Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Takluk di Sumur Hilahila

Datuk ri Tiro menyebarkan Islam di Bulukumba, Sulawesi Selatan, dengan mengajarkan muamalah. Makamnya masih misterius. 

23 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sulaiman penjaga makam, menunjukan sumber mata air tempat Dato Di Tiro menancapkan tongkatnya, di Kecamatan Bonto Tiro, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Mei 2020. TEMPO/Didit Hariyadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Datuk ri Tiro membangun masjid pertama di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

  • Ia dipercaya sempat beradu ilmu dengan raja Kerajaan Tiro.

  • Air sumur warisan Datuk ri Tiro masih mengalir hingga kini.

AIR menetes dari plafon di atas makam Datuk ri Tiro pada Kamis, 14 Mei lalu. Debu dan serpihan tanah terserak di atas keramik berkelir putih di samping makam. Ruangan makam di Kelurahan Eka Tiro, Kecamatan Bonto Tiro, Bulukumba, Sulawesi Selatan, itu terlihat tak terurus. “Makam ini hampir dua bulan tak dibersihkan karena ditutup setelah penyebaran wabah Covid-19,” kata Sulaiman, 41 tahun, penjaga makam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari-hari sebelumnya, selalu ada peziarah yang mengunjungi makam. Selain mengunjungi makam, para peziarah menyinggahi Masjid Besar Nurul Hilal, sekitar seratus meter dari kompleks makam. Datuk ri Tiro, yang memiliki nama asli Abdul Jawad alias Khatib Bungsu, mendirikan masjid itu pada 1605.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebelah masjid, terdapat sumber mata air berwarna bening bernama Sumur Hilahila. Alkisah, menurut Sulaiman, ketika Datuk ri Tiro pertama kali mendatangi Bulukumba pada awal 1605, Kampung Tiro merupakan kawasan tandus. Masyarakat kesulitan mendapatkan air karena kemarau berkepanjangan. Datuk ri Tiro menancapkan tongkat ke tanah. Masyarakat percaya bahwa air itu tak pernah berhenti mengalir hingga saat ini. Peziarah kerap memanfaatkan air sumur untuk mengobati sejumlah penyakit.

Guru besar dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama, Muhammad Adlin Sila, mengatakan Datuk ri Tiro berbeda dari kedua saudaranya, Datuk ri Bandang dan Datuk ri Pattimang. Datuk ri Tiro penganut sufisme. Ia menguasai ilmu tasawuf, ilmu yang mempelajari penyucian jiwa, akhlak, dan batin. “Ilmu Datuk ri Tiro paling menonjol di antara dua datuk lain,” ujarnya.

Dalam menyebarkan Islam di Sulawesi, ketiga datuk itu membagi wilayah penugasan. Datuk ri Tiro bertugas mengislamkan Kerajaan Tiro, yang saat itu dipimpin La Unru Daeng Biasa, raja kelima Tiro yang bergelar Karaeng Tiro. Masyarakat Bulukumba saat itu menganut kepercayaan leluhur.

Cerita kesaktian Datuk ri Tiro dipercaya hingga kini oleh penduduk. Zulfikar Ahmad, tokoh masyarakat Bulukumba, mengatakan Datuk ri Tiro sempat beradu “ilmu” dengan Karaeng Tiro pada awal kedatangannya. Setelah saling menunjukkan sejumlah kesaktian, Karaeng Tiro mengaku takluk.

Sambil menggigil, menurut cerita Zulfikar, Karaeng Tiro mengucapkan dua kalimat syahadat. Tapi ia kesulitan melafalkannya. Dari bibirnya hanya terucap “hila... hila...”. Pada kesempatan keempat, barulah ia lancar membaca kalimat tauhid itu dengan utuh. “Dari situ muncul nama Hilahila,” kata Zulfikar. Beberapa hari kemudian, sang raja sembuh. Ia kemudian menitahkan rakyatnya memeluk Islam.

Datuk ri Tiro menggunakan metode persuasif dalam mengislamkan penduduk Bulukumba. Ia tak memaksakan para mualaf menegakkan salat lima waktu dan membaca Al-Quran. Ia mengajarkan hal-hal muamalah, seperti berbuat baik kepada sesama, dan kejujuran. Ajarannya dituangkan dalam kitab yang memuat ilmu tarekat, cara mandi junub, berwudu, dan lain-lain. Zulfikar mengatakan kitab itu menghilang entah ke mana, termasuk tongkat dan harta benda lain milik Datuk.

Masyarakat Bulukumba juga mengenang Datuk ri Tiro sebagai sosok yang misterius. Ia tak berkeluarga dan menyimpan asal-usulnya. Penduduk hanya tahu bahwa ia punya nama lain: Nurdin Ariyani. Kematiannya pun masih diperdebatkan. Berbagai literatur menyebutkan makam di Bulukumba hanya pusara penanda keberadaan sang Datuk.

Sebagian masyarakat meyakini Datuk ri Tiro lenyap begitu saja. Penduduk Tiro menyebut istilah itu dengan “Allayang”. Nisannya dibangun di tempat penduduk terakhir kali melihat sang Datuk. “Dia tak meninggal seperti manusia biasa,” ujar Zulfikar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus