AKU telah terkenal sebagai pesinden bersuara emas dan penari yang cantik pada umur 16 tahun. Tidak hanya di Desa Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri, namaku disebut-sebut, tapi juga sampai ke Solo. Bapakku, Singodimejo, seorang petani. Aku anak keenam dari tujuh bersaudara. Aku dipuja-puja para jejaka di desaku. Aku tidak tahu, ketika pada suatu hari Raja Mangkunagoro ke-7 rawuh di rumahku, untuk menyaksikan ayahku menari ataukah aku. Yang aku tahu, Wonogiri, di tahun 1925 menurut kalender Belanda, itu memang daerah kekuasaan beliau. Ah, ternyata Kanjeng Gusti berniat menyaksikan aku menari. Dan kemudian aku dengar, Kanjeng Gusti kepranan oleh penampilanku. Dan beberapa hari kemudian, Bapak mengatakan bahwa sesungguhnya Kanjeng Gusti Mangkunagoro Kaping Pitu itu telah minta aku agar diboyong ke Keraton, untuk di jadikan selir. Bapak juga mengatakan bahwa permintaan itu tak mungkin ditolaknya. Suatu kebanggaan tak bertara muncul di dadaku. Hatiku bergetar. Aku akan menjadi penghuni Keraton Mangkunegaran. Adakah nasib yang lebih baik daripada itu? Tatkala aku diboyong ke Keraton, aku tak tahu persis berapa usia Kanjeng Gusti, dan sudah berapakah selir beliau. Lama kemudian baru aku tahu, umurku 24 tahun lebih muda dari Kanjeng Gusti. Dan aku menjadi selir yang kedelapan. Sungguh Gusti Allah memberkahiku. Aku benar-benar bahagia bila kuingat nasibku. Meski hanya sebagai selir, ternyata aku selir terakhir. Setelah memiliki jiwa ragaku, Kanjeng Gusti tak berniat mengambil selir yang lain. Aku tinggal di sebuah kamar di bangsal, Keputren. Sebuah kamar yang bagus bila dibandingkan rumahku di desa. Ternyata, Kanjeng Gusti memang sangat senang menyaksikan tari-tarian. Dan akulah satu-satunya selir beliau yang bisa menari. Maka, aku pun diangkat sebgai penari Keraton. Kanjeng Gusti berterus terang bahwa beliau sangat mengagumi suara dan tariku. Juga rambutku yang hitam dan panjang, jari-jariku yang lentik, seluruh tubuhku. Aku cuma diam, tapi hatiku bangga sekali. Maka, selain sebagai selir, yang harus selalu siap sedia setiap waktu melayani segala kehendak Kanjeng Gusti, aku juga ditugasi menari bila ada acara penting atau ada kunjungan tamu agung. Kepadaku Kanjeng Gusti berpesan untuk selalu memperindah tarianku. Kanjeng Gusti mencintai keindahan dan kecantikan. Di kala muda ia berkelana keliling Jawa, jalan kaki atau naik kereta hanya ditemani seorang pembantu. Ia pun pernah mengalami pendidikan tentara Belanda. Ia punya banyak teman dari kalangan bawah sampai atas, pribumi maupun Belanda. Ia pun sangat giat dalam perkumpulan yang dinamakan Boedi Oetomo. Mungkin, karena begitu luas wawasannya, apa saja di Keraton tak luput dari perhatian beliau. Sampai-sampai jenis kembang yang harus ditanam di Keputren, Kanjeng Gustilah yang menentukan. Beliau menganjurkan agar kembang-kembang di Keputren berwarna-warni. Beliau sangat memperhatikan irama dan suasana. Begitu pula soal kamar tidur harus bersih dan ada iramanya. Pertama kali aku masuk Keraton, seorang pembantu mengajariku tata krama (sopan santun) bila harus bercengkerama dengan Raja. Kamar tempat para selir bertemu Raja lain dari kamar tempat bertemu Raja dengan garwa padmi (permaisuri). Aku tak tahu bagaimana susunan kamar permaisuri. Untuk kami, para selir, kamar itu begitu luas, terdiri dari tiga bagian yang berhubungan. Bagian pertama adalah kamar mandi. Bukan kamar mandi seperti model zaman sekarang. Tapi kamar mandi berupa telaga kecil, lalu ada pancurannya. Menurut cerita, kamar mandi ini dibuat menurutkan pengalaman Kanjeng Gusti. Suatu hari, ketika berburu, di pinggir hutan beliau melihat seorang gadis desa mandi di pancuran. Kanjeng Gusti begitu mengagumi keindahan pancuran dan gadis yang mandi itu. Kembali ke Keraton, diperintahkannya membangun kamar mandi seperti pancuran. Mula-mula, pertama kali bercengkerama dengan Kanjeng Gusti aku kikuk sekali. Belum pernah di desaku aku mandi dilihat orang. Tapi waktu itu, sementara aku membersihkan seluruh tubuh di kamar mandi yang seperti pancuran itu, Kanjeng Gusti lenggah di pojok mirsani diriku. Selesai mandi, aku masuk ke bagian kedua. Yaitu kamar tempat berdandan. Aku duduk di depan cermin bersayap, hingga aku bisa melihat semua lekuk-liku badanku sendiri. Sementara itu, Kanjeng Gusti pun mirsani aku lagi berdandan dan berhias. Barulah di bagian ketiga, ada sebuah tempat tidur cukup besar yang bersih sekali dan wangi baunya. Di sinilah aku pertama kali disentuh oleh Kanjeng Gusti. Dan untuk selanjutnya, upacara itu -- mandi dan berdandan -- selalu kujalani bila Kanjeng Gusti berkenan bercengkerama denganku. Sebagaimana lazimnya seorang perempuan, aku pun menginginkan anak. Dan anakku tentulah bukan sembarang orang, ia berdarah raja. Kadang, anganku melayang, membayangkan, seumpama nanti aku punya anak lelaki, dan kemudian ditakdirkan menjadi raja .... Ah, cepat-cepat kupupus lamunan tak berujung pangkal itu. Sebagai selir, aku tahu diri. Bukankah sudah ada permaisuri, Gusti Kanjeng Ratu Timur, putri Hamengku Buwono VII, yang dinikahi oleh Kanjeng Gusti lima tahun sebelum aku diboyong ke Keraton. Namun, setahun berlalu tanpa tanda-tanda kehamilan pada diriku. Aku gelisah. Dan rupanya Kanjeng Gusti menangkap kecemasanku. Suatu hari beliau bertanya mengapa aku tampak tidak jenjem -- tidak tentram. Sebelum kujawab, beliau sendiri bertanya apakah aku menghendaki momongan (anak). Lalu Kanjeng Gusti berterus terang, memang beliau tak menghendaki aku punya keturunan, untuk selamanya. Aku terkejut, tapi mana berani aku mengutarakan pemberontakan nuraniku. Mengapa aku sebagai perempuan tak boleh mempunyai anak? Kanjeng Gusti lalu bersabda, dengan sangat ia minta aku rela memenuhi permintaan beliau. Kanjeng Gusti tidak ingin aku menjadi ibu. Tapi beliau ingin agar aku tetap menjadi penari dan pesinden yang baik, di samping sebagai seorang istri, sampai akhir hayat. Kata Kanjeng Gusti, Gusti (Tuhan, maksudnya) akan melipatgandakan keindahan tubuh dan tariku. Dengan mengalahkan kata hatiku sendiri, aku menyetujui permintaan junjunganku itu. Kalau aku sampai punya anak, memang lebih sulit mempertahankan keindahan tubuhku. Dan dengan begitu, tarianku pun akan susut keindahannya. Namun, bagaimana bisa, dalam setahun itu tanda-tanda kehamilan sedikit pun tak muncul pada diriku? Kemudian aku baru tahu bahwa jamu-jamu yang diramu oleh para dokter dan tukang jamu Keraton memang membuat aku jadi tidak subur. Bahasanya sekarang, itulah jamu-jamu KB. Ini, tentu, atas perintah Kanjeng Gusti. Dan jamu-jamu itu tampaknya memang manjur. Sampai Kanjeng Gusti mangkat, pada 19 Juli 1944, aku tak beroleh anak. Setiadanya Kanjeng Gusti, sebagaimana adat keraton, karena hanya seorang selir aku harus segera meninggalkan Istana. Kecuali bila ada kerabat Keraton yang bersedia menampungku. Kenyataannya tak seorang pun merasa perlu mempertahankan keberadaanku di Keraton. Meski, aku bukan sekadar selir, tapi juga penari terbaik di Keraton Mangkunegaran. Memang berat, setelah 19 tahun melayani kanjeng Gusti, aku harus meninggalkan semua yang bisa menjadi kenangan. Namun, aku tak melupakan pesan beliau bahwa aku mesti menjadi penari yang baik. Tahun-tahun pun berjalan. Ada suka, ada duka. Oh, ya, sebelum mangkat, Kanjeng Gusti telah menganugerahkan kepadaku sebuah rumah yang tak jauh dari Keraton Mangkunegaran. Di situlah aku kemudian tinggal. Kepandaian yang kupelajari di Keraton ternyata bermanfaat, bisa menunjang hidupku, hingga aku tak tergantung orang lain. Aku bisa membatik, juga merias pengantin, selain menari. Mungkin, tak banyak yang tahu, ketika Ibu Tien dan Bapak Soeharto, yang sekarang jadi Presiden, menikah, akulah yang merias Ibu Tien. Beliau masih kerabat Keraton Mangkunegaran. Dan tak sia-sia pengorbananku untuk memupus keturunan. Tariku tak cuma dikagumi di dalam Keraton. Setelah zaman kemerdekaan, aku pun sering diundang ke Jakarta untuk menari dan menembang di Istana Merdeka. Dan pada tanggal 17 Agustus 1961, pada umur 52 tahun, Presiden Soekarno menghadiahiku Piagam Wi jaya Kusuma, piagam untuk seniman dan seniwati yang berjasa. Rupanya, aku dianggap berjasa melestarikan tari Jawa. Kini aku hampir 80 tahun. Masih sehat dan tidak kesepian. Seorang kemanakanku beserta istri dan anaknya menemaniku di rumah peninggalan Kanjeng Gusti. Tiap hari aku membatik. Dan meski aku harus keluar dari Keraton, keluarga Mangkunegaran rupanya tak melupakanku begitu saja. Sebagian besar hasil batikanku, para keluarga Keraton-lah yang membelinya. Sekarang sebuah kain batik hasil tanganku dihargai Rp 300.000. Ah, dan masih banyak pula mereka dari Keraton atau bukan yang memanggilku dengan "Nyai Menggung". Memang, semasa dalam Keraton aku, jelek-jelek, disebut Nyai Tumenggung Mardusari. Tentu, itu pertama-tama karena suaraku. Mardu dari kata merdu, artinya suara yang sangat enak didengar telinga. Sari artinya hakikat. Jadi, kira-kira namaku berarti merdunya suara merdu. Itu, aku yakin, bukan hanya karena bakat alamku, tapi juga karena aku selalu menjaga tubuh agar tetap segar. Misalnya, tiap waktu tertentu aku mandi air bunga. Lalu melulur tubuhku agar tetap kuning bersih. Dua hal ini memang tak ada hubungannya dengan suara secara langsung. Namun, bagi seorang pesinden dan penari, aku tahu benar manfaatnya. Yaitu, karena memperoleh kesegaran badan dan rasa wangi dari bunga, serta halusnya kulit, membuat kepercayaan pada diri semakin besar. Usaha yang berhubungan langsung dengan suara memang ada, yakni jamu-jamu yang selalu kuminum. Aku tak tahu persis apa saja jamu itu. Tapi ada racikan khusus yang sedikit banyak kuketahui. Yaitu racikan terdiri dari delima putih, buah mojo, ditambah jenis-jenis tanaman lain yang tak kuketahui namanya. Ramuan jamu yang terdiri dari bahan itu semua terasa mengakibatkan tubuh tak mudah letih. Aku tahu, Kanjeng Gusti juga minum jamu. Yang kuketahui, beliau selalu minum cabe puyang dicampur telur dan madu. Menurut punggawa ahli jamu Keraton, jamu yang diminum raja juga membuat badan tak mudah capek, selalu bergairah. Ada yang selalu diucapkan oleh kanjeng Gusti. Ucapan itu, meski kata-katanya mirip selalu, tiap kali diucapkan, kok terasa berbeda di hatiku. "Nyai, jari-jarimu yang lancip jika kau gerakkan, kakimu yang langsing jika kau langkahkan, dan lehermu, matamu, dadamu, bibirmu, jika kau gerakkan waktu kamu menari dan menembang, seolah Gusti melipatgandakan kecantikanmu. Aku tak pernah menyesali nasibku, bahkan ketika harus keluar dari Keraton, dan hidup sendiri. Dalam usiaku yang hampir 80 tahun kini, rasanya aku telah jadi wanita dari Ngadirojo yang berguna, beruntung, dan bahagia. (Lihat juga: Atas Nama Kekuasaan dan Seks, dan Kitab Asmara Raden Riyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini