Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kelompok Komando Masjid

Inilah kisah lain yang diungkap buku Mayjen (Purn.) Kivlan Zen: persaingan antara senior dan juniornya.

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Restoran Rindu Alam, Puncak Pas, 12 Februari 1988. Hari sudah beranjak malam ketika beberapa lelaki bertubuh tegap berkumpul satu per satu. Tanpa banyak cakap, mereka segera mengambil posisi di sudut belakang dekat musala. ?Selain saya, ada beberapa perwira lain yang juga hadir,? kata Mayjen (Purn.) Kivlan Zen kepada TEMPO Kamis pekan lalu, mengawali kisahnya. Malam itu, menurut Kivlan, Komandan Batalion Infanteri Lintas Udara 328/Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Mayor Prabowo Subianto, membisikkan informasi tentang keinginan Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani untuk menjadi wakil presiden melalui Sidang Umum MPR, Maret 1988. Kivlan lalu menyarankan agar Prabowo menghadap Soeharto, mertuanya, dan mengusulkan untuk mengambil langkah. Pada 24 Februari 1988, seminggu sebelum Sidang Umum MPR, Soeharto mengganti Panglima ABRI dari Jenderal L.B. Moerdani dengan Jenderal Try Sutrisno. Menurut Kivlan, untuk mengantisipasi kemungkinan Benny tak terima pencopotan itu, Prabowo menyiapkan beberapa batalion pasukan untuk mengantisipasi ?hal-hal yang tak diinginkan?. Pasukan memang tak diturunkan karena kekhawatiran bahwa Benny ?bergerak? tidak terbukti. Kericuhan malah terjadi di ruang parlemen. Saat sidang menetapkan Sudharmono sebagai wakil presiden, tiba-tiba Brigjen Ibrahim Saleh, anggota Fraksi ABRI, menginterupsi. Benny, Try, dan Ketua Fraksi ABRI Letjen Harsudiyono Hartas segera menyetopnya. ?Sebagai anggota Fraksi ABRI, saya tidak bisa memerintahkannya untuk berbuat begini atau begitu,? kata Benny dalam memoarnya. Menurut Kivlan, selanjutnya adalah cerita tentang isu suksesi yang menyebar bagai virus yang disebar oleh sekelompok perwira senior. Menanggapi isu ini, pada pertengahan 1989, di atas pesawat kepresidenan dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia, dengan marah Soeharto berkata, ?Biar jenderal atau menteri yang bertindak inkonstitusional, akan saya gebuk!? Kata Kivlan, pernyataan Soeharto ini merupakan akibat dari sebuah dokumen?hasil pertemuan sejumlah jenderal, dimotori Benny Moerdani, yang menghendaki penggantian Soeharto?yang ditemukan oleh Kivlan. Salah satu cara penggantian Soeharto itu adalah dengan melalui Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di MPR. Seorang perwira kawan dekat Kivlan lalu diutus untuk menyampaikan dokumen itu kepada keluarga Presiden. Kivlan sendiri lalu mendekati pimpinan PPP melalui Husni Thamrin, seorang fungsionaris partai itu. Ketika dikonfirmasi TEMPO, Husni mengaku tidak tahu-menahu mengenai soal dokumen itu. Benny Moerdani kini terserang stroke, sehingga sulit dimintai komentar. Adapun Prabowo beberapa pekan terakhir tak berada di Jakarta. ?Dia di luar negeri,? kata Fadli Zon, karib dekat Prabowo, tanpa menyebut di negara mana Prabowo berada. Isu rencana kudeta oleh Benny yang disebut Kivlan itu dibantah beberapa bekas purnawirawan ABRI. Dua mantan Kepala Staf Sosial Politik, Letjen (Purn.) Bambang Triantoro dan Letjen (Purn.) Haryoto P.S., misalnya, menegaskan bahwa bekas atasannya itu tidak berambisi menjadi Presiden. ?Pak Benny itu setia kepada Pak Harto, tak mungkin punya niat jahat seperti itu,? ujar Bambang. Bambang menduga, kemarahan Soeharto terutama karena Benny pernah mengingatkan tentang sepak terjang anak-anak Cendana dalam berbisnis. ?Iku dudu urusanmu (itu bukan urusanmu),? ujar Bambang mengutip ucapan Soeharto saat itu. Tapi soal rencana kudeta, ia menolak mentah-mentah. ?Golkar di ketiak kanan, ABRI di ketiak kiri, mana ada yang berani menggugat Soeharto,? ujarnya. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal (Purn.) Rudini pun terheran-heran. ?Kalau Benny mau kudeta, itu pakai pasukan siapa?? ujarnya. Sebab saat itu, sebagai KSAD, Rudinilah pengendali pasukan terbesar. Ia mengakui Benny menguasai Kopassus. Tapi angkanya tak seimbang dengan 25.000 pasukan Kostrad di bawah kendali Rudini. Kivlan memang ?orang dalam?, namun tidak semua kejadian melibatkannya secara langsung. Ia mengaku mengenal anatomi konflik AD selain karena melakukan riset untuk tesis S2-nya di Universitas Indonesia, juga karena ia bergaul dengan para perwira yang terlibat. Pertemanannya sejak masuk Akabri banyak membantunya. Ia, misalnya, adalah ?kakak asuh? Prabowo. Saat itu Kivlan adalah Wakil Komandan Divisi Korps Taruna dan Ketua Dewan Musyawarah Korps Taruna. Karena Kivlan disegani, maka Prabowo, anak Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo itu, tak menjadi sasaran pelonco kakak-kakak kelasnya. Anak menteri dan pejabat tinggi biasanya digojlok habis. Kivlan juga rajin menggalang kawan-kawan sesama tarunanya untuk aktif mengaji. Maklumlah, sebelum menjadi taruna ia aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Medan. Semula, para taruna muslim menyelenggarakan pengajian di masjid Akabri seusai salat Jumat. Kakak angkatanlah yang menjadi pembina keagamaan juniornya. Fachrul Razi dan Adityawarman Thaha (angkatan 1970), misalnya, membina Kivlan dan kawan-kawan dari angkatan 1971. ?Mungkin karena saya dari Aceh, dianggap mengerti agama,? ujar Fachrul, mantan Wakil Panglima TNI. Mereka juga membuat buletin dakwah stensilan At-Taqwa yang disebarkan untuk para taruna. Namun saat itu kemesraan Orde Baru dan kalangan Islam mulai redup. Pengajian-pengajian taruna itu dilarang, dan peredaran buletin At-Taqwa disetop. Karena kegiatan di masjid Kesatrian dibatasi, setiap Ahad mereka lalu mengaji di masjid Kauman, Magelang. Materi terutama soal ibadah. Di sana mereka dibimbing K.H. Cholil Badawi, mantan aktivis PII dan Masyumi. ?Inilah cikal bakal kami, Pokdojid (Kelompok Komando Masjid),? kata Kivlan. Menurut Kiai Cholil, ia tak menjadikan pengajian para taruna itu sebagai pembinaan terstruktur. ?Saya waktu itu hanya mengingatkan para taruna agar mereka menjadi tentara yang benar dan tidak meninggalkan salat,? kata mantan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung itu. Menurut Kivlan, beberapa taruna yang aktif dalam pengajian itu adalah Fachrul Razi (kini anggota tim sukses Wiranto), Muchdi P.R. (bekas Komandan Kopassus), dan Subagyo H.S. (mantan KSAD). Kata Kivlan, Susilo Bambang Yudhoyono pun sempat diajak mengaji beberapa kali, tapi tidak terlalu intensif. ?Kalau Prabowo malah belajar salat sama saya,? tambah Kivlan. Setamat akademi, para anggota Pokdojid lama tak bertemu. Kivlan baru bertemu Prabowo lagi pada 1985, saat mengikuti kursus komandan batalion di Bandung. Namun, menurut Kivlan, gerak kelompok ini makin aktif saja dari hari ke hari. Prabowo, misalnya, pernah aktif melobi untuk mengegolkan Feisal Tanjung menjadi Panglima ABRI. Sejarah memang mencatat Feisal diangkat menjadi Kepala Staf Umum ABRI dan kemudian Panglima ABRI pada 21 Mei 1993. Pola yang sama dilakukan untuk mendukung Hartono. Semula, dalam masa dua bulan menjabat Panglima ABRI, Jenderal Edi Sudradjat menggelar mutasi besar-besaran. Hartono menjadi Komandan Sekolah Komando ABRI. Tapi, setelah Tanjung menjadi Pangab?menurut Kivlan atas sarannya?Hartono diangkat menjadi Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, lalu Kepala Staf Sosial Politik dan akhirnya KSAD pada 1995. Saat itulah untuk pertama kalinya dua pimpinan puncak ABRI di tangan perwira tinggi yang dekat dengan kalangan Islam. Bersamaan dengan naiknya duet jenderal itu, atas prakarsa Prabowo, dibentuklah CPDS (Center for Policy and Development Studies). ?Lembaga ini dimaksudkan untuk menjadi alternatif CSIS,? kata Kivlan. CSIS adalah lembaga studi yang dikenal dekat dengan Benny Moerdani. Prabowo meraih tambahan satu bintang saat diangkat menjadi Komandan Kopassus. Kawan-kawannya mendapatkan promosi dan mobilisasi vertikal. Pendeknya, gerbong Prabowo bergerak naik. Namun, isu perkubuan di ABRI mulai marak. ?Saat itulah muncul istilah ABRI hijau dan ABRI merah-putih,? kata Fadli Zon, sobat karib Prabowo. Akhirnya, muncullah Wiranto sebagai kekuatan baru yang menggantikan Hartono sebagai KSAD, dan kemudian menjadi Panglima ABRI menggantikan Tanjung. Persaingan terbuka pun terjadi antara menantu dan bekas ajudan Soeharto ini. Padahal semula keduanya mempunyai hubungan cukup dekat. Persaingan memuncak di akhir kekuasaan Orde Baru pada Mei 1998. Wiranto unggul ketika Prabowo dicopot dari jabatan Panglima Kostrad dan kemudian dipensiunkan secara dini akibat kasus penculikan aktivis. Kawan-kawan Prabowo pun rontok satu per satu. Komandan Jenderal Kopassus Mayjen Muchdi P.R. diganti meski baru menjabat 55 hari. Kivlan dicopot dari posisi Kepala Staf Kostrad, Sjafrie dimutasikan dari Pangdam Jaya ke Staf Ahli Panglima ABRI. Ada pasang naik, ada pasang surut. Hanibal W.Y. Wijayanta dan Widiarsi Agustina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus