Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dentuman Yang Mengagetkan Raffles

30 Maret 2015 | 00.00 WIB

Dentuman Yang Mengagetkan Raffles
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dusun Pancasila, Desa Tambora, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Dari dusun penghasil kopi Tambora tersebut, perjalanan ke puncak Gunung Tambora dimulai. Rute ini jauh lebih mudah dibanding dari jalur yang melewati Desa Kawinda Toi. Jalur yang disebut belakangan itu dikenal sangat terjal dan penuh jurang. Medannya penuh batu tajam. Bahkan, di sepanjang jalur ini hingga ke puncak, tak ada aliran sungai. Pepohonan juga jarang.

Betapapun demikian, bukan berarti mudah melakukan pendakian dari Desa Pancasila. Itu dirasakan Tempo. Untuk menggapai puncak Tambora, diperlukan waktu kurang-lebih 14 jam dan melewati lima pos. Jalanan dihadang semak belukar dan puluhan pohon kalanggo (Duabanga moluccana) yang tumbang. Di beberapa lokasi, dedaunan lebat menjuntai menghalangi jalur, sehingga harus ditebas dengan golok. Perjalanan tersendat saat Tempo diserang kawanan pacet. Hewan pengisap darah itu menempel di kaki dan bagian tubuh lain.

Tatkala menuju pos III, Tempo harus berjuang menghindari jelatang. Ini tanaman yang batang dan daunnya beracun. Meski sudah berhati-hati, Tempo tetap tak kuasa menghindari karena tumbuhan itu sangat banyak dan sebagian besar menutupi jalur. Rasanya seperti tersengat lebah ketika racun jelatang menyentuh kulit. Kulit terasa gatal dan panas.

Puncak Tambora mulai terlihat jelas ketika Tempo tiba di pos V, yang berada di ketinggian 2.080 meter dari permukaan laut. Tiga jam perjalanan dari pos V, akhirnya sampai ke puncak. Hidung menghirup udara berbau belerang dan tubuh diterpa angin yang bertiup kencang. Dari puncak Tambora, terlihat kaldera raksasa terhampar. Dari situ masih jelas bekas-bekas letusan dahsyat yang terjadi 200 tahun silam.

Pemandangan kaldera sangat menakjubkan. Luas kaldera itu disebut-sebut mencapai 2.800 hektare. Tampak hutan lebat dan tebing-tebing raksasa memagari kaldera Tambora. Nun di kejauhan, di tengah kaldera, terlihat sebuah gunung kecil menyemburkan asap belerang. Gunung itu bernama Doro Afi Toi-dalam bahasa Bima berarti gunung api kecil. Gunung itu berdampingan dengan Danau Moti Lahalo, yang terlihat membiru.

Semula tinggi Tambora 4.300 meter. Gunung itu mulai "batuk-batuk" pada 5 April 1815. Letusan kembali berulang pada Senin, 10 April malam, hingga tembus ke 11 April pagi. Akibat letusan terakhir itu, Tambora kehilangan sepertiga tubuhnya. Ikut terkuras pula isi dapur magmanya. Setelah itu, tinggi Tambora tinggal 2.851 meter. Kaldera yang terbentuk bergaris tengah setara dengan barisan 60 lapangan sepak bola dan dalamnya diperkirakan mencapai 1.000 meter. Berdiri di atas ketinggian, menyaksikan kaldera Tambora yang luas itu, perasaan seperti diaduk-aduk.

****

"GUNUNG Tambora sebelum meletus sangat tinggi. Saking tingginya dulu dari Bali bisa terlihat puncak Tambora," kata Igan Supriatman Sutawidjaja, peneliti di Bagian Pengamatan Gunung Api Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi.

Igan bersama tim survei Badan Geologi pada 2004, 2006, dan 2008 mempelajari lapisan batuan di kawasan Tambora. Dari situ ia memperkirakan bagaimana menakutkannya semburan Tambora. Letusan Tambora melontarkan gas, abu, dan batuan vulkanis panas yang menuruni lereng gunung dengan kecepatan tinggi. Larinya bisa lebih dari 100 kilometer per jam, sesuai dengan kemiringan lereng, dan bersuhu 200-800 derajat Celsius.

"Letusan itu mengalirkan surge dalam jumlah sangat besar," kata Igan. Surge adalah material yang menggelinding atau berputar menjadi batuan di lereng gunung dengan kecepatan tinggi dan panas. "Diduga kuat surge ini yang menewaskan penduduk, karena gerakannya sangat cepat," Igan menambahkan.

Igan berpendapat sebagian surge seperti beradu cepat mencapai laut. Hantaman surge ke laut itulah yang menghasilkan tsunami setinggi lebih dari empat meter di perairan sekitar Sumbawa, bahkan pantai timur Jawa dan pulau-pulau di selatan Maluku dikirimi gelombang setinggi 1-2 meter. Adapun abu vulkanis tak hanya berjatuhan di tanah Sumbawa, tapi juga mencapai Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan, dengan ketebalan endapan bervariasi dari satu sentimeter hingga setengah meter.

Menurut geolog Museum Geologi Bandung, Heryadi Rachmat, Tambora terbentuk pada zaman Kuarter (1.750.000-10.000 tahun lalu). Tambora merupakan gunung api yang muncul di zona subduksi (tumbukan dua lempeng kulit bumi), lempeng Indo-Australia dari selatan yang menghunjam lempeng Eurasia. Jauh di bawah gunung, batuan kedua lempeng yang terus tergesek dan panas melebur lalu menerobos ke atas menjadi magma. Tambora tumbuh sebagai gunung dari hasil pendinginan hydrous magma (cairan pijar di dalam lapisan bumi bersuhu sangat tinggi dan mengandung air).

"Di dapur magma yang tertutup di kedalaman 1,5-4,5 kilometer itu secara perlahan tercipta larutan padat bertekanan tinggi," ujar Heryadi. Menurut dia, letusan Tambora sampai mengeringkan dapur magma yang isinya diperkirakan 100 kilometer kubik. "Panas magma Tambora sampai 850 derajat Celsius. Bayangkan saat magma itu menabrak orang. Orang itu langsung gosong menjadi arang."

****

TAK pelak dentuman besar gunung berapi yang berabad-abad tertidur itu terasa getarannya sampai jauh. Thomas Stamford Raffles, letnan gubernur Inggris di Jawa yang berada di Batavia saat itu, awalnya mengira gelegar letusan Tambora tersebut adalah tembakan meriam-meriam armada laut musuh. Raffles pun sampai memerintahkan kapal-kapal perangnya menghadang lawan. Ia juga menggerakkan pasukan dari Yogyakarta ke pos-pos pantai utara. Kapal milik perusahaan Hindia Timur Britania di Makassar, seperti Benares, dikerahkan.

Seperti terungkap dalam memoarnya, Memoir of the Life and Public Service of Sir Thomas Stamford Raffles (1830), Raffles kemudian meminta pejabatnya di distrik seluruh Jawa mengirimkan laporan pandangan mata. Dari distrik-distrik di Jawa Timur, Raffles menerima laporan ada suara dentuman jauh lebih keras dan terasa dekat serta berlangsung seharian. Di Jawa Timur, pada 12 April, langit pagi menjadi gelap dan turun hujan abu. Orang-orang Jawa Timur mengira abu itu dikirim oleh Gunung Kelud atau Bromo.

"Di Cirebon, erupsi terdengar lebih keras dan sering. Udara semakin gelap karena debu yang tebal. Di Solo dan Rembang, warga merasakan bumi bergetar. Di Sumenep, terasa guncangan hebat bagai getaran meriam besar. Di Banyuwangi, suara ledakan menggelegar dan mengguncang bumi. Pantai Bali tak lagi terlihat karena tertutup awan debu hitam yang semakin lama semakin mendekati pantai Jawa. Tengah hari gelap-gulita, sehingga harus menyalakan pelita. Situasi ini berlangsung terus hingga 12 April sore. Matahari tak kelihatan hingga 14 April dan cuaca sangat dingin," tulis Raffles dalam memoarnya.

Tidak hanya di Jawa, suara dentuman misterius itu juga terdengar di Sumatera dan Sulawesi. Raffles menulis:

"Di Fort Marlboro, Bengkulu, suara ledakan seperti meriam beberapa kali terdengar. Orang-orang dari desa melaporkan tanaman tertutup debu, seperti dari Muko-muko, Lais, Seluma, Manna, Padang Guci, Krui, dan Semanka. Mereka turun dari bukit dengan membawa senjata mengira ada musuh menyerang dari laut. Di Makassar, suara tembakan terdengar kembali, sangat keras seperti empat senapan ditembakkan bersamaan. Getarannya hebat hingga mengguncang kapal, termasuk rumah-rumah di Fort Rotterdam."

Adalah Owen Phillips, perwira tinggi kapal Benares milik perusahaan Hindia Timur Britania di Makassar, yang pertama memastikan Tambora meletus. Dia berangkat dari Makassar pada 13 April dan lego jangkar di pelabuhan Bima pada 19 April. Ia mendapat laporan dari warga Bima bahwa Gunung Tambora yang berada sekitar 32 kilometer sebelah barat Bima itu meletus.

Pada hari kedua kedatangannya, Phillips melakukan pelayaran melintasi Gunung Tambora dari jarak 9,6 kilometer sebelum pantai. Ia melihat lereng-lereng Tambora masih menyala, dan lahar merah mengalir hingga ke laut. Surat laporan Owen Phillips juga menceritakan perjalanan daratnya ke arah barat pulau, terutama sebagian Bima dan hampir seluruh Dompu. Ia menyaksikan kesengsaraan yang luar biasa. Mayat bergelimpangan di jalan, rumah penduduk roboh, dan desa-desa menjadi sepi. Adapun segelintir penduduk yang selamat menyebar mencari makanan. Setelah erupsi, serangan diare menewaskan banyak warga dan kuda, karena mereka meminum air yang tercemar abu vulkanis.

Pada hari ketiga, Phillips bertemu dengan Raja Sanggar, La Lisang Daeng Jai, yang selamat dari lahar. Sang Raja menunggunya di Dompu. "Penderitaan rakyatnya jauh melebih besar ketimbang rakyat Dompu. Kelaparan begitu parahnya sehingga putri kandungnya meninggal karena kelaparan. Saya sumbangkan tiga karung beras atas nama Paduka, yang ia terima dengan rasa syukur yang dalam," tulis Raffles dalam memoarnya, yang salah satu buku cetakan pertamanya kini tersimpan di National Maritime Museum di Greenwich, Inggris.

Dari Raja Sanggar ke-7 inilah Phillips mendapatkan deskripsi urut-urutan letusan Tambora. Raja La Lisang Jai berhasil menghindari maut karena sempat mengungsi ketika Tambora mengamuk malam itu. Meski Kore, ibu kota Sanggang, dan seluruh kerajaannya musnah, Raja bersama 20-an anggota keluarga dan warga dapat luput dari terjangan piroklastik yang mengalir di lorong sempit yang dibatasi oleh gunung api tua Doro Tuta'a di utara dan topografi berbukit di selatan.

Menurut penuturan La Lisang kepada Phillips, seperti tertulis dalam suratnya dari Bima tertanggal 23 April, malam itu ia melihat tiga kolom asap raksasa di tiga titik yang menyemburkan api dekat puncak Tambora. Di ketinggian, tiga kolom asap itu bersatu. Beberapa saat kemudian, seluruh badan puncak dan lereng gunung tampak seperti cairan api yang menelan dirinya sendiri. Saat itulah batu apung, rata-rata sebesar kenari hingga kepalan tangan, berjatuhan bagai hujan. Selang satu jam kemudian, muncul abu vulkanis disertai tiupan angin kencang berputar dan suara letusan yang memekakkan telinga. Tak lama, muncul tiba-tiba gelombang air laut yang membenamkan rumah dan pohon-pohon. Aktivitas letusan baru berhenti pada 17 April 1815.

Lima bulan setelah letusan Tambora, tepatnya 28 September 1815, Raffles kemudian berdiri di atas mimbar forum ilmiah Masyarakat Ilmu dan Seni di Batavia (Society of Art and Science at Batavia) untuk mengemukakan "penemuan"-nya mengenai ledakan Tambora. Raffles adalah Presiden Masyarakat Ilmu dan Seni di Batavia. Ia mengemukakan bagaimana kronologi ledakan Tambora terjadi. Bahan-bahan yang digunakan Raffles sebenarnya adalah cerita urut-urutan letusan Tambora dari Raja La Lisang Jai dan berbagai laporan dari daerah. Makalah ilmiah Raffles itu bergaung ke mancanegara setelah diterbitkan dalam Transactions of the Batavian Society volume VIII tahun 1816 dan The Asiatic Journal volume II, Desember 1816. Penggalan laporan juga disisipkan dalam karya Raffles, The History of Java (1817).

****

TIGA puluh satu tahun setelah Raffles mempublikasikan penyelidikannya, pada 1847, Heindrich Zollinger, ahli botani asal Swiss, menjejakkan kaki ke Sumbawa. Ia menjadi peneliti pertama yang datang ke Tambora setelah gunung itu meletus. Ia mendaki sampai kaldera untuk mempelajari letusan Tambora yang berdampak pada alam setempat dan pemulihannya.

Direktur Vulkanologi periode 1977-1988, Adjat Sudradjat, mengatakan riset Tambora mulai ramai pada 1980-an. Banyak peneliti asing datang ke Tambora. Salah seorang peneliti asing, Stephen Self, misalnya, pada 1984 datang berbekal izin Direktorat Vulkanologi untuk meneliti dan membandingkan dua gunung api yang meletus hebat, yaitu Krakatau dan Tambora. Riset itu bersifat lintas disiplin ilmu, melibatkan juga ahli klimatologi. Adjat juga terlibat. "Bahasan risetnya umum, pada dampak cuaca dan karakteristik letusan yang selama ini sudah diketahui, yaitu pembentukan kaldera," kata Adjat, 73 tahun.

Menurut Adjat, waktu itu di kalangan geolog dan vulkanolog ada diskusi baru mengenai awan pijar panas yang meluncur sepanjang lereng. Sebelumnya, para ahli hanya percaya fenomena "wedhus gembel" itu disebabkan oleh directed blast, yaitu letusan yang miring ke samping karena di puncak gunung ada penghalang seperti sumbat lava atau sobekan ke samping. Namun kemudian, kata Adjat, diketahui bahwa awan pijar dapat terjadi di gunung api mana pun bila beban kolom abu terlalu berat akibat letusannya sangat hebat. Stephen Self sendiri, menurut Adjat, membandingkan awan panas yang meluncur di Tambora dan Krakatau. Dari riset Self diketahui tsunami akibat letusan Krakatau lebih besar dibanding Tambora.

Belakangan, kata Adjat, yang lebih menarik perhatian orang di dunia terhadap Tambora adalah berkaitan dengan isu global warming. Sekarang ini global warming yang dipicu oleh industri menyebabkan kenaikan suhu bumi nol koma sekian derajat. Para ahli memikirkan cara bagaimana menurunkan suhu bumi yang naik. Adalah fakta bahwa ledakan Tambora menurunkan suhu bumi sampai 3 derajat Celsius. Banyak ahli kini berlomba-lomba melakukan penelitian cuaca untuk menemukan cara Tambora dan Krakatau menurunkan suhu bumi, walau tentu rekayasa penurunan itu paling-paling cuma setengah derajat Celsius. Mereka berdiskusi misalnya dengan menyuntikkan aerosol ke lapisan stratosfer-agar pemanasan global bisa teratasi.

Selain membahas bagaimana ledakan Tambora menyebabkan malapetaka di Asia, Eropa, dan Amerika, konferensi internasional bertajuk "Volcanoes, Climate, and Society: Bicentenary of the Great Tambora Eruption", di Universitas Bern, Swiss, pada 7-10 April nanti, akan mendiskusikan masalah pemanasan global. Lebih dari 200 ahli cuaca seluruh dunia akan berdiskusi bagaimana merekayasa cuaca. Heryadi Rachmat, Adjat, dan Stephen Self berencana hadir dalam konferensi itu. Mereka bertiga akan membacakan makalah dalam diskusi pada hari pertama dari sudut pandang geologi. "Saya dan Profesor Adjat bayar sendiri ke Swiss," kata Heryadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus