Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Serial Konflik Elite

Buku Konflik dan Integrasi TNI AD mengungkap persaingan para jenderal. Ditulis oleh tokoh yang terlibat.

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zen, 58 tahun, membuat pentas politik pemilihan presiden "hangat-hangat kuku". Soalnya, pensiunan jenderal kelahiran Langsa, Aceh, ini meluncurkan buku Konflik dan Integrasi TNI AD. Dalam buku setebal 178 halaman itu, bekas Kepala Staf Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat (Kostrad) ini menulis perihal konflik antarperwira tinggi di kalangan TNI Angkatan Darat. Termasuk konflik yang melibatkan Jenderal (Purn.) Wiranto, yang tengah getol berkampanye untuk pemilu presiden. Salah satu bab dari buku itu mengungkap aktivitas masa lalu Wiranto. Kivlan, misalnya, menganggap Wiranto harus bertanggung jawab atas tragedi Mei 1998 dan pembentukan Pam Swakarsa.

Buku ini disebut Kivlan sebagai "pengembangan atas tesis saya pada saat mengambil gelar S2 magister social development di pascasarjana Universitas Indonesia pada tahun 2002". Tesis yang diterbitkan oleh Fadli Zon, kawan dekat Letjen (Purn.) Prabowo Subianto, berjudul Hubungan Integrasi Internal TNI AD dan Integrasi Bangsa Indonesia. Sebagai sebuah karya ilmiah, tesis Kivlan terbilang "biasa saja". Spektrum waktu dalam buku ini terlalu lebar. Kivlan mencoba merangkum konflik TNI-AD sejak 1945 hingga tahun 2000. Akibatnya, "Tesis ini seperti buku sejarah yang dangkal," ujar Anhar Gonggong, sejarawan dari LIPI. Toh tesis ini mengantarkan Kivlan meraih gelar magister dari Fakultas Pascasarjana UI.

Berikut beberapa nukilan yang penting.

Benny Moerdani Versus Prabowo
Perseteruan Jenderal L.B. Moerdani dengan Mayor Prabowo Subianto berawal dari persoalan ideologi dan agama. Menurut Kivlan, konflik ini mulai terjadi saat Prabowo menjadi staf khusus Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani (1982-1985).

"Sebagai staf khusus, Mayor Prabowo Subianto mendapat penjelasan rencana menghancurkan gerakan-gerakan Islam secara sistematis. Prabowo memperoleh informasi ini karena Jenderal Benny Moerdani melihat latar belakang bapaknya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, seorang sosialis, dan ibunya seorang penganut Kristen dari Manado. Namun Prabowo Subianto merasa tidak cocok dan melaporkan langkah-langkah Benny kepada mertuanya, Presiden Soeharto."

Mengetahui rencananya dibocorkan kepada Presiden Soeharto, tutur Kivlan, Benny Moerdani marah besar. Prabowo, yang telah menjadi Wakil Komandan Detasemen 81 Kopassus, kesatuan elite antiteror, dimutasi menjadi Kepala Staf Kodim.

"Ini menimbulkan kebencian dan ketidakberdayaan sangat mendalam Prabowo Subianto terhadap Jenderal Benny Moerdani. Prabowo juga melakukan pendekatan terhadap Komandan Seskoad Mayjen TNI Feisal Tanjung dan Pangdam Brawijaya Mayjen R. Hartono. Bersamaan dengan itu, Benny menyiapkan penggantinya, mulai dari Letjen Sahala Radjagukguk, Mayjen Sintong Panjaitan, Brigjen Theo Syafei, Kolonel Luhut Panjaitan, dan Letkol R.R. Simbolon."

Feisal Tanjung Versus Hartono
Setelah tongkat komando ABRI pada 21 Mei 1993 beralih ke pundak Jenderal TNI Feisal Tanjung, peta persaingan pun berubah. Peran kelompok pendukung Benny Moerdani, yang dikenal dengan "ABRI merah-putih", mulai digeser oleh "ABRI hijau", yang dekat dengan kelompok Islam. Tak seperti panglima sebelumnya, Feisal Tanjung lebih dekat ke Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, yang dipimpin oleh B.J. Habibie. Tapi persaingan merebut jabatan dan pengaruh tetap ada. Pangab Jenderal Feisal Tanjung sering tak sepaham dengan KSAD Jenderal R. Hartono.

"Konflik juga terjadi antara Jenderal Feisal Tanjung dan Mayjen Prabowo. Soalnya, Prabowo dinilai dekat dengan Jenderal R. Hartono, yang dianggap ingin menjadi Panglima ABRI sebelum Sidang Umum MPR 1998. Feisal Tanjung juga menilai Hartono sering membawa nama ABRI untuk mendukung Golkar."

Di lain paragraf:

"Jenderal Hartono dinilai gagal menghambat naiknya Abdurrahman Wahid menjadi Ketua Umum PB NU untuk ketiga kalinya. Soeharto tak mau menghadiri pelantikan Abdurrahman Wahid karena suka mengkritik Soeharto dan pernah mendukung Benny Moerdani menjadi presiden pada 1993"

Wiranto Versus Prabowo
Pada Maret 1998 terjadi mutasi besar-besaran di tubuh ABRI. Jenderal Wiranto, bekas ajudan Presiden Soeharto, diangkat menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, menggantikan Feisal Tanjung. Sedangkan Prabowo, menantu Presiden Soeharto, pangkatnya dinaikkan menjadi jenderal berbintang tiga. Prabowo menempati pos baru sebagai Panglima Kostrad, yang secara historis merupakan "jalur resmi" menuju kursi KSAD dan Panglima ABRI.

Tapi Wiranto dan Prabowo diam-diam bersaing untuk memperkuat posisinya. Kedua jenderal ini terlibat persaingan merebut simpati Soeharto dan para perwira ABRI lainnya.

"Jenderal Wiranto dianggap tidak senang dengan kalangan Islam dan lebih dekat dengan Benny Moerdani. Kemudian terjadi persaingan antara Letjen Prabowo dan Jenderal Wiranto untuk mendapatkan perhatian Soeharto. Terutama ketika gerakan anti-Soeharto semakin kuat dimotori kalangan mahasiswa. Panglima ABRI Wiranto mengatakan dengan tegas bahwa demonstrasi mahasiswa tak boleh keluar kampus."

Saat kerusuhan Mei 1998, pertikaian antara Wiranto dan Prabowo memuncak.

"Keadaan semakin kacau ketika meletus peristiwa Trisakti 12 Mei 1998 dan diikuti kerusuhan massa 13-15 Mei 1998. Jenderal Wiranto tak serius menanganinya. Padahal ia memegang kekuatan TNI dan Polri. Pada tanggal 14 Mei, Wiranto tetap berangkat ke Malang untuk menjadi inspektur upacara serah-terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC). Padahal sebelumnya Letjen Prabowo telah menyarankan agar Wiranto membatalkan acaranya di Malang."

Proses pembiaran, cerita Kivlan, juga terlihat dari sikap Wiranto yang tak mendukung upaya pemindahan pasukan Kostrad dari Jawa Timur dan Makassar. Padahal Kodam V Jakarta Raya saat itu sangat membutuhkan pasukan tambahan untuk mengamankan Ibu Kota.

"Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, Pangdam V Jaya, meminta tambahan pasukan ke Kostrad. Namun Mabes ABRI tidak memberikan angkutan Hercules untuk membawa pasukan Kostrad dari Jawa Timur dan Makassar. Karena keadaan mendesak, Kostrad akhirnya mencarter pesawat milik Mandala di Makassar dan pesawat milik Garuda di Surabaya untuk membawa pasukan dengan biaya sendiri."

Selain mengungkap konflik antarperwira tinggi ABRI, Kivlan Zen juga mengungkap beberapa kisah menarik. Kivlan, misalnya, menyatakan pernah mengancam akan menembak "Tokoh Reformasi" Amien Rais bila pada 20 Mei 1998 berani melakukan people power di Lapangan Monas.

"Pada hari Kebangkitan Nasional itu, Amien Rais merencanakan people power mengepung Istana Negara. Namun people power itu tak jadi dilaksanakan antara lain karena adanya ancaman dari Kepala Staf Kostrad Mayjen Kivlan Zen. Kepala Staf Kostrad akan menangkap atau terjadi pertumpahan darah seperti peristiwa Tiananmen di Beijing tahun 1989. Untuk menghadang gerak laju massa, aparat keamanan telah menyiapkan kawat berduri pada jalan-jalan masuk ke Monas. Aparat juga menempatkan tank yang siap menghalau massa serta tembakan peluru tajam seperti di Tiananmen."

Tanggal 21 Mei 1998 menjadi hari bersejarah bagi Republik. Presiden Soeharto, yang sudah 32 tahun berkuasa, menyatakan berhenti. Wakil Presiden B.J. Habibie, di hadapan Ketua Mahkamah Agung, disumpah menjadi presiden.

"Letjen Prabowo menghadap Habibie di rumahnya di Patra Jasa, Kuningan, pukul 23.00. Prabowo membawa konsep susunan kabinet yang disiapkan oleh Mayjen Kivlan Zen, Fadli Zon, dan Din Syamsuddin. Calon terkuat Pangab dalam kabinet Habibie waktu itu adalah Letjen Hendropriyono. Namun Jenderal Wiranto berhasil mempengaruhi Presiden Habibie dengan mengatakan ada pasukan liar mengepung rumah Presiden."

Pada 10-13 November 1998 MPR mengadakan sidang istimewa. Agenda utamanya adalah soal percepatan pemilu dari 2002 menjadi 1999. Sidang Istimewa MPR juga mengubah Ketetapan MPR tentang GBHN. Tapi sidang istimewa itu banyak ditentang mahasiswa dan tokoh politik. Panglima ABRI Jenderal Wiranto, menurut Kivlan Zen, meminta dirinya melakukan pengerahan massa untuk mendukung SI MPR. Dari sinilah kemudian muncul pasukan milisi Pam Swakarsa.

"Jenderal Wiranto memanggil Mayjen Kivlan Zen pada 4 November 1998 sekitar pukul 15.30 di Mabes ABRI Jalan Merdeka Barat. Jenderal Wiranto kira-kira mengatakan, 'Kiv, kok orang anti-SI semua. Saya dengar kamu bisa mengalahkan massa untuk masuk MPR. Nah, sekarang kamu kerahkan lagi mendukung SI. Ini juga perintah dari Presiden Habibie.' Pertemuan itu berlangsung empat mata sekitar 15 menit. Soal pendanaan awal, Wiranto mengarahkan Kivlan untuk bertemu pengusaha Setiawan Djody dan staf wakil presiden, Jimmly Ashiddiqie."

Setelah terbentuk Pam Swakarsa, Wiranto terlibat pertemuan yang mengkoordinasikan pergerakan pasukan milisi itu. Pada 9 November 1998, sekitar pukul 09.00-10.00, dilakukan rapat di rumah dinas Wiranto di Kompleks Menteri, Jalan Denpasar Raya, Jakarta. Hadir dalam pertemuan itu, ujar Kivlan, antara lain: Pangab Jenderal Wiranto, Pangdam Jaya Mayjen Djadja Suparman, Kapolda Metro Jaya Mayjen Noegroho Djajoesman, dan Mayjen Kivlan Zen.

"Dalam rapat tersebut disepakati bahwa tugas pokok Kodam adalah mengamankan Pam Swakarsa apabila terjepit. Pola operasinya: Pam Swakarsa di depan menghadapi massa dan ABRI di belakangnya. Namun dalam prakteknya tidak jarang Pam Swakarsa malah digebuki pasukan Marinir karena mereka tidak diberi tahu."

Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus