Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Salah satu warga Pulau Pari Mustaghfirin, 46 tahun, mengatakan ia dan tiga orang warga lainnya pernah ditahan kepolisian karena dituding pengembang melakukan pemerasan dengan kekerasan.
"Kekerasan seperti apa kami juga enggak tau," kata Mustaghfirin di Balai Kota, Rabu, 25 April 2018 di sela aksi unjuk rasa puluhan warga asal Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Mustaghfirin mengatakan telah menjalani sidang selama 27 kali. "Tapi dari pihak mereka (PT Bumi Pari Asri) selama 27 kali sidang itu enggak pernah datang."
Baca : Warga Pulau Pari Berdemo Lagi, Sandiaga Uno Janji ke Pari Usai Pulau Tidung
Mustaghfirin dan tiga orang warga lainnya divonis enam bulan penjara pada tahun 2017. "Saya enam bulan penjara itu di Cipinang, pahit banget buat saya sama keluarga," kata dia.
Mustaghfirin yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan harus meninggalkan istri dan tiga orang anaknya selama enam bulan. Istrinya yang hanya berdagang kecil-kecilan membuka warung kopi hanya mampu membiayai hidup sehari-hari.
"Ya enggak ada saya itu hasil dagang cuma cukup untuk makan, sedangkan tiga anak saya sekolah," tutur Mustaghirin. Dia menjelaskan selama dirinya ditahan, warga Pulau Pari turut membantu membiayai sekolah anak-anaknya.
Sebelumnya Ombudsman menemukan adanya maladministrasi berupa penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan pengabaian kewajiban hukum dalam penerbitan 62 sertifikat hak milik (SHM) atas nama perorangan serta 14 sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas nama PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Griyanusa.
Dalam aksi unjuk rasa kali ini, warga Pulau Pari menuntut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk segera mencabut sertifikat tanah tersebut. "Sertifikat itu bodong dan cacat hukum," kata warga perwakilan Pulau Pari bernama Ujen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini