeda-beda, tapi akhir cerita selalu sama: Gunung Tambora meletus karena Tuhan marah atas pembunuhan terhadap seorang Arab.
Setidaknya ada tiga versi cerita rakyat yang terkait dengan letusan Tambora. Versi pertama disebut dalam Handboek der Land-en Volkenkunde, Geschied-, Taal-, Aardrijks en Staatkunde van Nederlandsch Indie volume II (1841), buku karangan Philippus Pieter Roorda van Eysinga (1796-1856), guru besar bahasa dan etnologi.
Dalam pengantar bukunya, Van Eysinga menyebutkan, "Kerajaan kecil Pekat dan Tambora terhapus dari muka bumi; hanya tiga atau empat orang yang selamat, dan mereka itulah yang menyampaikan ceritera ini...." Van Eysinga mendapatkan naskah cerita itu dari seorang pria asal Makassar, Abdul Wahab. Naskah itu ditulis dengan aksara Arab berbahasa Melayu.
Syahdan, seorang Arab dari Bengkulu bernama Said Idrus singgah di Negeri Tambora. Ketika ingin salat di masjid, ia melihat seekor anjing. Disuruhnya si penjaga mengusir anjing itu, tapi ditolak karena anjing tersebut milik Sultan. Said menyebut Sultan sebagai kafir. Makian itu sampai ke kuping Sultan. Sultan marah. Dalam sebuah perjamuan yang diatur, Sultan menghidangkan Said masakan daging anjing di masjid itu. Sultan lalu menyuruh orangnya membunuh Said di atas Gunung Tambora. Setelah kematian Said, api di gunung menyala, mengejar pembunuh Said ke segala tempat: ke kota, hutan, darat, ataupun laut.
Versi kedua terdapat dalam Syair Kerajaan Bima yang ditulis Khatib Lukman, keturunan Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Syah (sultan kelima, memerintah pada 1696-1731). Di situ dikisahkan seorang pedagang Arab asal Negeri Rum bernama Haji Mustafa singgah di Tanah Tambora. Tidak disebutkan apa pemicu Sultan Tambora Abdul Gafur membunuh Haji Mustafa. Yang pasti, perbuatan Sultan membuat Allah Taala marah.
Nyatalah Allah empunya marah/ leburlah Pekat dengan tambora/ abunya melayang naik ke udara/ jatuh menimpa negeri dan segara.
Sedangkan cerita versi ketiga, salah satunya dideskripsikan dalam Ensiklopedia Bima (2004) karangan Muslimin Hamzah, mengisahkan seorang dai pengelana asal Bagdad bernama Syekh Saleh al-Bagdadi yang bermaksud mengislamkan masyarakat setempat. Mulanya Syekh diterima baik. Tapi ternyata itu hanya sikap berpura-pura.
Sekali waktu masyarakat Tambora menjamu Syekh. Gulai dihidangkan. Syekh menikmati gulai tersebut. Setelah ia makan, masyarakat bertanya bagaimana rasa masakannya. "Alhamdulillah, sangat enak," kata Syekh. "Gulai yang enak itu adalah daging anjing!" ujar masyarakat.
Betapa kagetnya Syekh. Dia berdoa agar Allah memberikan ganjaran kepada mereka. Syekh lantas pergi ke barat, arah pesisir Kerajaan Dompu. Tak berapa lama, bencana datang. Gunung Tambora meletus. Hujan batu dan abu serta lahar panas menyapu masyarakat di dua kerajaan itu.
Sulaiman, 45 Tahun, warga Dusun Tambora, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, mengatakan hingga kini ia percaya sekali bahwa Gunung Tambora meletus lantaran seorang ulama diberi makan daging anjing oleh penduduk yang masih beragama Hindu. Bagi Siti Maryam Salahuddin (Ina Kau Mari), 87 tahun, anak kandung Sultan Bima dan ahli waris Kesultanan Bima, cerita ulama yang diberi makan daging anjing itu hanya cerita para penyair.
Mengenai letusan Tambora, Maryam menunjukkan sajak "Alamat Pecah Gunung Tambora 1230" yang ditulis dalam Bo' Sangaji Kai. Naskah kuno itu kini tersimpan rapi di kediamannya yang sekaligus merupakan Museum Samparaja di Kota Bima. Berikut ini cukilannya.
Hijrat al-Nabi salla'llahu alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada hari Selasa waktu subuh sehari bulan Jumadilawal, tatkala itulah Tanah Bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya. Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, kemudian maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah kersik batu dan abu seperti dituang, lamanya tiga hari dua malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo