Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARSITEKTUR balai serbaguna itu tampak artistik. Bangunannya berbentuk huruf A yang difungsikan menjadi pilar sekaligus pintu keluar-masuk. Pilarnya dari kayu, juga lantainya. Dindingnya dari anyaman bambu. Dulu pada pilar tertulis “Balai Serba Guna RT 01 RW 01”, tapi belakangan diganti menjadi “Paseban”, yang berarti tempat menghadapi raja atau orang berpangkat. Balai itu salah satu bangunan karya arsitek, budayawan, pastor, aktivis, dan kolumnis Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun di permukiman Kampung Code, Yogyakarta, pada 1984-1992.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kampung Code berada di sebelah selatan Jembatan Gondolayu di Kelurahan Kotabaru, Kecamatan Gondokusuman, atau di sebelah timur bantaran Kali Code yang membelah Yogyakarta. Kontur tanahnya bertebing. Pada 1980-an, kawasan itu masih dekil. Banyak rumah dibangun dari kardus dan bambu. Oleh Mangun, Kampung Code dibenahi. Bambu dan kayu tetap jadi kulit bangunan. Namun atapnya diganti genting dan dipulas aneka warna sehingga tampangnya meriah bila dilihat dari kejauhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di balik layar syuting film Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali. Dok. Pribadi
Tampilan itu yang membuat Kampung Code meraih penghargaan arsitektur Aga Khan Award pada 1991. Kopi sertifikat penghargaan itu di-jembreng di balai serbaguna. “Kalau dokumen aslinya disimpan oleh Yayasan Romo Mangun,” kata salah satu warga, Joko Santosa, 63 tahun, saat ditemui Tempo di balai tersebut, Ahad, 20 Desember lalu.
Joko, warga asli Klaten, Jawa Tengah, tinggal di Code sejak 1978. Ia sempat merasakan nelangsa saat banjir besar melanda kampung itu pada 1983. Hunian-hunian kardus hanyut dilumat air. Setahun berselang, bersama warga lain, ia bergotong-royong menata Kampung Code dengan Romo Mangun. Pemerintah Yogyakarta sempat berencana menggusur warga di permukiman itu. Namun Mangun melawan. Pada 1985, ia mogok makan menentang rencana pemerintah daerah.
Protes Mangun sampai ke kuping pemerintah pusat. Menteri Lingkungan Hidup saat itu, Emil Salim, akhirnya bertandang ke Yogyakarta untuk mendamaikan Mangun dengan Sultan Hamengku Buwono IX. Bersama ajudannya, Emil menginap beberapa hari di rumah Mangun di Code. Lobi cara Emil ini menghangatkan situasi. Rencana penggusuran akhirnya dibatalkan.
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau Romo Mangun di Lereng Kali Code, Yogyakarta, 1986. Dok.TEMPO/Yuyuk Sugarman
Sengkarut di Kali Code dan peran Romo Mangun membenahi kampung tersebut menjadi salah satu plot yang mendapat banyak ruang dalam film Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali. Film arahan sutradara dan penulis Sergius Sutanto itu dibiayai program Fasilitasi Bidang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengusung tema “Harmoni dalam Kebinekaan”. “Bila bicara soal kebinekaan, sosok Romo Mangun menarik karena, selain vokal dalam soal pluralisme, beliau melihat perbedaan dari kecil. Walau orang tuanya Katolik, nenek-kakeknya muslim,” ujar Sergius melalui sambungan telepon, Sabtu, 19 Desember lalu.
Sergius sebelumnya menulis novel tentang Romo Mangun yang berjudul Mangun terbitan 2016. Karena itu, untuk proyeknya kali ini, ia tak mengalami kendala dalam penggalian bahan. Sergius menjelaskan, ia mendalami risetnya dengan mewawancarai narasumber yang dulu berbicara untuk novel Mangun. Narasi dari sumber menjadi salah satu tiang yang menopang film, selain rekonstruksi sejumlah adegan dalam perjalanan hidup Mangun. Misalnya ketika ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Keterlibatan Mangun muda di TKR dianggap Sergius sangat krusial. Sebab, episode itulah yang kemudian menyetir Mangun ke kerja-kerja kemanusiaan. “Refleksi Romo Mangun, bukan hanya Belanda dan Jepang yang melakukan kekerasan terhadap rakyat, tapi juga TKR. Peristiwa-peristiwa yang dialami Romo ketika menjadi tentara itu menjadi katalisator di hidupnya,” kata Sergius.
•••
YUSUF Bilyarta Mangunwijaya lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, 7 Mei 1929. Pada umur tujuh tahun, ia sekolah di Hollandsch-Inlandsche School Franciscus Xaverius Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Kemudian, di bangku sekolah menengah atas, ia belajar di SMA Katolik Santo Albertus, Malang, Jawa Timur. Mangun remaja kemudian bergabung dengan Tentara Pelajar untuk turut mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada 1945-1946, Mangun tercatat sebagai prajurit Kompi Zeni Batalion X pimpinan Mayor Soeharto, yang kelak menjadi presiden kedua Indonesia. Lima tahun setelahnya, Mangun, yang berusia 21 tahun, memutuskan masuk ke seminari di Yogyakarta. Sergius Sutanto mengatakan salah satu pendorong Mangun menjadi pastor adalah trauma masa lalunya saat menjadi prajurit.
Romo Mangun (kiri), bersama Wardiman Djojonegoro, saat kuliah di Jerman. Dok. Keluarga
Di medan perang, Mangun pernah berjumpa dengan seorang petani yang diduga sebagai mata-mata Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA). Oleh kawan Mangun sesama tentara, petani itu disiksa hingga mati. “Bagi prajurit di medan laga, eksekusi seperti itu mungkin wajar. Namun Romo Mangun menolaknya,” tutur Sergius. Trauma masa lalu itu disebut Sergius meniupkan semangat besar ke diri Mangun. “Istilah Romo, dia ingin membayar utang masa lalunya.”
Cuplikan pengalaman Mangun saat menjadi tentara ini direkonstruksi ulang oleh Sergius. Ia menghadirkan babak itu dalam beberapa menit yang genting. Mulut Mangun terkunci saat menjadi saksi penyiksaan petani terduga mata-mata oleh tentara. Namun mata Mangun remaja itu menahan tangis. Melihat ketidakadilan, ia gentar dalam diam. Ia tahu si petani bisa celaka, tapi tak ada yang bisa dilakukannya. Dan, di kemudian hari, dalam sebuah kesunyian di gereja, Mangun dewasa (diperankan Ojing Raharjo) menyesalinya. Ia masih merekam utuh kejadian itu.
Setelah menjadi pastor, pada 1959, Mangun kuliah di Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung. Pada 1960, ia melanjutkan studinya ke Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule Aachen, Jerman. Ia pergi atas saran mentor spiritualnya, Uskup Agung Albertus Soegijapranata. Di sana, Mangun bertemu dengan Bacharuddin Jusuf Habibie.
Permukiman berbentuk rumah deret yang dirancang dan dibangun Romo Mangun di Kampung Code, Yogyakarta, 20 Desember lalu. TEMPO/Pito Agustin
Pertemuan keduanya di sebuah gereja di Jerman dihias Sergius menjadi sebuah adegan yang sederhana tapi berkesan dalam filmnya: dua tokoh berbeda agama, salah satunya pastor, satu lagi muslim, mengecap kedamaian sembahyang di gereja. “Saya ingin menghadirkan kebinekaan di sini. Selain untuk meralat anggapan bahwa saat kuliah di Jerman dan bertemu Habibie Romo Mangun sudah sepuh. Ketika itu beliau berumur 30-an tahun,” ucap Sergius.
Pada 1966, Mangun kembali ke Indonesia. Ia menjadi pastor di Paroki Gereja Santa Theresia, Magelang. Hidup Mangun tak berkutat di gereja saja. Ia menghabiskan sebagian waktunya untuk menulis novel dan cerita pendek. Sebagai penulis, ia cukup produktif. Dari puluhan karyanya, Burung-burung Manyar (1981) adalah salah satu yang tersohor. Novel itu berbuah penghargaan sastra se-Asia Tenggara, Ramon Magsaysay Award, pada 1996.
Mangun juga seorang kolumnis yang tajam mengkritik. Bukan hanya pemerintah yang ia hantam dengan kritikan, tapi juga bahkan gereja. Suatu kali, Mangun memberikan ceramah di sebuah seminari yang dihadiri para frater. Ia menyebutkan frater-frater di Yogyakarta hanya mengetahui tiga tempat: kampus, kapel, dan Panti Rapih. Idealnya, menurut Mangun, frater juga turun langsung ke tengah umatnya yang berkesusahan.
Poster film Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali.
Dalam kesempatan berbeda, Mangun menyoroti sekolah Katolik yang mahal dan elitis. Menurut Mangun, sekolah Katolik semestinya dibuat lebih membumi. Ini yang kemudian melatarbelakangi Mangun membuat Sekolah Mangunan di Yogyakarta. Sekolah itu menitikberatkan pendidikan pada bahasa. Sebab, Mangun percaya, bila seseorang cerdas secara bahasa, ia akan pandai pula dalam pelajaran lain. Ihwal pendidikan, Mangun terinspirasi konsep dari Paulo Freire, pendidik dari Brasil.
Di lain waktu, Mangun menyindir pembangunan fisik gereja yang terlalu wah. Mangun menganggap tampilan gereja yang terlalu megah tak ubahnya merentangkan jarak dengan umat yang tak mampu secara ekonomi. “Romo Mangun menganggap pembangunan gereja harus beradaptasi dengan sekitarnya. Kasihan kalau ada tukang becak yang jadi sungkan masuk ke gereja kalau bangunannya terlalu mewah,” ujar Sergius.
Kelugasan Mangun dalam mengkritik gereja masih terngiang di ingatan budayawan Mohamad Sobary. Menurut Sobary, Mangun memberontak terhadap kemapanan gereja, termasuk kesetimbangan iman. Dalam satu kesempatan, Mangun pernah menyodorkan gagasan mengenai pemisahan “altar” sebagai penanda hal yang sakral dengan “pasar” yang menyimbolkan kaum papa. Mangun menyatakan keimanan idealnya tak hanya ditumpahkan di altar, tapi juga di pasar.
Romo Mangun (kanan) menerima tamu di rumahnya, di lereng Kali Code, Yogyakarta, 1986. Dok.TEMPO/Yuyuk Sugarman
Sobary pertama kali bersua dengan Mangun pada 1981 dalam sebuah seminar pengembangan masyarakat di Jakarta Pusat yang digelar Yayasan Indonesia Sejahtera. Saat itu Sobary masih aktif di organisasi nirlaba tersebut. Selepas pertemuan itu, keduanya intens berkirim surat. Dalam surat, keduanya membahas sastra, kadang pula suatu fenomena. Yang jelas, “Di suratnya, beliau selalu menyelipkan kutipan puisi dari penyair Kahlil Gibran,” ujar Sobary, Sabtu, 19 Desember lalu, saat dihubungi lewat telepon.
Karakter Mangun yang vokal membuat gereja kadang gerah. Namun, di tengah keluarga, Mangun adalah sosok yang membuat adik-adiknya segan. Mangun adalah sulung dari 12 bersaudara. “Sebagai pastor, beliau tidak terkungkung dalam jubah dan bertumpu pada doa di gereja saja,” kata adik Mangun yang kedelapan, Bob Tri Sunuwarso, yang biasa disapa Sunu, melalui telepon, Sabtu, 19 Desember lalu. Dalam film Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali, Sunu menjadi salah satu narasumber.
Sunu bercerita, ia dan sang kakak dulu rajin berkorespondensi melalui surat. Kadang mereka membahas hal personal seperti keluarga dan rohani, tapi tak jarang juga bercakap mengenai humanisme. Namun soal pandangan ataupun kritik Mangun atas problem sosial dan politik jarang menjadi bahasan. “Kadang konsep dan pemikiran Romo Mangun yang sudah sangat maju itu susah diikuti oleh kami adik-adiknya,” tuturnya.
•••
MOHAMAD Sobary menyebutkan keberanian Romo Mangun mengkritik pemerintah Orde Baru tampaknya diketahui presiden ketika itu, Soeharto. Walau keduanya tidak mengenal secara personal, dalam suatu acara, Soeharto sampai salah mengira seseorang sebagai Mangun. Hal itu terkait dengan perlawanan Mangun dan pembelaannya terhadap warga dalam proyek pembangunan Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, pada medio 1980-an. Ketika itu Mangun berumur 50-an tahun, sudah matang, dan posisi politiknya cukup elite di gereja ataupun di media massa sebagai kolumnis.
Saat mengkritik penguasa, Mangun disebut susah mengerem kata-katanya. Ia selalu menyoroti sikap pemerintah ketika itu yang tak ubahnya mengkhianati demokrasi. Sementara itu, Soeharto anti terhadap kata “demokrasi”. Walau berseberangan pendapat, keduanya secara tak langsung pernah terhubung lewat Dayino, kolega Soeharto di kelompok Pathuk, Yogyakarta.
YB Mangunwijaya di rumahnya, Yogyakarta, 1985. Dok.TEMPO/Yuyuk Sugarman
Suatu ketika, Soeharto meminang Dayino sebagai salah satu menterinya. Namun ketika itu Dayino tak langsung menyanggupi. Ia bilang akan berkonsultasi dulu dengan mentornya, yang tak lain adalah Romo Mangun. Oleh Mangun, Dayino disarankan meminta “mahar” kepada Soeharto. “Mintalah demokrasi dikembalikan,” begitu kata Mangun. Tentu saja permohonan itu tak terkabul.
Intervensi Mangun terhadap kekuasaan terkadang juga disampaikan lewat umatnya. Termasuk saat terjadi geger penembakan misterius (petrus) pada 1980-an. Leonardus Benjamin “Benny” Moerdani, yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, disebut-sebut sebagai salah satu perancang operasi tersebut. Menurut Sobary, Mangun sempat menegur Benny mengenai kisruh petrus. “Romo Mangun bilang kepada Benny bahwa sebagai orang Katolik semestinya ia punya hati yang lebih jembar, karena hidup mereka bertaut kepada Tuhan Yesus. Bagaimana Benny bisa berharap mendapat tempat yang baik di hadapan Tuhan kalau kelakuannya seperti itu,” ujarnya.
Perlawanan Mangun terhadap pemerintah tak mengendur dalam proyek pembangunan Waduk Kedung Ombo. Yosep “Stanley” Adi Prasetyo menjelaskan, ketika itu ia aktif sebagai wakil mahasiswa, sementara Romo Mangun hadir sebagai representasi tokoh masyarakat dan agama. “Kami kadang bekerja sama dari jauh, kadang bertemu di lokasi atau di rumah Arief Budiman,” kata eks Wakil Ketua dan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia serta mantan Ketua Dewan Pers itu.
Pembangunan Kedung Ombo, yang terletak di perbatasan tiga kabupaten di Jawa Tengah –Grobogan, Sragen, dan Boyolali—dimulai pada 1985. Ketika itu, warga menentang penggusuran dan pemindahan lokasi permukiman karena nilai ganti atas tanah mereka tergolong kecil. Menurut Stanley, yang saat itu menjadi mahasiswa teknik elektro Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, warga hanya ditawari ganti rugi sekitar Rp 9 ribu per meter. Perlawanan para petani di sana berbalas serangan dari pemerintah. Mereka yang memprotes dituduh bagian dari Partai Komunis Indonesia.
Stanley menurutkan, Romo Mangun berinisiatif mengajak akademikus dan pemuka agama membela warga. Di antaranya Satjipto Rahardjo dari Universitas Diponegoro dan Kiai Hamam Ja’far dari Pondok Pesantren Pabelan. Dalam perkembangannya, gerakan para tokoh ini kena jegal pemerintah. Hamam dan Mangun mendapat teror. Begitu pula lokasi sekitar pembangunan dam raksasa itu, yang dikepung tentara.
Sementara itu, hidup warga yang tergusur berada di titik nadir. Rumah mereka sudah tenggelam. Bahan makanan makin sulit didapatkan. Kelompok mahasiswa dan tokoh, termasuk Mangun, akhirnya nekat diam-diam menyusup ke lokasi. Rumah warga yang berbahan bambu diangkut ramai-ramai ke daratan. Bantuan makanan mereka salurkan.
Setelah itu, Mangun melobi B.J. Habibie, yang ketika itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi, agar diizinkan memberi bantuan. Di sela-sela itu, ia sesekali berkoordinasi dengan Stanley dan aktivis lain terkait dengan perkembangan situasi. “Kami kadang bertemu di rumah Arief Budiman. Di sana Romo Mangun menggambar di kertas kondisi lokasi dengan sangat detail. Gambar beliau bagus karena memang arsitek, ya,” tutur Stanley, yang satu almamater dengan Mangun di SMA Santo Albertus, Malang.
YB Mangunwijaya saat menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dok. Keluarga
Teror terus berlanjut di tengah upaya memperjuangkan hak petani Kedung Ombo. Stanley bercerita, suatu kali Romo Mangun sedang berdoa di kapel di Sragen, Jawa Tengah. Di sana ia diminta aparat kembali ke Yogyakarta. Namun perintah itu tak pernah dipenuhi Mangun. Dia diam-diam bersembunyi tak jauh dari lokasi pembangunan. Mangun lalu membeli perahu dari Indramayu, Jawa Barat, untuk mengangkut bantuan makanan bersama para suster dan frater. “Romo Mangun memakai jubah pastornya ketika itu. Padahal biasanya beliau pakai kemeja biasa. Ia bilang kepada ABRI bahwa hendak memberi bantuan kemanusiaan. Tentara yang berjaga di sana akhirnya membiarkan saja,” ujarnya.
Sekitar 1991, Waduk Kedung Ombo diresmikan. Teror terhadap para aktivis berakhir. Romo Mangun kembali ke aktivitasnya sebagai pemuka agama, penulis, dan arsitek. Pada 10 Februari 1999, Romo Mangun menjadi narasumber sebuah acara di Hotel Le Méridien Jakarta. Mohamad Sobary menjadi narasumber acara yang sama. Saat jeda makan siang, Mangun menggandeng Sobary menuju meja makan. Saat keduanya berjalan kaki, tiba-tiba Mangun seperti ambruk di badan Sobary.
Semula Sobary mengira Mangun mendengkur dan ketiduran saking lelahnya. Namun, ternyata, ajal tengah menjemput pria 70 tahun itu. Mangun tutup usia karena serangan jantung. Sobary menduga Mangun terkena penyakit itu karena jarang berolahraga. Sebab, pernah Mangun berkata bahwa olahraga adalah kegiatan para sinyo. “Bagi Romo Mangun, olahraga adalah aktivitas yang mewah. Ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk menulis novel dan mengurus umatnya,” ucapnya.
ISMA SAVITRI, PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo