Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menziarahi Utuy Tatang Sontani

Bulan Mei ini adalah tepat 100 tahun hari kelahiran Utuy Tatang Sontani, sastrawan Indonesia. Pada masa-masa akhir hidupnya, Utuy tinggal di Moskow. Ia wafat dan dimakamkan di sana. Tragedi politik 1965 membuat nama dan karya-karyanya nyaris terlupakan.

9 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Utuy Tatang Sontani dalam buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essai 1, terbit 1962./Wikipedia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • 100 Tahun Utuy Tatang Sontani

  • Pengarang besar Indonesia awal kemerdekaan yang nyaris terlupakan

TAMAN permakaman Mitino, Moskow, Rusia, amat sepi pada Jumat siang pertengahan Januari lalu. Selain saya dan Iwan J. Kurniawan, 37 tahun, mahasiswa Indonesia di Moskow, rasa-rasanya tak ada pengunjung lain. Saat terlihat dua-tiga mobil melintas, Iwan menyebut itu milik petugas. “Mesti cepat-cepat, Bung. Musim dingin gerbang ditutup pukul 16.00.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami hendak menziarahi makam sastrawan Utuy Tatang Sontani—meninggal di Moskow pada 17 September 1979. Liudmila Demidyuk, 84 tahun, guru besar bahasa Indonesia di Universitas Negeri Moskow (MGU), menyebut kematian Utuy sebagai momen paling mengharukan selama enam tahun bersahabat dengannya. “Sangat tiba-tiba. Saya ingat, sebelum mangkat, dia masih tampak sehat.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Utuy wafat akibat serangan jantung. Empat belas tahun sebelumnya, sastrawan angkatan ‘45 ini berangkat ke Peking, Tiongkok, bersama rombongan besar masyarakat Indonesia yang diundang menghadiri Perayaan 1 Oktober.

Apartemen yang pernah ditempati Utuy ,di kawasan Artekovskaya, 17 km dari pusat kota Moskow./Zulkifli Songyanan

Sejumlah catatan menyebutkan keberangkatan Utuy tak lepas dari kebaikan D.N. Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia, yang mengenalnya sejak zaman Jepang. Tahu Utuy menderita lever, Aidit memfasilitasi teman lamanya itu berobat ke Peking dengan menyelipkannya dalam delegasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI.

“Tapi Ceu Ineu bilang, keberangkatan Bapak itu adalah bentuk permohonan maaf partai karena naskah Sang Kuriang batal dipentaskan,” kata Son Diamar, 67 tahun, putra kedua Utuy.

Dalam pengantar memoar Di Bawah Langit Tak Berbintang (2001), Ajip Rosidi menyinggung masalah itu. Menjelang hari ulang tahun PKI pada 1965 yang hendak dirayakan besar-besaran, Utuy dan Hendra Gunawan sepakat mementaskan Sang Kuriang. Tapi Rustandi Kartakusumah, pengajar di Universitas Seni Rakyat (Unsera), berpendapat naskah itu tidak cocok dengan semangat PKI, terlalu individualistis. Aidit setuju, Utuy muntab.

Selain itu, Dindin—panggilan Son Diamar—menyebutkan lakon Sang Kuriang urung dipentaskan karena dianggap terlalu religius oleh orang-orang Lekra. “Ada banyak kata dewata serta adegan manusia pasrah di hadapannya.”

Ineu (Sudewi Martine), sosok yang sedianya hendak memerankan Dayang Sumbi, adalah kakak tiri Dindin. Ibu mereka, Rd. Asiah Tedjakeraton, berasal dari Manonjaya, Tasikmalaya.

Institut Kajian Asia Afrika (ISAA), tempat Utuy mengajar, di Jalan Mokhovaya 18, Moskow./Zulkifli Songyanan

Sebelum dinikahi Utuy, Aci—sapaan Asiah—menikah dengan Juandi Kartawijaya, adik Perdana Menteri Juanda. Setelah Juandi wafat dan meninggalkan tiga anak, Aci menikah dengan Utuy. Selain Dindin, dari pernikahan itu lahir Son Ramadir (1948-2018) dan Lia Diarmara (63 tahun).

“Uwa Juanda tidak pernah membedakan mana anak Juandi dan mana anak Utuy. Uwa Juanda menyayangi Utuy karena telah merawat keponakannya,” ujar Dindin.

Utuy lahir di Cianjur, 20 Mei 1920. Ayahnya, H Maksum, adalah bungsu dari 25 bersaudara—semuanya menyandang titel haji. Ajip Rosidi menyebutkan alasan Utuy masuk Lekra karena faktor ekonomi: pengarang lakon Awal dan Mira ini butuh uang untuk memperbaiki atap rumah.

Namun pernyataan Dindin membuat keterangan itu terdengar meragukan. “Mami Aci adalah kepala rumah tangga perdana menteri. Saya ingat Om Hendra pernah bilang bahwa dia betah di rumah kami karena tak pernah kekurangan makanan,” kata Didin. Hendra Gunawan—kemudian menjadi salah satu maestro lukis Indonesia—pernah tinggal bersama keluarga Utuy selama tiga bulan.

• • •

PADA 28 September 1965, Utuy tiba di Peking, Tiongkok. Kabar tentang meletusnya peristiwa 1965 disampaikan tuan rumah tiga hari kemudian. Elemen Angkatan Darat dan PKI diduga terlibat di dalamnya.

“Terhadap pemberitahuan itu, pimpinan rombongan lalu menyimpulkan bahwa kami semua harus siap pikiran untuk tidak bisa segera pulang ke tanah air. Lebih jauh lagi, harus siap pikiran untuk dihadapkan kepada kehancuran keluarga yang ditinggalkan,” tulis Utuy dalam Di Bawah Langit Tak Berbintang.

Utuy Tatang Sontani, dari buku bahasa Rusia berjudul “Tentang Sastra dan Budaya Indonesia” karya Villen Sikorsky./Tempo

Kedatangan Utuy disambut baik para penulis Tiongkok. Cin-Cing Mei, penulis Negeri Tirai Bambu paling terkenal saat itu, bahkan menyatakan langsung kekagumannya. “Saya pengarang yang baru saja melahirkan sebuah buku. Tapi buku yang Kawan tulis sudah banyak. Karena itu, saya ingin banyak belajar dari Kawan.”

Kedudukan Utuy sebagai pengarang ternama membuat pengurus PKI menunjuknya sebagai perwakilan Indonesia dalam Konferensi Asia-Afrika 1966. Utuy menolak mandat itu dengan alasan sakit. Kepada seorang perempuan sahabatnya, sastrawan yang dijuluki Pramoedya Ananta Toer sebagai “raksasa dramaturg” ini menyampaikan alasan sesungguhnya.

“Apa jadinya kalau di sini saya dimunculkan di atas podium sebagai ketua delegasi, berkaok-kaok memaki-maki rezim yang berkuasa di Indonesia sekarang, sedang istri saya di sana mesti merana karena harus memikul segala konsekuensinya?”

Saat Revolusi Kebudayaan melanda seluruh Negeri Tirai Bambu dan para penulis Tiongkok yang berteman dengan Utuy satu per satu dihabisi, Utuy mulai berjarak dengan kelompoknya. Tinggal di sebuah kamp yang dijaga ketat tentara, kegemaran Utuy mengisi waktu dengan bermain biola atau melukis dianggap sebagai perilaku kaum borjuis. Utuy kian tersudutkan setelah terang-terangan menolak seruan Partai Komunis untuk mempelajari doktrin Mao Ce-Tung. Perkara yang disebutnya hanya bikin kepala pusing dan perut mau muntah.

Buku-buku karya Utuy Tatang Sontani./TEMPO

Setelah delapan tahun di Tiongkok, Utuy bertolak ke Belanda menumpang kereta Trans-Siberia. Dalihnya melanjutkan pengobatan. Rekan seperjalanannya adalah penyair Agam Wispi. Hanya, sementara Agam sampai di Amsterdam, Utuy memilih berhenti di Moskow. Firasatnya menyebut dia akan lebih diterima di jantung Uni Soviet ketimbang melanjutkan hidup di Eropa Barat.

“Setahun sebelum tiba di sini, Bunga Rumah Makan dicetak ulang,” Vilen Sikorsky, 88 tahun, karib sekaligus penerjemah Utuy, menjelaskan.

 

• • •

DALAM obrolan di apartemen Vilen Sikorsky, tak jauh dari Monumen Yuri Gagarin, ahli sastra dan bahasa Indonesia di Negeri Beruang Merah ini menyebut dirinya sebagai pengagum bakat kreatif dan karya-karya Utuy. “Peluang berjumpa dan bergaul dengan sang pengarang adalah keberuntungan bagi saya,” katanya.

Sikorsky aktif di Organisasi Penulis Uni Soviet. Dia menghubungi teman-temannya yang punya kedudukan di Partai Komunis negeri itu agar menyediakan flat khusus buat Utuy. “Prosesnya tidak mudah, bahkan sempat ditolak.” Selain memperoleh flat, Utuy mendapatkan pekerjaan menjadi pengajar bahasa Indonesia di Institut Kajian Asia-Afrika (ISAA), MGU.

“Sebetulnya menarik bahwa Utuy yang datang dari Tiongkok bisa diterima di sini,” ujar Sikorsky. Berbekal pengalaman hidup bersama orang-orang PKI di Peking, Utuy datang ke Moskow membawa trauma. Dia enggan bergaul dengan orang-orang Indonesia.

Vilen Sikorksy, kawan Utuy, menunjukkan poster kegiatan “Malam Utuy Tatang Sontani” bertanggal 13 Mei 1975./Zulkifli Songyanan

Liudmila Demidyuk, tandem mengajar Utuy di ISAA, menegaskan pernyataan Sikorsky. “Kecuali dengan Kuslan Budiman, seniman Lekra yang kemudian ikut tinggal di flatnya, Utuy hanya dekat dengan segelintir orang Rusia, terutama dari kalangan kaum Hawa.”

Di mata Demidyuk, Utuy adalah pribadi yang hangat. Sekalipun kerap tampak tertekan dan kesepian, dia justru bersemangat tiap kali mengajar. Sebab, hanya dalam kelas Utuy leluasa membicarakan Kolot Kolotok—karya anyar yang ditulis di Moskow.

Novel itu punya kedudukan penting dalam perkuliahan di ISAA. Sejak 1950-an, teks-teks pelajaran bahasa Indonesia yang dipelajari di sana bersumber dari naskah pidato Bung Karno. Memasuki 1970-an, hubungan Soviet-Indonesia menegang. Pidato politik Sukarno dianggap tak relevan lagi disampaikan di perkuliahan.

“Saya menyusun kurikulum baru yang disesuaikan dengan situasi di Indonesia. Zaman berubah, leksikon juga berubah,” kata Demidyuk. Beruntung Utuy datang sehingga karyanya—yang dianggap banyak menyinggung adat istiadat—dijadikan bahan ajar.

Kolot Kolotok unik. Versi terjemahannya lebih dulu diterbitkan daripada versi bahasa asli,” ucap Victor Pogadaev, 74 tahun, Sekretaris Pusat Nusantara, lembaga di Rusia yang berfokus mengkaji kebudayaan negara-negara Asia Tenggara.

Makan Utuy Tatang Sontani di Taman Permakaman Mitino, Moskow. Nisan Utuy bertuliskan “Indonesiyiskiy Pisatel”, Pengarang Indonesia./Zulkifli Songyanan

Sesuai dengan wasiatnya kepada Kuslan, Utuy dimakamkan secara Islam. Selain dihadiri para Indonesianis, pemakaman Utuy dihadiri anggota emigrasi politik Indonesia di Moskow yang sementara waktu mengesampingkan konflik-konflik internalnya. Nisan marmer hitam bertulisan “Indonesiyskiy Pisatel”, pengarang Indonesia, dipasang setahun kemudian oleh Komisi Luar Negeri Organisasi Penulis Uni Soviet. Lembaga itu pula yang rutin merawat makam Utuy hingga Uni Soviet bubar pada 1991.

Kini makam pertama di Blok 1 sektor muslim Mitino itu terbengkalai. “Seharusnya itu menjadi makam kebanggaan bangsa Anda,” kata Anna Shaposhnikova, mantan Direktur Pusat Kebudayaan Rusia, Jakarta. Dia menerangkan, jika suatu saat kondisi makam Utuy rusak atau tak diziarahi lagi, bukan tidak mungkin makam itu bakal ditimpa jenazah lain.

Saat saya tiba bersama Iwan, makam Utuy, yang konon ambles, tertutup salju. Tak ada bunga-bunga cerah sebagaimana tampak di kuburan lain sekitarnya. Saya menyentuh marmer nisannya, yang miring, dan melihat hanya ranting-ranting kecil tertancap di pusaranya. Dingin betul, dan suasana hening. Saya hendak mencabuti ranting-ranting itu, tapi Iwan mencegah. “Di musim semi, ranting ini akan tumbuh jadi bunga-bunga yang indah,” ujarnya.

Diam-diam saya mengirimkan Al-Fatihah.

ZULKIFLI SONGYANAN, MELAKUKAN RISET MENGENAI UTUY TATANG SONTANI DI MOSKOW, RUSIA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus