Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ziarah Terakhir Seorang Pembangkang

Indonesianis besar Ben Anderson wafat di Batu, jawa timur, pada usia 79 tahun. Ia seseorang yang begitu cinta kepada Indonesia. Ia banyak memberikan sumbangan kepada Indonesia. Membongkar dasar-dasar legitimasi pendirian Orde Baru.

21 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jenazah Benedict Richard O'Gorman Anderson terlihat memakai batik tatkala disemayamkan di rumah duka Adi Jasa, Surabaya, pada Selasa, 15 Desember lalu. Kemeja batik Madura berwarna cokelat kayu. "Itu baju batik saya," kata Sugito. Sopir yang sejak 2009 selalu menemani Ben Anderson bila keliling Jawa Timur itu mengusap air mata. Ia merapikan ujung kain penutup peti mati Ben.

Ben tiba di Surabaya bersama sahabatnya, Edward Hasudingan Manik, yang akrab dipanggil Edu, Jumat siang, 10 Desember. Ben mengenakan kaus hitam bertulisan "Ngeeee kuning mengkilap". Edu mengenal Ben pertama kali pada 2004, saat ia kuliah di Ithaca College, Amerika Serikat. Mereka menginap di Hotel Santika Pandegiling.

Sugito menceritakan, pada Sabtu pagi, 11 Desember, ia menjemput Ben dan Edu. Tujuan perjalanan adalah Candi Penataran, Blitar. Ben juga ingin mampir ke Petirtaan Jolotundo di Trawas, Kabupaten Mojokerto, dan Candi Belahan atau Sumber Tetek di kawasan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Memasuki Kabupaten Sidoarjo, sekitar 20 kilometer dari Surabaya, Sugito menawarkan apakah Ben sudah pernah ke Museum Mpu Tantular. Karena belum, Ben setuju untuk berhenti. Ia berkeliling museum selama 15 menit. "Pak Ben berkomentar museumnya bagus," kata Sugito.

Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan ke Petirtaan Jolotundo. Ben hanya berkeliling santai, sekitar 15 menit. Mereka lalu meneruskan rute ke Candi Belahan atau Sumber Tetek di kawasan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Ben, kata Edu, sangat menyukai patung Dewi Sri dan patung Dewi Laksmi yang ada di Sumber Tetek. Mereka selanjutnya menuju Kota Batu. Tiba pukul 19.30 di Hotel Royal Orchid, mereka check-in di kamar nomor 143, lalu makan malam di restoran hotel. Ben tampak lelah. Pukul 20.30, mereka masuk kamar untuk istirahat. Di dalam kamar dengan dua ranjang itu, Ben tidur sendirian. Di sebelahnya, Edu berdua dengan Sugito. Sebelum memejamkan mata, Ben berucap, "Besok kita ke Kelud, ya?"

Ternyata permintaan "besok ke Kelud ya" itu adalah kata-kata terakhir Ben. Sekitar pukul 23.00, Edu terbangun lantaran Ben mendengkur dengan keras. "Saya kaget, ngoroknya keras, seperti tersentak," ujar Edu. Setelah satu-dua menit, suara dengkuran itu menghilang. Tak lama kemudian, Ben mendengkur lagi, tak kalah keras. Edu dan Sugito mengguncang dengan lembut tubuh tinggi besar itu. Ben tetap terlelap. Dengkuran itu berulang hingga sekitar sepuluh kali.

Dengkuran terakhir Ben terdengar seperti satu napas terputus-putus. Sejurus kemudian, tarikan napasnya berangsur tenang. Sekitar pukul 23.30, Sugito mendapati Ben tak bernapas. Edu menyentuh punggung Ben, tak ada lagi pergerakan. Setengah panik, keduanya meminta resepsionis menghubungi rumah sakit terdekat. Resepsionis mengaku telah berupaya menelepon nomor gawat darurat lima rumah sakit di Kota Batu. "Hanya satu rumah sakit yang menjawab, dari RS Baptis, Batu," ujar Edu. Baru satu jam kemudian ambulans datang. Petugas medis memastikan Ben meninggal. Mereka membawanya ke RS Baptis. Jenazah Ben lantas disucikan dan dipakaikan baju peristirahatan terakhir. Baju batik Madura berwarna cokelat kayu kepunyaan Sugito.

***

Ben adalah peneliti yang memiliki tempat dan pesona tersendiri dalam membaca sejarah modern Indonesia. Ia pernah dicekal selama 27 tahun. Ia dianggap membahayakan karena pembacaannya atas peristiwa pembunuhan jenderal pada 1965 berbeda versi dengan pemerintah Orde Baru. Dan masa-masa itu masa yang menyiksanya. Ben begitu merindukan ke Indonesia, tapi terbentur daftar hitam. Pernah ia mencoba masuk pada 1983 karena telah mendapat izin resmi Kedutaan Besar Indonesia di Amerika untuk menghadiri konferensi sastra dan bahasa Asia Tenggara di Jakarta. Tapi, baru beberapa menit menjejak Bandar Udara Kemayoran, ia didatangi aparat keamanan, lalu ditarik ke sebuah ruangan. Ia diminta hengkang saat itu juga.

Ben bergegas kembali ke pesawat. Namun aparat masuk ke kabin pesawat, menyergap, dan memaksanya menyerahkan paspor. Ben menolak. Di pesawat, ia merasa terhina. ''Sepanjang perjalanan Jakarta-Bangkok, saya harus berbaring di lantai pesawat karena seluruh badan saya terasa sakit, padahal tidak ada masalah dengan kesehatan saya. Saya merasa ditipu habis-habisan. Saya harus mengalah pada intel," katanya suatu kali kepada Tempo.

Sampai akhir hayat, Ben tetap seorang progresif. Kamis, 10 Desember 2015, saat mengisi kuliah umum bertema anarkisme dan nasionalisme di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, di hari-hari terakhir hidupnya itu, ia masih berusaha meyakinkan para mahasiswa betapa pentingnya anarkisme. Ceramah terakhir Ben tersebut berkaitan dengan peluncuran penerjemahan bukunya, Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination (2005), oleh penerbit Marjin Kiri. Ben menyatakan cara berpikir anarkis adalah sesuatu yang harus dipelihara. Sesuatu yang mencerminkan diri Ben sendiri .

Ben boleh dibilang "anarkis independen". Sikap radikal ini mungkin diwarisi dari keluarganya. Nama tengah Ben, Richard O'Gorman, dipungut dari nama saudara jauhnya yang merupakan salah satu pemimpin Pemberontak Muda Irlandia pada 1848. Keluarga Ben memang aktif dalam gerakan nasionalistik Irlandia dan Ben dengan bangga menyatakan, "Satu garis keturunan ayahku adalah garis nasionalis Irlandia dari masa akhir abad ke-18."

Ben menjadi sosok yang cenderung "anti-tata". Dalam dunia akademis pun Ben melihat segala sesuatu dari sisi pinggiran, bukan dari perspektif atas. Dan "anarkisme" ini memberi kontribusi bagi penelitian Indonesia. Cara pandang sejarahnya kerap memberikan tilikan yang lain. Yang terkenal adalah bagaimana penglihatannya atas pentingnya kaum muda Indonesia. Sepanjang sejarah modern Indonesia, menurut Ben, terjadi konflik antara kaum muda dan kaum tua. Dan, sepanjang 1944-1946, kaum mudalah yang memicu revolusi.

Menurut Ben, periode 1944-1946 adalah satu-satunya masa dalam sejarah Indonesia modern ketika hampir tidak ada negara. Negara sangat lemah. Kaum muda bergerak sangat bebas dengan segala kehebatan dan kegila-gilaannya tanpa "dibina" oleh "siluman". Banyak pemuda-pemudi terjun dalam pergerakan dengan segala romantisisme, petualangan, dan utopismenya. Militansi pemuda untuk berkorban saat itu sangat tinggi. "Ben melihat gerakan pemuda saat itu di luar kendali kaum elite intelektual dan kabinet. Gerakan itu dilakukan oleh organisasi paramiliter pemuda atau laskar pemuda. Ben membuka wawasan itu," kata Daniel Dhakidae, peneliti sosial.

Ben tertarik pada bagaimana media yang diterbitkan oleh kaum pribumi dan Tionghoa pada paruh awal abad ke-20 mampu menyebarkan kesadaran radikalisme kepada anak muda. Juga bagaimana lambat-laun membentuk kesadaran kebangsaan, sebuah teori yang kemudian diperhitungkan dalam ilmu sosial dunia. "Ben pernah mendata penerbitan-penerbitan lama yang menggunakan nama 'cahaya'. Misalnya Tjahaja Timoer dan catatan harian Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang," kata Daniel. Ben terpukau pada bahasa Indonesia yang digunakan koran-koran itu. Menurut dia, bahasa Indonesia lama jauh lebih ekspresif daripada bahasa Indonesia yang dikembangkan Orde Baru. Bahasa Indonesia di zaman Orde Baru kehilangan unsur radikalnya karena terlalu mengalami birokratisasi. Sesuatu yang dibahasnya dalam Language, Fantasy and Revolution (1987).

Ben sendiri dalam kehidupan sehari-hari tetap sering menggunakan bahasa Indonesia tempo doeloe dengan ejaan lama. Terutama apabila ia menulis surat pribadinya kepada sekongkol-sekongkolnya dari Indonesia. Ia menggunakan bahasa sableng, gokil, penuh kosakata prokem. Tapi juga bahasa yang hidup, lancar, dan penuh canda. Kepada para sahabat Indonesianya—yang lebih muda darinya—ia sering menyebut dirinya Oom Kolonel dan memanggil mereka Abser atau Abang Sersan. Salah satu yang sering surat-menyurat dengannya adalah Pipit Rochiyat, aktivis yang bermukim di Berlin. Tatkala membaca kolom Pipit di merdeka.com menjelang pemilihan umum legislatif 2013-2014, Ben misalnya mengirim surat kepada Pipit demikian:

"Dear Abser, HEIBAT!!! Oewe ketawa dan ketawa dan ketawa. Sadis bagus! Rasanja 'mental Berlin tahun 1980-1998' sudah balik lagi, mirip seorang Drakula versi baru. Hore dan Hore! Horas djuga! Kamsiaaaah OK« atow »Abser, Naaaaaaaah!!!! OK ketawa dan ketawa lagi. Bagus banget. Ada usul ketjil perkara 'isi' dari selametan. Gimana kalo tambahan variasi dikit—jaitu umpamanja kodok, ular enak, babi, tikus, kambing, djaman sekarang Jakarta mendjadi kosmopolitikusan...."

Ben juga dikenal seorang yang gigih mempromosikan sastrawan Pramoedya Ananta Toer ke dunia internasional. Pada 2012, Ben menulis artikel "The Unrewarded: Notes on the Nobel Prize for Literature". Saat itu yang meraih Nobel Sastra adalah sastrawan Moyan dari Cina. Dalam artikel itu, dia menulis adanya bias dari panitia Nobel. Ben menilai bahwa kedekatan Pramoedya dengan Partai Komunis Indonesia membuatnya "tidak bisa diterima di Stockholm". "Memang, berkat Ben, di luar negeri Pram dikenal sebagai simbol perlawanan Orde Baru. Tapi, bagi saya, justru itu membuat karya Pram sendiri tidak dikenal sebagaimana mestinya. Sedangkan panitia Nobel, menurut saya, tidak suka yang berbau politik dalam sastra. Mereka mau lihat karyanya," ujar John McGlynn dari Yayasan Lontar.

Menurut Jafar Suryomenggolo, sahabat lain Ben yang juga peneliti kajian Asia Tenggara Universitas Kyoto, sang Kolonel pada akhir hidupnya mondar-mandir antara Freeville di New York dan Bangkok. Bila New York dilanda musim dingin, sang Kolonel akan tinggal di Bangkok. Di Bangkok, sang Kolonel tinggal di rumah susun sederhana dengan dua kamar dan beranda yang penuh tanaman—yang tiap sore selalu disiraminya. Di situlah ia sering menulis. Setelah Under the Three Flags (2005), Ben menerbitkan Why Counting Counts (2008) yang berisi analisis bahasa dalam novel-novel karangan sastrawan Filipina, Jose Rizal, dan The Fate of Rural Hell (2012), yang merupakan eksplorasi atas sebuah kuil di Muangthai.

"Sejauh yang saya tahu, Ben punya banyak penelitian mengenai Indonesia yang belum rampung. Satu, tentang biografi si Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing)," kata Jafar. Menurut Jafar, Ben sempat mempresentasikan biografi si Tjamboek dalam satu temu ilmiah di Amerika. "Pak Ben juga tengah menggali kisah hidup Soetjipto, penulis Djalan Sampoerna. Sebagian dari kitab Djalan Sampoerna sudah diterjemahkan beliau ke bahasa Inggris dan dimuat di majalah Indonesia terbitan Cornell Modern Indonesia Project," Jafar menambahkan. Karena itulah, menurut Jafar, mengapa Ben sering bertandang ke Jawa Timur. "Pak Ben ingin menapak tilas kehidupan Soetjipto."

Jawa Timur selalu mengusik rasa penasaran Ben. Dia merasa bahwa Jawa Timur lebih egaliter dibanding tempat lain di Jawa. Berdasarkan pemahaman Purbacaraka guru bahasa Jawanya, Ben juga percaya bahwa kebudayaan di Jawa Timur lebih kuno dibanding Jawa Tengah. Pada 1960-an, Ben sering menyusuri Jawa Timur bersama Onghokham (almarhum). "Ong tahu betul seluk-beluk Jawa Timur, terutama di kalangan pejabat. Ia kenal dekat dengan bupati dan banyak pejabat penting, karena kakek Ong adalah kapitan Tionghoa di Madiun," kata Arief W. Djati, sahabat Ben. Menurut Arief, Ben pernah bercerita bagaimana suatu waktu ia diajak Ong main ke rumah seorang bupati di daerah Ponorogo. Di sana bupati menanggapkan mereka wayang beber. Sejak saat itu, Ben mengaku susah menemukan wayang beber. Dari situlah terbit makalah esainya yang berjudul The Last Picture Show, 1974.

Ketika Onghokham meninggal pada 2007, Ben menuliskan kenangannya keluyuran di Jawa Timur bersama Ong di sebuah buku:

"Walaupun badannja ketika itu rada kerempeng dan djauh sekali dari potongan seorang atlit atawa Djanoko, orangnya kuat. Tidur dimanapun bisa, pandai tjari omprengan, tahan berdjam2 di kereta api lumutan, jang kelas kambingnja panas, sesak, kotor, dan berbau seribu satu kentut. Dia djagoan makan, tapi tempat makannja selalu warung2 pinggir djalan atawa restoran2 Tionghoa krotjoan dengan Bir Bintang jang djarang dingin. Jang mengagumkan lagi adalah kulit badaknja. Dia berani sowan kepada siapa sadja dan kapan sadja: lurah tua, bupati kesepian, pangeran dekaden, seniman pongah, tikus2 jenis "poli", dukun2 angker dan sebagainja."

Menurut Jafar Suromenggolo, Ben sebetulnya juga mempersiapkan terbitnya "otobiografi intelektual". Otobiografi ini sendiri telah terbit dalam bahasa Jepang pada 2009 dengan judul Yashi gara-wan no soto he. "Ini kurang lebih artinja: melontjat keluar dari tempurung kelapa." Ben menginginkan peneliti muda berani keluar dari sekat-sekat pemikiran kolot dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam dan radikal. Di biografinya ini Ben juga menyinggung kehidupannya sebagai gay.

Jafar menuturkan, ada seorang sarjana yang menuding bahwa karya Ben, terutama Imagine Communities (1983), merupakan karya yang hanya dapat ditulis dan dikerjakan oleh seorang gay, "jang memang peka hati" (sensitif). Karena, menurut dia, gay (dan LGBT umumnja) adalah kelompok yang tersingkirkan dan diabaikan dalam kehidupan arus utama". "Saya pernah tanya Pak Ben soal ini. Tapi Pak Ben bilang 'sebagian besar karanganku bisa djuga ditulis oleh seorang non-hombreng'."

***

Tapi yang membuat Ben penting bagi Indonesia adalah studinya tentang 1965. Ben berkukuh bahwa pembunuhan para jenderal adalah konflik internal Angkatan Darat. Dan itu kemudian ditimpakan seluruhnya kepada Partai Komunis Indonesia. "Melalui kampanye koran, radio, TNI menyiarkan kebohongan bahwa tubuh jenderal disilet-silet Gerwani, kemaluannya dipotong, dan dicongkel matanya," katanya kepada Tempo suatu kali. Menurut Ben, itu menjadi legitimasi bagi Tentara Nasional Indonesia untuk mendorong masyarakat melakukan pembunuhan massal terhadap orang PKI. Daniel Dhakidae memandang, dengan Cornell Paper, Ben membongkar dasar-dasar keabsahan pendirian Orde Baru. "Itu sumbangan raksasa Ben di politik Indonesia. Dan makin lama analisisnya terlihat makin benar," ujar Daniel. Memang teori Ben itu masih menjadi kontroversi. Sejarawan Asvi Warman Adam melihat teori Ben kurang lengkap, tapi bukannya salah. "Dia hanya menyinggung konflik intern TNI AD, tapi tak menyinggung peran CIA dll. Tapi teori Ben tetap penting," katanya.

Ben Anderson sendiri secara terus-menerus memperdalam apa yang telah diuraikannya. Di majalah New Left Review bulan Mei-Juni tahun 2000, ia menulis artikel "Petrus Dadi Ratu". Dia mengawali artikelnya dengan menceritakan bagaimana Soeharto memberi dua pernyataan berbeda atas cerita bagaimana menjelang penculikan 30 September, Kolonel Latief yang sering dipanggil Gus Dul itu menghadapnya. Kepada jurnalis Amerika, Arnold Breckman, Soeharto mengatakan Latief datang ke rumah sakit menemuinya, saat Tommy ketumpahan sup panas, untuk melapor—tanpa menyebut apa isi laporannya. Sedangkan kepada Der Spiegel, Soeharto mengatakan Latief datang hendak membunuhnya, tapi urung karena takut melihat di rumah sakit banyak orang.

Ben saat itu mengecek kepada Latief, yang baru saja keluar dari penjara. Latief menyatakan, saat datang, ia sesungguhnya memberikan informasi kepada Soeharto apa yang akan terjadi beberapa jam lagi. Artinya, Soeharto tahu akan adanya rencana penculikan. Ben dalam artikel itu juga mempertanyakan mengapa hampir semua pelaku kunci G-30-S adalah bekas bawahan dekat Soeharto: Letkol Untung, Kolonel Latief, dan Brigjen Supardjo di Jakarta, dan Kolonel Suherman, Mayor Usman, serta sobat-sobatnya di markas Divisi Diponegoro di Semarang

Dalam sebuah wawancara Tempo pada 2010, Ben mengatakan demikian: "Banyak hal yang belum jelas dalam peristiwa 1965, misalnya tentang Sjam Kamaruzaman. Siapa dia dan apa hubungannya dengan Soeharto masih misterius. Ada cerita unik dari keluarga Jenderal Achmad Wiranatakusumah. Dia bercerita tentang keheranannya ketika rapat dengan Soeharto yang bertanya tentang Sjam pada 1 Oktober atau sehari setelah peristiwa itu. Semua orang dalam rapat itu bingung dan tak ada yang tahu Sjam. Memang cukup banyak informasi yang menunjukkan Soeharto kenal Sjam sejak zaman revolusi."

Pada 2008, saat Soeharto meninggal, Ben membuat sebuah obituari di New Left. Judulnya "Exit Soeharto: Obituary for Mediocre Tyrant". Ben memulai dengan cerita bahwa, pada 1971, Soeharto yang baru saja menjadi presiden sudah merancang sebuah mausoleum (tempat pemakaman) dia kelak. Lokasinya di lereng Gunung Lawu, tepat di bawah Astana Mangadeg, kompleks permakaman para penguasa Mangkunegaran. Pada 1971, sebelum dicekal, Ben mendatangi lokasi tersebut dan melihat tempat itu dijaga tentara. Sedangkan pada 1999, ketika zaman reformasi dan Ben sudah bebas memasuki Indonesia, ia kembali ke sana dan melihat tempat itu sepi.

***

Dan kini Ben telah diabukan. Ia tak ingin dimakamkan di pekuburan mana pun. Perry Anderson dan Melanie, dua adiknya, datang ke Surabaya. Perry adalah sejarawan dan pemimpin jurnal New Left Review. Perry-lah yang membawa Ben ke orbit jurnal kiri terkemuka itu dan memperkenalkannya kepada Marxisme Eropa secara luas.

Anak angkat Ben juga datang. Ben memiliki empat anak angkat yang semuanya putra Djuanda, kawan dekatnya sejak 1960-an. Mereka adalah Benny Erawand, Firmansyah Irfan, Wahyudi Yudistira, dan si bungsu Ganang Indradjit Pamungkas. "Om Ben pernah berpesan, jika meninggal, ia tak ingin merepotkan. Ia ingin dikremasi saja. Dia juga pingin didoakan oleh banyak agama," kata Ganang.

Maka, Jumat pekan lalu, di rumah duka Adi Jasa, pada pukul 16.30 diadakan tahlilan dipimpin oleh Gus Teguh Rachmanto dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Surabaya. Kemudian pukul 19.00 dilakukan pembacaan Paritta dipimpin oleh Bhikkhu Tejjapunno dari Sangha Teravada Indonesia. Pada pukul 22.00, diadakan doa tutup peti dipimpin oleh Romo Kurdo Irianto dari Gereja Katolik. Sabtu, 19 Desember 2015, pukul 10.00, jenazah Ben diberangkatkan ke Krematorium Eka Praya, Kembang Kuning. Di situ jenazahnya dikremasi. Menjadi abu. "Om Ben bilang, bila meninggal, ia ingin abunya ditebar di Laut Jawa," kata Ganang.

Seno Joko Suyono, Kurniawan, Dian Yuliastuti, Moyang Kasih Dewimerdeka, Amandra Mustika Megarani (Jakarta), Artika Rachmi Farmita (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus