Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Sebuah 'Jaringan'

Ben Anderson bersahabat dengan banyak pemikir muda Indonesia. Ia membentuk jaringan informal.

21 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu, Jumat pekan kedua Januari 2015. Sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Romo Baskara T. Wardaya, SJ, mengingat Ben Anderson—bercelana pendek merah dan kaus putih tanpa lengan—singgah di Joglo Bebana.

Rumah berarsitektur Jawa yang berada di Jogonalan Lor, Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta, itu milik pelestari bahasa Jawa, Emmanuel Suharjendro. Letaknya tak jauh dari Pabrik Gula Madukismo.

Ben disuguhi jajanan pasar, antara lain ketan, tempe, dan tahu. Juga teh dan kopi panas. Menurut Baskara, Ben datang ke tempat itu untuk berdiskusi kecil dalam lingkup terbatas tentang budaya Jawa dan pluralisme.

Ben datang ke Yogyakarta atas inisiatif antropolog asal Belgia, Patrick Vanhoebrouck, 43 tahun. Patrick membantu penerjemahan buku Ben ke bahasa Belanda. Patrick dekat dengan Ben karena ketertarikan terhadap topeng klasik. Di Indonesia, Patrick banyak mendalami spiritualisme kejawen sejak 13 tahun lalu. "Saya yang mengajak Ben ke Joglo Bebana," kata Patrick.

Di Joglo Bebana, obrolan berlangsung santai. Ben membuka obrolan dengan mengatakan ia telah pensiun dari mengajar. Ben berbicara dalam bahasa Indonesia. Ia menyatakan pernah hampir fasih berbahasa Jawa sebelum dicekal Soeharto. Setelah dicekal, ia tak banyak menggunakan bahasa Jawa. "Pak Ben tertarik datang ke Joglo Bebana karena joglo ini berkonsep memadukan Jawa dan Katolik," kata Romo Baskara.

Romo Baskara dan Ben berkawan lama. Romo Baskara pernah berkunjung ke rumah Ben pada 1994. Rumah Ben cukup sederhana untuk ukuran orang yang tinggal di Amerika Serikat. Tidak ada barang-barang mewah di dalamnya. Rumah itu terletak di kota kecil Freeville. Kota ini berada di Negara Bagian New York. Penduduknya hanya beberapa ratus orang. Freeville berjarak sekitar lima kilometer dari Ithaca, tempat kampus Cornell University.

Baskara datang bersama sejumlah mahasiswa asal Indonesia yang belajar di Amerika dan Kanada pada 1994. "Pak Ben menyambut para tamu dengan ramah dan penuh tawa," kata Baskara. Ben dan para mahasiswa berbincang tentang Indonesia di bawah Orde Baru, represi, dan usaha mencari terobosan untuk mengakali otoritarianisme Orde Baru. Pertemuan itu berlanjut. Mereka membentuk jaringan informal. Ini adalah jaringan pemikir muda waktu itu. Kepada mahasiswa yang berhimpun di jaringan ini, Ben menekankan pentingnya kalangan muda berpikir ulang mengenai keindonesiaan masa depan.

Jaringan pemikir muda itu aktif membuat forum diskusi dan seminar. Baskara mengisahkan jaringan itu lalu membikin pertemuan pada musim panas 1995 di Universitas Wisconsin, Madison, Amerika. Panitia menyiapkan tiket pesawat untuk Ben dari Cornell University di Ithaca, New York, ke Universitas Wisconsin, Madison. Ben menyarankan panitia mengalihkan tiket itu untuk pembicara seminar yang berada di Jerman. Ben memilih naik mobil, berkendaraan selama dua hari. Tiket pesawat kemudian dialihkan untuk analis politik yang tinggal di Jerman, I Gusti Nyoman Aryana.

***

Di forum ini, ada juga Amrih Widodo, kini dosen antropologi budaya di Australian National University. Ia bertemu pertama kali dengan Ben pada 1981 dalam pesta dansa yang diadakan John Wolff, dosen di Cornell University. John mempekerjakan Amrih sebagai guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di Cornell University sejak musim gugur 1981. Di kampus ini juga Amrih meraih gelar master.

Dalam pesta dansa itu, ada laki-laki agak tinggi besar memakai celana pendek dan baju batik yang kancingnya sudah terbuka karena panas di dalam ruangan. Ia asyik berjoget, badannya berputar-putar dengan bertumpu pada satu kaki. Sedangkan satu kaki lain ditekuk telapaknya dan ditumpangkan di bagian lutut. "Ternyata dia adalah Ben Anderson yang tersohor itu," kata Amrih.

Tentang kesukaan pada dansa ini juga diceritakan oleh Dede Oetomo, aktivis LGBT, yang kerap diundang makan Ben ke rumahnya. Menurut Dede, selera humor Ben tinggi dan suka membincangkan sesuatu yang remeh. Dede ingat, pada 1990-an, Ben bertanya iseng apakah di Indonesia ada pornografi gay. "Saya bilang, ya, enggak ada," kata Dede.

Persahabatan unik Ben terjadi dengan Toenggoel P. Siagian, yang pernah menjadi Direktur Utama Pustaka Sinar Harapan. Ketika kuliah di Cornell University pada 1964-1967, Toenggoel, yang kini umurnya sekitar 80 tahun, tinggal satu apartemen dengan Ben. Mereka sangat akrab, dan kamar mereka berhadap-hadapan. Itulah yang membuat Toenggoel dan Ben sering dijadikan bahan candaan teman-teman mereka.

Menurut Toenggoel, Ben menyatakan dengan tegas ia seorang gay. "Sementara semua orang tahu saya bukan gay," kata Toenggoel. Setelah 1967, Toenggoel tidak tinggal satu apartemen lagi dengan Ben. Baru, pada 1974, Toenggoel menumpang di rumah Ben karena sedang menganggur. "Selama di rumah itu, saya banyak memperbaiki pompa air," kata Toenggoel.

Toenggoel terakhir bertemu dengan Ben pada 1999 di Hotel Borobudur, Jakarta. Lama tak bersua, mereka justru berselisih dalam pertemuan itu. Ben bersikap dingin kepada Toenggoel. Ben menuding Toenggoel telah menjadi kelompok elite di Indonesia. Toenggoel merasa ada kesalahpahaman. Dalam sebuah seminar, Toenggoel membicarakan Ben sebagai akademikus. Besoknya, ada seseorang yang dekat dengan Ben marah karena menganggap Toenggoel menyerang Ben. Toenggoel merasa orang yang marah tadi memberi tahu Ben.

"Saya Batak, dia Irlandia, sama-sama keras kepala," ujar Toenggoel. Saat Ben berubah menjadi dingin, Toenggoel pun ingat kata-kata George McTurnan Kahin, senior Ben di Cornell University. Memang demikianlah watak orang Irlandia. "They have their own demon behind their door."

***

Ketika datang ke Indonesia pada 1962, Ben sudah berkawan dengan Soedjatmoko (meninggal pada 1989 pada usia 67 tahun), seorang intelektual yang juga diplomat. Sebelumnya, Ben dan Soedjatmoko sudah saling kenal di Cornell ketika pada 1961 Soedjatmoko menjadi dosen tamu di Cornell.

Pada 1960-an itu, Ben Anderson juga dekat dengan Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa Indonesia yang wafat muda pada usia 26 tahun ketika mendaki Gunung Semeru pada 1969. Dalam buku Java in Time of Revolution terbitan 1972, Ben memberikan halaman persembahan khusus untuk Soe Hok Gie. Ben mengutip omongan Soe Hoek Gie: "Simpatiku kepada siapa pun mereka yang mengorbankan apa pun untuk kemerdekaan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia. Mereka yang ada di kiri dan mereka yang di kanan."

Ben juga sangat mengagumi sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Amrih Widodo mengatakan ada kemiripan antara Pram dan Ben: hidupnya spartan, sederhana, kerja keras, serta mendorong untuk berpikir dan menganalisis sampai lewat batas. Ben dan Pram, kata Amrih, menunjukkan keseriusannya untuk menonjolkan pentingnya bahasa. Bahasa merupakan pembentuk karakter orang dan bangsa.

Di kalangan sastrawan muda kita, Ben tertarik pada karya Eka Kurniawan. "Pada November 2007, Ben mengunjungi apartemen saya, dan ngobrol ngalor-ngidul sepanjang sore," kata Eka. Eka ingat Ben saat itu membawa buku catatan dan sesekali menulis. "Ben bertanya di mana saya dilahirkan, seperti apa desa kelahiran saya. Bagaimana saya pertama kali senang membaca, buku apa saja yang saya baca dan saya sukai. Dia juga bertanya-tanya tentang bahasa Sunda saya."

Ben waktu itu sama sekali tak membicarakan soal penerjemahan novel Eka. "Ben hanya sempat berkata buku-bukumu harus dibaca pembaca berbahasa Inggris. Lebih bagus kalau Prancis," tutur Eka. Tiba-tiba Eka di kemudian hari mendapat kabar bahwa Ben telah menerjemahkan Corat-coret di Toilet (lengkap dengan pengantar tentang siapa penulisnya) untuk Jurnal Indonesia terbitan Cornell.

Pada 2012, Eka kedatangan tamu lain penulis dan aktivis terkenal Tariq Ali, yang kini bermukim di London. Ia membawa pesan dari Ben. "Mumpung saya ke Jakarta, saya diminta ketemu kamu," kata Tariq. Tariq mengulang apa yang dikatakan Ben bertahun-tahun sebelumnya, "Bukumu harus diperkenalkan ke pembaca bahasa Inggris."

Itulah awal perjalanan panjang penerbitan novel Eka Kurniawan, Lelaki Harimau, dalam bahasa Inggris, Prancis, dan lainnya. Semua berawal dari ide Ben.

Sunudyantoro, Amandra Mustika, Moyang Kasih Dewimerdeka (Jakarta), Shinta Maharani (Yogyakarta), Artika Rachmi Farmita (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus