Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perry Anderson, 77 tahun, tampak lelah saat keluar dari pintu ruang kedatangan terminal 2 Bandar Udara Internasional Juanda di Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis petang pekan lalu. Profesor sejarah dan sosiologi University of California, Los Angeles, Amerika Serikat, itu bersama istri dan adik bungsunya, Melanie Anderson, baru saja turun dari pesawat setelah penerbangan jauh dari London. Kedatangan mereka untuk "bertemu" terakhir kalinya dengan kakak kandung mereka, Benedict Anderson, yang wafat dalam tidur di Batu, Jawa Timur, Sabtu malam dua pekan lalu.
Tatkala sudah sampai di rumah duka Adi Jasa, mereka terlihat menangis. Wahyu Yudistira, yang ikut mengantar mereka, mengaku tak banyak berdialog dengan Perry ataupun Melanie. "Hanya dua kalimat yang diucapkan Melanie. Dia mengucapkan terima kasih untuk semua pelayanan yang diberikan kepada Ben dan menanyakan tahapan proses yang sudah disiapkan," kata Wahyu.
Hubungan Ben dan Perry tak sebatas hubungan sedarah, tapi juga interaksi sebagai sesama ilmuwan. Ben menganggap Perry-lah yang memperluas dan memperpelik pemikirannya. Ini terungkap pada halaman "Terima Kasih" dalam buku Di Bawah Tiga Bendera. Ben berutang besar kepada Perry, yang tak kenal lelah berburu bahan yang diperlukan untuk menerbitkan buku tersebut. "Juga atas kritik-kritiknya yang dikenal cermat dan tajam."
Perry, yang bernama lengkap Francis Rory Peregrine Anderson, menganggap mereka kakak-adik yang kurang mengenal ayah. Sang ayah, James Carew O'Gorman Anderson, seorang Anglo-Irish, meninggal karena sakit pada usia 53 tahun pada 19 November 1946. Ketika itu usia Ben 10 tahun, Perry 8 tahun, dan Melanie 3 tahun. Kondisi itu mendorong sejarawan dan penulis esai politik Inggris ini menulis memoar ayahnya berjudul "A Belated Encounter", yang terbit di London Review of Books volume 20 nomor 15, 30 Juli 1998.
Perry menyebutkan pekerjaan ayahnya misterius. Ayahnya menjadi pejabat atau komisioner pemungut pajak untuk Dinas Bea dan Cukai Maritim Cina sejak 1914 sampai pecah Perang Pasifik. Ketika Jepang masuk ke Cina pada 1941, keluarga ini mengungsi. Tak bisa pulang ke Eropa karena Samudra Atlantik menjadi medan pertempuran, mereka menuju Amerika Serikat dan tinggal di California, lalu Colorado. Baru pada 1945 mereka dapat kembali ke negaranya, ke kampung halaman James di Waterford, Irlandia tenggara, sekitar 27 kilometer dari muara Sungai Suir.
Adapun sang kakek, Brigadir Jenderal Sir Francis James Anderson, keturunan klan Anderson dari Ardbrake, Skotlandia, yang telah menetap di Irlandia sejak 1690. Sang kakek menikah dengan Frances Alice O'Gorman, putri dari Mayor Purcell O'Gorman, anggota parlemen. Adapun ibu mereka, Veronica BeatriceBigham, yang orang Inggris, adalah putri sulung Wakil Komisaris Polisi Metropolitan London Sir Frank Trevor Roger Bigham, putra bungsu John Charles Bigham, Viscount Mersey pertama.
Dalam artikel obituari yang ditulis Jeet Heer, editor senior New Republic, Ben Anderson disebut pria tanpa negara, "Benedict Anderson, Man without a Country". "Untuk seorang ilmuwan nasionalisme, sangat mengejutkan betapa sulitnya menyebutkan negara yang Benedict Anderson miliki," tulis Heer.
Betapa tidak, Ben lahir di Kunming, Cina—yang bertetangga dengan India dan Burma—pada 26 Agustus 1936. Takashi Siraishi, sejawat Ben di Cornell dan kini Presiden National Graduate Institute for Policy Studies di Tokyo, menyatakan ketidaksetujuannya atas deskripsi Ben sebagai warga dunia tanpa kewarganegaraan. Menurut dia, Ben adalah orang Irlandia yang bangga terhadap warisan Anglo-Irish-nya dan tetap menyimpan paspor Irlandia.
"Saya cenderung melihat dia seseorang yang menjalani hidupnya dengan membuat pertemanan di mana saja. Tidak hanya di Indonesia, juga di Filipina, Thailand, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Eropa, dan tempat lain."
Dalam makalah bertajuk "Hirschman Lecture: Era, Culture, Absence, and Comparison" yang disampaikan Ben dalam Kongres Dunia Lembaga Sosiologi Internasional di New Delhi, India, 17 Februari 2012, Ben menyebutkan bahwa pendidikan dasarnya diperoleh di Denver, Los Gatos, kampung halaman Waterford, dan akhirnya lingkungan luar London.
"Keluarga kami eksentrik, makan nasi ketimbang kentang, dan memiliki lemari-lemari penuh buku tentang Cina dalam bahasa Cina dan Inggris," tulisnya.
Ben juga memaparkan soal kesadaran politiknya yang muncul pada 1956, saat menjadi mahasiswa Universitas Cambridge berusia 20 tahun. Waktu itu Inggris bersama Prancis dan Israel menyatakan perang terhadap rezim militer nasionalis Mesir. Saat hendak menuju tempat kosnya, Ben berjumpa dengan sekelompok kecil pelajar India dan Sri Lanka yang dengan bersemangat melakukan orasi menentang perang dan menuding Perdana Menteri Anthony Eden bohong.
Saat asyik menyimak orasi, Ben dikejutkan oleh datangnya seorang "Arya" yang berbadan besar hendak menghantam si orator. Ben, yang berupaya menengahi, malah mendapatkan kacamatanya pecah merobek hidungnya sebelum jatuh berkeping di rumput. "Saya tidak pernah sebegitu marah dalam hidup saya," tulis Ben. Dari kejadian di kampus itu, menurut Heer, Ben memulai jalurnya untuk menjadi seorang Marxist dan ilmuwan antikolonialis.
Meraih gelar sarjana dari Cambridge pada 1957, Ben lantas ke Amerika Serikat—yang bersebelahan dengan Kanada yang British Empire—dan masuk Universitas Cornell pada Januari 1958, yang diakuinya untuk mempelajari misteri "pemerintahan". Meski Ben banyak menghabiskan hidupnya di Amerika Serikat, hal itu tak menjadikannya orang Amerika. Ben memilih Indonesia sebagai "tanah air"-nya. Tidak hanya sebagai obyek penelitian, tapi juga didiami secara emosional.
Pada masa itu, Indonesia menjadi pemberitaan terkait dengan pertentangan antara unsur sayap kanan yang didukung badan intelijen Amerika (CIA) dan Presiden Sukarno yang goyah. "Sejak 1962 hingga 1964, saya tinggal dengan bahagia di Indonesia, yang tengah kacau, untuk mempelajari mobilisasi pemuda radikal dan koalisi lemah multipartai berkuasa yang menciptakan perjuangan revolusi bersenjata pada 1945-1949 untuk merdeka dari Belanda." Dari penelitian lapangan itulah buku pertamanya, Java in a Time of Revolution, terbit pada 1972.
Sekembali ke Cornell, pada 1966 Ben bersama Ruth T. McVey membuat analisis pendahuluan tentang kegagalan kudeta 1965, yang kemudian mengakibatkan tewasnya setengah juta orang yang teridentifikasi sebagai kaum kiri. Penelitian Ben dan Ruth yang kemudian dikenal sebagai Cornell Paper itu kontradiktif dengan laporan resmi pemerintah yang mengambinghitamkan Partai Komunis Indonesia dalam kudeta itu. Sejak dokumen itu bocor ke publik, ditambah sikap Ben yang kerap mengkritik, ia dimusuhi pemerintah Soeharto. Ben diusir dari Indonesia pada 1972 dan dicekal masuk sampai rezim itu tumbang pada 1998.
Lantaran tak bisa masuk ke Indonesia, Ben mengalihkan penelitiannya tak jauh-jauh: Thailand dan Filipina. Dia mempunyai banyak murid dan kolega di kedua negara itu. Salah satunya mantan Rektor Universitas Thammasat, Chamvit Kasesiri. "Bangkok itu seperti rumah kedua. Murid dan koleganya serta buku-buku di Universitas Thammasat sangat banyak. Itu alasannya," ujar Benny Erawand, 43 tahun, anak angkat Ben, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Benny pernah tinggal bersama Ben selama 11 tahun di Freevile, New York, sejak 1990. Saat itu, dia lulus sekolah menengah atas dan diminta datang untuk kursus bahasa Inggris. Benny mengenal Ben sejak ia kecil melalui ayahnya, Djuanda, sahabat Ben sejak 1960. Djuanda kerap membantu Ben dan menjadi pemandu. Benny baru bertemu dengan Ben ketika dia datang ke Ithaca.
Selama tinggal di rumah Ben, Benny tahu persis bagaimana kesedihan Ben saat dia dicekal. Ben begitu rindu kembali ke Indonesia. "Apalagi kalau mendengar gending Jawa dan Sunda," ujar pria yang kini tinggal di Cirebon ini.
Soal kegemaran Ben mendengarkan musik Jawa ini juga diakui Joss Wibisono, teman Ben yang jurnalis di Belanda. "Soal gending tembang Uler Kambang dan Kutut Manggung, dia bahkan lebih tahu daripada saya," ujar Joss. Yang membuat Joss juga tercengang adalah referensi musik klasik Ben. Dia memiliki partitur empat seri opera karya Richard Wagner (1813-1883): Der Ring Des Nibelungen, yang diperolehnya di Surabaya pada 1960-an.
Selain menyukai Richard Wagner, Ben menyukai Richard Strauss, yang menggubah opera Salome atas Liberto karya pujangga Irlandia Oscar Wilde. "Om Ben sepertinya merasa senasib dengan Wilde, semula adalah orang Inggris, penjajah Irlandia, tapi akhirnya menjadi sastrawan Irlandia."
Karya Strauss yang paling disukai, kata Joss, adalah Vier Letzte Lieder, yang dibawakan oleh soprano Swiss, Lisa della Cassa. Komposisi lain yang disukai adalah karya Johann Sebastian Bach, dengan karya yang suka dimainkannya dengan piano yang berjudul Das Wohltemperierte Klavier. Juga karya Franz Schubert. "Biasanya dia muter piringan hitam yang isinya karya itu kalau sedang santai, baca koran, atau bersih-bersih."
Doddy Hidayat,Philipus Parera, Dian Yuliastuti, Natalia Santi (Jakarta) ,Nur Hadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo