Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burhanuddin Muhtadi*
Tak ada perkawinan dalam beberapa tahun terakhir yang memantik spekulasi politik sebesar pernikahan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan Siti Ruby Aliya Rajasa. Sejak pertunangan keduanya diumumkan, gosip politik berembus kencang berkaitan dengan "koalisi cinta" dua partai biru: Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional, yang diduga berujung pada koalisi pencalonan presiden pada 2014. Spekulasi itu tak bisa sepenuhnya disalahkan karena perkawinan Ibas dan Aliya tak hanya melibatkan kedua insan, tapi juga posisi kedua orang tua mereka.
Dalam bahasa Inggris, perkawinan yang dilakukan untuk mencapai tujuan strategis tertentu di luar alasan cinta disebut marriage of convenience atau marriage of state. Dalam mitologi Yunani, Helen dari Troy yang "dipaksa" ayahnya, Raja Sparta Tyndareus, agar menikah dengan Menelaus (saudara Raja Agamemnon) adalah contoh "pernikahan politik". Dalam sejarah Nusantara, rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan putri Raja Galuh, Dyah Pitaloka, adalah contoh lain "perkawinan politik", meski akhirnya gagal karena Perang Bubat.
Apakah pernikahan Ibas dan Aliya sebentuk marriage convenience atau bertujuan politis? Saya tak bisa mengadili motif seseorang menikah, apalagi untuk urusan yang masuk kategori privat. Tapi, betapapun elite-elite Demokrat dan PAN membantah perkawinan Ibas dan Aliya berbau politik, tetap saja pernikahan itu memiliki dampak politik dalam dua tingkat. Pertama, implikasi politik terhadap relasi Demokrat dan PAN. Kedua, dampak elektoral terhadap popularitas Hatta Rajasa sebagai salah satu calon presiden atau calon wakil presiden pada 2014.
Relasi Dua Partai
Tak ada yang membantah, hubungan Demokrat dan PAN akan semakin mesra setelah perkawinan Ibas dan Aliya. Relasi harmonis kedua partai telah lama terjalin, bahkan makin intim sejak Hatta ditunjuk sebagai koordinator pemenangan pasangan Yudhoyono dan Boediono dalam pemilihan presiden 2009. PAN juga berkali-kali menunjukkan loyalitas politiknya menghadapi isu-isu kontroversial di Dewan Perwakilan Rakyat, terutama dalam Pansus Century dan angket mafia pajak.
Bukan berarti PAN akan makin tereduksi oleh Demokrat setelah perkawinan itu. Dalam beberapa kasus, PAN dan Demokrat berbeda secara diametral, khususnya isu-isu yang menyangkut "hidup-mati" partai. Demokrat mendukung usul pemerintah menaikkan ambang batas parlemen hingga 4 persen, sedangkan PAN berkukuh menolak, bahkan mengancam keluar dari Sekretariat Gabungan koalisi. Demokrat juga mendukung proposal pengurangan alokasi kursi per daerah pemilihan. Ini jelas ditentang PAN dan partai menengah lainnya karena dianggap menguntungkan partai besar.
Perbedaan PAN dan Demokrat nyaris tak terlihat dalam isu-isu sensitif yang menyedot perhatian publik secara luas. Bersama Partai Kebangkitan Bangsa dan Demokrat, PAN menampilkan diri sebagai benteng pertahanan rezim Yudhoyono. Secara elektoral, citra sebagai partai koalisi yang loyal tak selalu menguntungkan PAN.
Survei Lembaga Survei Indonesia pada Mei 2011 menunjukkan suara PAN cenderung menurun (2,4 persen). Suara partai koalisi lain juga stagnan atau menurun. Bahkan Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera, yang sering bersikap "kritis", juga tak mendapat insentif elektoral. Partai-partai koalisi di-frame Demokrat. Jika persepsi publik terhadap kinerja pemerintah membaik, insentif elektoralnya dimonopoli Demokrat.
Sebaliknya, jika sentimen publik terhadap pemerintah memburuk, Partai Demokrasi Indonesia Perjuanganlah yang menangguk keuntungan. Partai oposisi yang lain gigit jari. Inilah pola yang secara konsisten ditemukan LSI sejak 2004, sehingga tak berlebihan jika kita sebut "hukum elektoral LSI". Seandainya ada elite PAN yang mengusulkan keluar dari koalisi, belum tentu PAN mendapat insentif elektoral karena market leader dan branding oposisi sudah dikaveling PDIP.
Hasil pemilihan anggota badan legislatif 2009 menunjukkan ada perubahan demografi pendukung PAN. Ada peningkatan jumlah suara PAN di Sulawesi dan wilayah timur Indonesia, tapi tak terlalu signifikan. Di provinsi-provinsi di Jawa, suara PAN terus menurun sejak Pemilu 1999 hingga 2009. PAN lebih banyak mendulang suara pemilih muslim. Platform PAN sebagai partai terbuka dan pluralis belum mendapat tempat di hati kaum nonmuslim.
Dominasi PAN di kalangan warga Muhammadiyah mulai berkurang, terlihat dari penurunan jumlah suara PAN di basis-basis Muhammadiyah, seperti di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau. PAN gagal mendulang suara dari pemilih Nahdlatul Ulama, yang merupakan ceruk pemilih muslim terbesar. Di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Depok, yang dihuni banyak kelas menengah terdidik, suara partai itu juga cenderung menurun. Ini akibat merosotnya citra intelektual PAN.
Survei LSI juga menemukan, PAN belum juga mampu merebut hati pemilih di Jawa. Padahal, secara statistik, 60 persen pemilih Indonesia tinggal di pulau ini. Survei menunjukkan sentimen pemilih Jawa paling negatif terhadap pemerintah dibanding di wilayah lain. Bak makan buah simalakama, jika PAN kurang kritis terhadap pemerintah, peluang PAN merebut simpati pemilih di Jawa makin berkurang. Tapi, jika kritis sekalipun, PAN tak mendapatkan keuntungan elektoral karena publik telanjur memberi kredit kepada PDIP, yang dinilai konsisten sebagai oposisi.
Prospek Hatta Rajasa
Tren penurunan tingkat elektoral PAN ini layak dicerÂmati. Jika tidak berubah, presidential threshold berdasarÂkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, pasangan calon presiden-wakil presiden diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik yang memperoleh minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari jumlah suara sah nasional. Jika PAN tidak kompetitif pada 2014, tentu kans Hatta Rajasa maju sebagai calon presiden mengecil. Kalaupun berkoalisi dengan partai lain, posisi tawar PAN akan ditentukan perolehan suara partai yang lebih besar.
Di sinilah sumber spekulasi politik perkawinan Ibas dan Aliya menemukan justifikasinya. "Koalisi cinta" Ibas dan Aliya dinilai banyak pihak akan membuka peluang koalisi politik Demokrat dan PAN untuk mencalonkan Hatta pada 2014, entah sebagai calon presiden, entah calon wakil presiden. Apalagi Demokrat belum memiliki calon presiden definitif untuk 2014.
Sebagai besan Yudhoyono, Hatta menjadi salah satu nomine calon presiden yang akan ditimbang Demokrat, tentu dengan pelbagai syarat. Popularitas Hatta menjadi syarat mutlak. Tapi berbekal popularitas saja tidak memadai karena harus diikuti integritas, kapasitas, dan tingkat kesukaan publik yang tinggi terhadap Hatta agar tingkat elektabilitasnya meningkat.
Sejauh ini tingkat kepopuleran Hatta baru mencapai 48 persen. Beragam survei mutakhir yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia, Jaringan Suara Indonesia, dan lain-lain menunjukkan elektabilitas Hatta sebagai calon presiden jika pemilu diadakan hari ini baru pada kisaran 1 hingga 2 persen.
Sebagian besar pemilih belum menentukan pilihan. Jika nama Yudhoyono masuk simulasi, Yudhoyono masih yang teratas. Pendukung Yudhoyono masih bingung menentukan pilihan jika nama Yudhoyono di-take-out dari simulasi calon presiden. Tak salah jika elite PAN berharap pendukung Yudhoyono mulai melirik sosok Hatta setelah ikatan perkawinan Ibas dan Aliya.
Namun pemilihan secara langsung memiliki logika sendiri. Belum tentu calon yang didukung Yudhoyono akan serta-merta diikuti oleh fan Yudhoyono, apalagi magnet elektoral Yudhoyono belakangan mulai menurun seiring dengan approval rate Yudhoyono yang—menurut LSI—terkoreksi dari 85 persen pada Oktober 2009 ke 57 persen pada Juli 2011.
Perilaku pemilih kita adalah sebuah misteri tersendiri. Salah satu penjelasan dalam perilaku pemilih adalah model sosiologis. Asumsi dasar teori ini adalah "siapa kita ekuivalen dengan pilihan kita". Karena itu, karakteristik sosiologis, seperti usia, etnis, agama, gender, pendapatan, dan pendidikan, menjadi prediktor yang berguna untuk menjelaskan perilaku pemilih (Lazarsfeld dkk, 1954). Jika merujuk pada model ini, latar belakang etnis Hatta, juga Aburizal Bakrie, tak terlalu menguntungkan secara elektoral karena bukan bagian dari dua etnis terbesar di Indonesia, yakni Jawa (41,6 persen) dan Sunda (15,4 persen). Meski model sosiologis tak mendukung peningkatan rasionalitas pemilih, secara realitas sui generis teori ini masih hidup di sebagian pemilih kita.
Pada ujungnya nanti, jadi atau tidaknya Hatta maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden melalui Partai Demokrat ditentukan dua hal. Pertama, perolehan suara PAN di pemilu legislatif 2014 dan elektabilitas Hatta yang sangat menentukan bargaining position di hadapan Demokrat. Kedua, konstelasi internal di Partai Demokrat juga menentukan karena Demokrat tentu berharap sosok yang akan mereka usung sebagai calon presiden berasal dari kader mereka sendiri.
*) Pengajar FISIP UIN, Jakarta, dan Peneliti Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo