Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menghirup Asap Indonesia di Singapura

31 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laode M. Syarif*

Ketika tulisan ini sampai di tangan pembaca, pemadaman puluhan ribu hektare hutan Indonesia masih berlangsung, puluhan ribu warga Sumatera sakit pernapasan, ratusan penerbangan tertunda, dan keanekaragaman hayati Indonesia musnah. Sedangkan pengusaha perkebunan sawit dan pabrik kertas bersiap-siap menanami lahan mereka yang kembali bersih setelah dilahap si jago merah.

Sekadar pembanding, luas total daratan Singapura adalah 71.610 hektare. Jika kita bandingkan dengan luas hutan yang dibakar para pengusaha tersebut, luas itu tidak ada artinya. Bandingkan dengan beberapa pembakaran besar ini: Juni 1982 dan Mei 1983, hutan yang dibakar di Kalimantan Timur seluas 3,2 juta hektare. Sedangkan pada 1994, para pengusaha membakar 5 juta hektare.

Pembakaran terparah terjadi pada 1997-1998 karena menghilangkan 11,7 juta hektare hutan Sumatera dan Kalimantan, yang luasnya ribuan kali daratan Singapura (Laode M. Syarif, PhD, Thesis, Sydney University, 2016). Pembakaran hutan terjadi setiap tahun dengan luas sampai ratusan ribu hek­tare. Asapnya tak hanya memanggang rakyat Indonesia, tapi juga warga negeri jiran Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono pernah meminta maaf kepada negeri tetangga karena ulah pengusaha pembakar hutan. Sayangnya, sampai hari ini para pengusaha kelas kakap itu hampir tidak pernah tersentuh hukum.

Anehnya, Kementerian Kehutanan tidak pernah mengeluarkan data resmi tentang luas hutan yang musnah. Tapi, jika dilihat dari luas perkebunan sawit di Indonesia, kita dapat menduga luas lahan yang terbakar. Menurut data resmi Kementerian Pertanian, luas lahan sawit di Indonesia saat ini 8 juta hektare dan diproyeksikan mencapai 13 juta hek­tare pada 2020. Dapat dipastikan bahwa pembukaan semua lahan sawit tersebut menggunakan api.

Perlu dicatat bahwa lahan sawit hanya sebagian dari hutan yang dibakar. Sebab, kenyataannya si jago merah juga merusak sejumlah taman nasional dan membumihanguskan lahan masyarakat yang tak berdosa. Sampai hari ini Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup belum mengeluarkan jumlah kerugian ekonomi dari episode pembakaran hutan Juni-Agustus 2013 dan Februari-Maret 2014. Namun, menurut Kepala Pusat Data Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, dampak kerugian ekonomi kebakaran hutan Riau mencapai Rp 10 triliun. Itu pun belum termasuk kerusakan riil lahan dan keanekaragaman hayati serta biaya pemadaman yang mencapai miliaran rupiah.

Hampir dapat dipastikan bahwa Presiden dan semua aparatnya telah melakukan pembiaran agar lahan para pengusaha kakap hutan dan sawit tersebut bersih dulu, baru upaya pemadaman dilakukan maksimal. Akibatnya, rakyat Indonesia rugi tiga kali: sakit akibat asap, kehilangan hutan dan keanekaragaman hayati, serta uang pajak rakyat disia-siakan untuk membiayai pemadaman yang hanya dilakukan segelintir pengusaha kelas kakap.

Di samping respons yang telat, pemerintah salah dalam mengejar pelaku pembakaran. Setiap tahun aparat penegak hukum mengejar rakyat kecil dan kontraktor kecil yang membakar hutan. Padahal sudah jamak diketahui bahwa rakyat kecil tersebut hanya "suruhan" pengusaha kelas kakap. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Kuntoro Mangkusubroto, dan Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya sudah menyebut sejumlah perusahaan yang terlibat pembakaran atau sekurang-kurangnya kebakaran hutan terjadi dalam wilayah konsensi APP/Sinar Mas dan Riau Andalan Pulp and Paper/APRIL serta beberapa perusahaan lain (Kompas, 22 Juni 2013). Aneh bin ajaib, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan selalu tidak pernah menyebut nama dan tak pernah kooperatif dalam investigasi kebakaran hutan yang sedang berlangsung sekarang, walaupun ia pernah berjanji bahwa kementeriannya akan mencabut izin perusahaan yang membakar hutan (Republika, 23 Juni 2013).

Presiden Yudhoyono sebenarnya tak perlu ragu bertindak karena Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tegas melarang "melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar" (Pasal 69 ayat 1 h). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 49 juga tegas mengatakan, "Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di area kerjanya." Di samping itu, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kebakaran Hutan secara tegas melarang pembakaran hutan. Presiden ­Yudhoyono sendiri menandatangani PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, yang juga melarang dengan tegas pembakaran hutan. Presiden seakan-akan lupa peraturan yang ia tanda tangani sehingga sangat lambat menangani pembakaran tahunan ini.

Berdasarkan peraturan di atas, seharusnya para pengusaha pembakar hutan tersebut tak perlu diundang karena sudah sangat jelas bahwa api berada dalam konsesi mereka. Seharusnya aparat penegak hukum segera diperintahkan menetapkan mereka sebagai tersangka pembakaran hutan. Ketidaktegasan ini makin menebalkan kecurigaan bahwa para pengusaha kelas kakap tersebut dapat "membeli" pejabat dan penegak hukum karena upaya pemadaman maksimal baru dilakukan setelah konsesi yang mereka buka bersih dimakan api.

Keterlambatan Indonesia juga dapat dilihat dari belum diratifikasinya ASEAN Haze Agreement 2002 (AHA), yang telah diratifikasi semua negara ASEAN. Kenyataan ini makin menguatkan dugaan bahwa Indonesia "melindungi" para pembakar hutan karena tak pernah ada niat serius untuk mengakhiri pembakaran yang telah merugikan ekonomi dan kesehatan bangsa sendiri. Dengan tidak diratifikasinya AHA dan tidak ditegakkannya undang-undang nasional secara serius, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat kita kategorikan sebagai "penjahat lingkungan" (environmental criminals) yang bertopeng sebagai pejabat.

Saat api sedang melalap hutan Indonesia, pada 27-28 Februari 2014 berlangsung konferensi internasional dengan topik "Transboundary Pollution: Evolving Issues of International Law and Policy", yang juga membahas respons Singapura yang baru menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Nasional tentang Polusi Asap Lintas Negara (Transboundary Haze Pollution Act 2014).

RUU ini dianggap progresif oleh peserta konferensi karena memiliki yurisdiksi lintas negara (extraterritorial jurisdiction). Salah satu tujuannya adalah menghukum perusahaan Singapura yang membakar hutan di luar Singapura dan menyebabkan pencemaran udara di Singapura. Ancaman bagi perusahaan Singapura bisa berupa sanksi administrasi, perdata, dan pidana. RUU ini telah memasuki tahapan public consultation dan akan segera diundangkan setelah proses ini berakhir.

Apabila RUU ini jadi diundangkan, pemerintah Indonesia tidak akan memiliki alasan lagi untuk berdebat di forum ASEAN bahwa perusahaan yang memiliki hubungan dengan Singapura dibiarkan membakar hutan di Indonesia. RUU ini akan menyudutkan posisi Indonesia yang sampai detik ini belum juga meratifikasi ASEAN Haze Agreement, padahal tujuan dari perjanjian itu sangat baik bagi perlindungan hutan Indonesia. Hal lain yang juga perlu diantisipasi pemerintah dan DPR Indonesia adalah kemungkinan pemerintah Singapura menghukum pengusaha mereka yang membakar hutan di Indonesia. Jika hal ini terjadi, Indonesia akan dinobatkan sebagai penjahat lingkungan dan negara terkorup di Asia Tenggara.

Untuk mencegah terulangnya pembakaran hutan tahun depan, pemerintah harus menuntaskan pekerjaan rumah yang tertunda dengan melakukan hal-hal berikut: memfokuskan investigasi pembakar hutan pada perusahaan yang konsesinya terbakar karena, menurut undang-undang, mereka berkewajiban mencegah kebakaran dalam wilayah konsensi mereka. Lalu early warning system tentang hot spot yang ada di Kementerian Kehutanan dan sejumlah kementerian/lembaga lainnya harus dijadikan sebagai alat "pencegah kebakaran" melalui intervensi dini agar kebakaran tidak meluas. Kemudian perusahaan yang terbukti membakar hutan harus dikenai hukuman kumulatif (administrasi, perdata, dan pidana) agar menimbulkan efek jera. Terakhir, dalam tataran ASEAN, Indonesia harus segera meratifikasi ASEAN Haze Agreement karena perjanjian itu baik bagi perlindungan hutan Indonesia.

Perlu dikemukakan salah satu contoh kasus yang baik dalam penegakan hukum lingkungan tentang pembakaran hutan, yakni Kementerian Lingkungan Hidup versus PT Kallista Alam. PT Kallista Alam dihukum membayar ganti rugi materi dan biaya pemulihan lingkungan senilai Rp 366 miliar lebih karena terbukti membuka lahan dengan cara membakar. Jika pemerintah Indonesia konsisten dalam menegakkan hukum seperti dalam kasus ini, saya jamin para pengusaha sawit akan berpikir seribu kali untuk membakar lagi. l

*) Senior adviser di Kemitraan dan Eminent Expert on International Advisory Panel on Transboundary Pollution NUS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus