Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kivlan Zen: "Saya Menyerang Duluan..."

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIVLAN Zen dua pekan ini benar-benar menjadi "bintang" media massa. Media cetak tidak pernah sepi dari namanya, televisi berebut mewawancarainya. Mayor jenderal purnawirawan ini makin "dikejar" media setelah meluncurkan buku Konflik dan Integrasi TNI AD pekan lalu. Bekas Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat ini bercerita tentang masalah sensitif di buku itu: Pam Swakarsa, pasukan swasta pro-Sidang Istimewa 1998. Kivlan jelas mengatakan bahwa bekas Panglima ABRI Wiranto berada di balik kehadiran "laskar swasta" yang kehadirannya dikecam banyak kalangan itu.

Kivlan, kelahiran Langsa, Aceh, 58 tahun lalu, di antara padatnya jadwal kampanye untuk buku barunya, menjelaskan banyak hal seputar buku yang diangkat dari tesis masternya itu kepada Darmawan Sepriyossa, Nezar Patria, dan Hanibal Wijayanta dari TEMPO.

Apa motif Anda mengungkap semua ini?

Tak ada motif khusus selain membuka kebenaran. Hanya, setelah mengikuti kegiatan bedah buku Fadli Zon, Politik Huru-hara Mei 1998, saya tergerak bikin buku. Fadli juga yang mengeditnya. Lalu semua menggelinding begitu saja bagai bola salju. Saya sendiri tak berpikir akan jadi ramai begini.

Mengapa baru sekarang soal ini Anda buka?

Sudah saya minta dibuka sejak enam tahun lalu. Di majalah Forum soal Pam Swakarsa itu saya tulis sekitar Mei 2003. Waktu itu Wiranto mulai mencalonkan diri dalam konvensi Golkar. Di majalah Dewan Rakyat, saya juga menulis bahwa ia bermental ajudan dan tidak bertanggung jawab. Kalau yang dulu itu saya tidak dituntut dan baru ribut sekarang, itu karena dia enggak berani. Begitu juga sekarang. Sudahlah, dia itu maju kena mundur kena.

Anda siap kalau digugat?

Silakan, itu malah lebih baik. Saya malah yang akan menuntut dia duluan. Tadi pagi (17 Juni?Red.) saya melayangkan somasi agar mereka minta maaf karena menyerang pribadi saya. Jadi saya yang duluan menyerang. Saya ingin mereka keluar dari pertahanannya. Itu taktik militer... (Kivlan tertawa keras).

Mengapa Wiranto dan timnya terkesan tak mau meladeni Anda?

Karena dia merasa bersalah. Tak mungkin dia menipu dirinya sendiri. Hati nuraninya menyatakan saya benar, kok.

Anda yakin sekali sebagai pihak yang benar?

Data dan saksi yang ada menguatkan saya. Juga soal Pam Swakarsa. Semua data tertulis juga ada. Akan keluar pada waktunya.

Nah, itulah, mengapa Anda mencicil-cicil seperti itu?

Ya, taktik dong. Perang itu kan enggak bisa habis-habisan. Kita harus mengukur lawan. Pukul dulu sedikit, lihat reaksinya. Serang lagi dengan pukulan lain. Senjata besar yang ada di belakang kita, itu untuk pukulan terakhir.

Benarkah Anda pernah didatangi utusan Wiranto untuk berunding?

Benar. Beberapa hari sebelum konvensi Partai Golkar, tanggalnya sekitar 26 Mei lalu (Kivlan tak mau membuka siapa orang tersebut?Red.). Kami bertemu di Sarinah.

Apa yang disampaikan utusan itu?

Dia mengaku menyampaikan pesan dari Pak Wiranto agar tulisan saya itu tidak dulu dipublikasikan. "Nanti bisa menggagalkan saya," kata dia menirukan Pak Wiranto. Saya katakan tidak bisa karena bukunya sudah hampir jadi. Akhirnya ia mengalah. (Kivlan selanjutnya bercerita tentang satu soal yang juga tidak boleh dimasukkan oleh Wiranto dalam buku itu, tapi ia bilang akan tetap ditulis.?Red.)

Selanjutnya?

Dia kewalahan. Akhirnya utusan itu menyatakan akan mengganti uang sejumlah Rp 5,7 miliar. "Besok harus sudah ada," kata saya. Dia minta diberi waktu dua minggu. Dia juga menawarkan jabatan duta besar untuk Inggris. Saya tolak. Saya bukan orang yang mau jadi tukang antar-jemput tamu negara, ha-ha-ha....

Ada kelanjutan pertemuan itu?

Tidak, tak ada lagi. Saya tak mau lagi meladeni.

Jika saat ini datang utusan dengan Rp 5,7 miliar, sikap Anda bisa berubah?

Enggak. Saya sudah bilang, uang itu harus dia berikan ke pengacara saya. Uang itu sendiri tak kan saya sentuh. Akan saya berikan ke pengacara. Sebagian lagi untuk pondok-pondok pesantren, lalu untuk mereka yang pernah terlibat Pam Swakarsa.

Apa yang Anda dapatkan dari segala pemberitaan ini?

Nikmat. Saya mendapat nikmat. Saya dikejar-kejar berita. Cucu saya bilang, Sidi (kakek) masuk TV, jenius sekali. Saya senang dibanggakan cucu, ha-ha-ha....

Teman baik Anda dulu, Suaidi Marasabessy, mengatakan motivasi Anda adalah uang. Benarkah?

Kalau saya merampas, atau minta uang pada orang yang terjepit, ya saya salah. Tapi, dalam soal ini, saya meminta hak. Dalam utang itu ada uang rumah saya, uang makan anak-anak Pam Swakarsa yang dulu belum dibayar. Itu saya lakukan agar anak-anak Pam Swakarsa itu tidak buruk hubungannya dengan TNI. Kalau saya mau materi, mengapa saya tidak minta Rp 100 miliar? Saya cuma minta dikembalikan saja, jumlahnya Rp 5,7 miliar. Kalau saya memeras tanpa ada alasan, itu namanya bermotif materi. Ini hak saya.

Hubungan Anda dengan Suaidi?

Dia itu kawan saya sejak dia taruna, sejak dia cuma bisa makan sagu. Sekarang musuh saya. Saya somasi dia untuk minta maaf.

Bagaimana Anda melihat Wiranto?

Saya kasihan melihatnya. Orang yang sudah terjepit begitu kan enggak mungkin harus saya tonjokin lagi. Tapi, ya, bayar utang dulu dong... (tertawa keras).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus