Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiga Datuk membagi wilayah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.
Tiga Datuk tak memaksakan penduduk mendirikan salat lima waktu.
Penyebaran Islam di Sulawesi bukan tanpa ada peperangan.
GESEKAN muncul di Kerajaan Tanete—kini wilayah Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan—pada akhir abad ke-16. Agama keluarga kerajaan terbelah dua: Islam dan Katolik. Mereka kerap bersitegang saat berebut pengaruh. “Lama-lama makin kisruh,” kata peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar, Syamsurijal, pada Selasa, 12 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Islam dan Katolik diperkirakan pertama kali masuk Sulawesi pada sekitar abad ke-16. Pedagang Eropa dan Gujarat membawa kedua “agama baru” tersebut ketika kapal-kapal mereka singgah di Sulawesi. Kerajaan Tanete adalah salah satu pusat persinggahan kapal-kapal pedagang. Dosen Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Ahmad M. Sewang, dalam bukunya, Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai XVIII, menuliskan, saat itu misionaris dari Eropa sangat giat menyebarkan Katolik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penanda pembanguna Masjid Pertama Dato Ti Ro pada tahun 1603, di Bulukumba Sulawesi Selatan. TEMPO/Didit Hariyadi
Adapun Islam belum terlalu berkembang di Sulawesi. Sebagian besar penduduk masih menganut kepercayaan leluhur. Namun Raja Tanete, Petta Pallase Lasee, sudah memeluk Islam. Ia resah terhadap kisruh di keluarganya. Sang Raja lalu mengirimkan surat ke negeri nun jauh di Sumatera, Kesultanan Aceh Darussalam.
Raja Tanete berharap Islam berkembang di wilayahnya. Kesultanan Aceh kemudian membalas surat itu dengan mengutus tiga ulama asal Nagari Koto Tangah—kini berada di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Mereka adalah Abdullah Makmur alias Khatib Tunggal, Sulaiman alias Khatib Sulung, dan Abdul Jawad alias Khatib Bungsu.
Kelak ketiga ulama ini masyhur sebagai penyebar Islam di Sulawesi. Mereka bahkan memperoleh nama kehormatan: Abdullah bergelar Datuk ri Bandang, Sulaiman bergelar Datuk ri Pattimang, dan Abdul Jawad bergelar Datuk ri Tiro. Mereka terkenal dengan sebutan Tiga Datuk atau Datuk Tellue dalam bahasa Bugis atau Datuk Tallua dalam bahasa Makassar. “Mereka adalah penyebar Islam gelombang awal di Sulawesi Selatan,” ucap Muhammad Adlin Sila, guru besar dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama.
Bagian dalam Masjid Katangka di Kecamatan Tallo, Makassar, Sulawesi Selatan. TEMPO/Didit Hariyadi
Ketiga sahabat tersebut berangkat dari Gresik, Jawa Timur. Saat itu, mereka tengah berguru di Kerajaan Giri Kedaton. Seorang sahabat, Tuan Tunggang Parangan, menemani mereka berlayar ke Sulawesi dengan membawa kitab fikih dan tauhid. “Literatur lain menyebut kedatangan tiga datuk itu atas undangan Kerajaan Gowa dan Tallo,” ujar Adlin.
Rombongan itu tiba di salah satu pelabuhan di Kerajaan Tallo, kini bagian dari Makassar, Sulawesi Selatan, pada awal abad ke-17. Menurut Ahmad M. Sewang, ketiga datuk itu kemudian menuju Kerajaan Luwu setelah mendengar saran dari pedagang yang sudah lama bermukim di Makassar.
Para pedagang beralasan, Luwu adalah kerajaan tertua dan dihormati di Sulawesi Selatan. Pendapat ini serupa dengan strategi yang disiapkan ketiga datuk: penyebaran Islam akan efektif jika lebih dulu mengislamkan raja. “Ketiga datuk berharap sang raja akan memerintahkan rakyatnya memeluk Islam,” kata Ahmad.
Salah satu Lontara Wajo—naskah kuno kerajaan di Sulawesi Selatan—mencatat akhirnya Tiga Datuk menuju Kerajaan Luwu di Palopo. Dalam bukunya, Ahmad menuliskan ketiga datuk bertemu dengan sang raja, Datuk Luwu La Patiware Daeng Parabu, di sana. Raja bergelar Petta Mattinroe’ ri Malangke ini terpincut pada ajaran Islam. Lontara Wajo mencatat Raja Luwu mengucapkan syahadat pada 15 Ramadan 1013 Hijriyah atau tahun 1603.
Naskah yang menuliskan sejarah kedatangan Dato Ri Bandang ke Sulawesi. Dokumen Husnul
Di titik ini, ketiga datuk bersepakat membagi wilayah penyebaran Islam berdasarkan keilmuan mereka. Datuk ri Bandang seorang ahli fikih, Datuk ri Patimang mendalami ilmu tauhid, dan Datuk ri Tiro mempelajari tasawuf.
Datuk ri Bandang kemudian pergi ke Kerajaan Gowa dan Tallo. Penduduk kedua daerah ini memiliki tradisi menyabung ayam, meminum ballo’ atau tuak, dan berjudi. Datuk ri Patimang meneruskan penyebaran Islam di Kerajaan Luwu. Sebagian besar rakyat Luwu beriman kepada Dewata Seuwae, tuhan dalam konsep orang Bugis saat itu. Sedangkan Datuk ri Tiro mengembangkan Islam di Bulukumba, daerah yang banyak ditinggali penganut ilmu mistik.
Meski berbagi wilayah penyebaran, ketiga ulama tersebut kerap bersama ketika mendatangi wilayah baru. Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro berlayar ke Bima, Nusa Tenggara Barat, bersama rombongan Kerajaan Gowa pada 1611. Keduanya membantu mendirikan kerajaan Islam di sana.
Renovasi makam Dato Sulaiman Patimang, di Luwu, Sulawesi Selatan. Ustadz Syamsuddin Ja'far, S.Ag, M.Pd.I
Perjalanan itu berlangsung singkat. Beberapa belas tahun kemudian, Datuk ri Bandang mengutus lima ulama ke Bima. “Mereka adalah cucu dan kerabat Datuk Ri Bandang di Gowa,” ucap Alan Malingi, Kepala Museum Asi Mbojo dan penulis sejarah Bima. Salah satu cucu datuk yang terkenal dan ikut menyebarkan Islam di Bima adalah Datuk Raja Lelo.
Datuk ri Bandang berkeluarga dan menetap di Kerajaan Gowa sepanjang hayatnya. Makamnya berada di kompleks permakaman raja Jalan Sinassara, Makassar. Meski tinggal berpencar, strategi penyebaran Islam mereka tetap sama, yakni mengislamkan para raja lebih dulu.
Datuk R Patimang. Ilustrasi: Imam Yunni
Datuk ri Bandang terlihat lebih menonjol dalam menjalankan misi ini. Ia mengislamkan Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyonri, pada 9 Jumadil Awal 1014 Hijriyah, yang bertepatan dengan tahun 1605. Sang Raja berganti nama menjadi Sultan Abdullah Awwalul Islam. Hanya dalam beberapa hari, Raja Gowa, I Manga’rangi Daeng Manrabia, juga memeluk Islam. Ia berganti nama menjadi Sultan Alauddin. “Raja Tallo lebih dulu masuk Islam karena secara garis keluarga dia adalah paman dari Raja Gowa,” kata Adlin Sila.
Gowa dan Tallo merupakan kerajaan terkuat di Sulawesi pada abad ke-17. Sultan Alauddin mendeklarasikan Gowa sebagai pusat perkembangan Islam. Kedua kerajaan yang kemudian menjadi kesultanan tersebut meminta raja-raja sekutu ikut memeluk Islam. Kerajaan Sawitto, Balanipa, Bantaeng, dan Selayar menyambut ajakan itu.
Bagian dalam Langgar Kuno, sebagai pusat penyebaran Islam pertama kali di Bima yang dibangun pada tahun 1608 di Biima, Nusa Tenggara Barat. TEMPO/M Akhyar
Meski sudah berhasil mengislamkan raja, Datuk ri Bandang dan dua datuk lain tetap menemui penduduk untuk memperkenalkan dan mengajarkan Islam. Datuk ri Bandang mendirikan Masjid Katangka di Somba Ompu, Kabupaten Gowa, pada 1605. Kaki-kaki fondasi masjid terbuat dari batang kayu katangka, pohon khas Sulawesi Selatan yang kini sudah jarang ditemukan.
Datuk ri Bandang menggunakan Masjid Katangka sebagai pusat berdakwah sekaligus benteng perlindungan. Itu sebabnya tebal tembok dinding masjid mencapai 1,2 meter. Kala itu, peperangan masih sering terjadi. Namun Datuk ri Bandang dan dua datuk lain mengutamakan pendekatan persuasif. “Mereka mengutamakan jalan damai,” ujar Ahmad M. Sewang.
Datuk R Patimang. Ilustrasi: Imam Yunni
Bagi ketiga datuk, keutamaan penyebaran Islam adalah semua penduduk mengucapkan dua kalimat syahadat. Mereka tak buru-buru memerintahkan umat untuk menunaikan salat dan melaksanakan kewajiban lain dalam Islam. Mereka pun tak meminggirkan adat istiadat di daerah yang diislamkan.
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan bukannya tanpa ada peperangan. Masih ada kerajaan yang menolak Islam ketika raja yang telah menjadi muslim mengajak raja lain masuk Islam. Tapi keadaan ini sudah bercampur dengan kepentingan politik karena hasrat raja untuk menundukkan kerajaan lain. Kesultanan Gowa, misalnya, memerangi Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo yang menolak ajakan memeluk Islam.
Lontara Bugis menyebut peristiwa ini dengan mussu selleng (perang pengislaman). Tiga kerajaan yang kerap disingkat menjadi Bosowa itu akhirnya menjadikan Islam sebagai agama kerajaan. “Penyebaran Islam oleh Tiga Datuk di Sulawesi Selatan berlangsung singkat, tapi jejaknya masih membekas hingga sekarang,” kata Adlin Sila.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo