Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Petrus di Simpang Mile 51

Penembak misterius terus beraksi di area pertambangan Freeport Indonesia. Dilakukan orang terlatih.

28 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat kendaraan beriringan lambat selepas tikungan Mile 51 menuju lokasi pertambangan emas Freeport, Timika, Papua, Jumat dua pekan lalu. Paling depan, mobil patroli yang dikendarai Ferry William Sanyakit mengangkut tiga anggota Brigade Mobil Kepolisian. Di belakangnya, truk menggendong pipa besi, lalu ekskavator, dan terakhir bus berpenumpang pekerja Freeport.

Iring-iringan ini hendak memperbaiki kebocoran pipa di Mile 54. Tiba-tiba tembakan meledak dari tengah belantara. Iring-iringan berhenti seketika. Wajah Ferry berlumuran darah. Sebuah peluru menembus kaca depan mobil bernomor RP-17 itu dan melesak di kepala sang pengemudi. "Serpihan peluru banyak dan kecil-kecil," kata Putu Ayu Indrasari, dokter yang mengotopsi Ferry, kepada Tempo.

Tiga polisi di mobil Ferry juga terluka terkena serpihan peluru. Lengan Brigadir Kepala Jafar, yang duduk di depan, terluka. Brigadir Rumere terluka di mulut kanan dan Brigadir Satu Eli di hidung—keduanya duduk di belakang. Tapi ketiganya menghambur keluar dari mobil. Mereka menembak tanpa sasaran sekitar setengah jam.

Ferry sekarat tergeletak di belakang setir. Mobil ambulans yang datang dari Tembagapura terhadang di Mile 68, tak bisa masuk lokasi penembakan. "Mereka dicegat sekelompok orang bersenjata di sekitar Mile 52," kata Wakil Kepala Kepolisian Resor Mimika Komisaris Mada Indra Laksanta. Ferry baru bisa dievakuasi setelah bala bantuan datang dengan dua panser Detasemen Kavaleri. Ia diterbangkan dengan helikopter menuju klinik di Kuala Kencana. Sore harinya, Ferry mengembuskan napas terakhir.

Menurut seorang saksi mata, Ferry bukan tanpa pengaman. Lajang 52 tahun yang hampir separuh hidupnya bekerja di tambang emas itu mengenakan rompi antipeluru. Dia meletakkan satu rompi lainnya di pintu kanan bagian dalam mobil. Mungkin ia berhitung, penembakan-penembakan sebelumnya yang menewaskan penumpang mobil dilakukan dari samping menembus daun pintu.

Lokasi penembakan merupakan titik favorit pelaku. Tiga penembakan terakhir sepanjang bulan ini terjadi di area sama—sesuatu yang aneh. Sebab, lokasi itu tepat berada di antara pos keamanan gabungan polisi dan Tentara Nasional Indonesia di Mile 50 dan Mile 55.

Di wilayah Mile 51 itu, jalan dikelilingi hutan datar. Berbeda dengan jalan selepas Mile 53 hingga Mile 54, yang mulai mendaki dan bersebelahan dengan jurang sedalam 300 meter. Selepas Mile 57, jurang semakin dalam dan jalan semakin terjal.

Tewasnya Ferry menambah panjang kasus pembunuhan misterius di area Freeport. Dalam dua bulan terakhir, setidaknya terjadi delapan kali penembakan dengan tujuh korban meninggal. Kepolisian belum bisa memastikan pelaku penembakan di area pertambangan emas terbesar itu. "Bisa jadi orang yang sama," kata juru bicara Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Wachyono. Polisi menyatakan masih mengejar pelaku.

Sumber Tempo di Timika mengungkapkan pelaku penembakan-penembakan itu kelompok yang sama. Penembak Ferry adalah penembak jitu yang memang mengincar kepala. Buktinya, cuma satu peluru yang keluar dari senapan penembak gelap.

"Kalau mau incar anggota Brimob, itu bisa saja," kata orang dalam Freeport ini. "Tapi, kalau polisi yang mati, urusannya jadi panjang." Dia menduga pelaku adalah profesional, bukan gerilyawan primitif Papua Merdeka seperti yang sering dituduhkan aparat.

Lambert Pekikir, panglima Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, mengatakan pelaku penembakan bukan anggotanya. Menurut dia, semenjak kematian Kelly Kwalik pada November 2009, tidak ada lagi anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua bergerilya di kawasan pegunungan Timika.

"Jangan cari pelaku. Tapi kenapa itu terjadi," kata Lambert kepada Tempo. Ia menyayangkan langkah aparat yang kerap buru-buru menuduh Organisasi Papua Merdeka di balik penembakan di Timika.

Ketika terjadi penembakan tiga karyawan PT Puri Fajar Mandiri, kontraktor rekanan Freeport, pada 14 Oktober, Markas Besar Polri segera menyatakan pelaku penembakan berasal dari Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka. "Padahal kami sekarang dalam posisi menahan diri dan tidak menyerang," kata Lambert.

Sejumlah keanehan juga terungkap dalam kasus-kasus penembakan sebelumnya. Kepala keamanan Freeport dan wakilnya, Daniel Mansawan dan Hary Siregar, ditemukan tewas dibakar pada 7 April lalu. Mereka disiksa. Giginya dicabuti dan keduanya ditemukan terikat. Hasil forensik menunjukkan mereka dibakar hidup-hidup. Polisi mengirim tim penyelidik dari Jakarta, tapi hingga kini belum ada hasilnya.

Keluarga korban hingga kini belum menerima penjelasan hasil penyelidikan polisi. "Kami menuntut polisi mengungkap siapa pelaku pembunuhan sadistis itu," kata Linda Gurning, istri Hary.

Ibu satu anak ini menilai polisi tidak berniat mengungkap pelaku pembunuhan-pembunuhan di kawasan Freeport. "Makanya sekarang makin rajin menembak karena dibiarkan," katanya.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal Papua, Yorrys Raweyai, mempertanyakan kenapa pelaku tidak bisa diungkap hingga hari ini. Padahal, dari bukti-bukti dan hasil penyelidikan, sejumlah petunjuk ditemukan. Misalnya, peluru penembakan yang semuanya produksi Pindad, lokasi penembakan antara Mile 38 dan Mile 51, juga bekas sisa makanan pelaku yang berlabel Freeport. "Dulu hampir bisa diungkap, kok tidak ada kelanjutannya," ujar politikus Partai Golkar ini. "Ada yang gelap di sana."

Direktur Eksekutif Research Institute for Democracy and Peace Amiruddin al-Rahab mengatakan kepolisian harus membuktikan dugaan pelaku dari kelompok separatis bersenjata. "Selama tak ada pelaku yang ditangkap, semuanya hanya menjadi spekulasi tak berujung," kata Amiruddin, yang pernah meneliti masyarakat Amungme, Freeport, dan peran militer.

Amiruddin mengatakan sejarah membuktikan hubungan mesra antara Freeport dan perwira militer sejak zaman Soeharto. Pada 1990-an, pembunuhan serta penyiksaan terhadap suku asli Amungme dan Kamoro di Timika dilakukan aparat militer. Pendekatan keamanan dikedepankan untuk menjaga kepentingan bisnis. "Sekarang ini Freeport salah kalkulasi. Mereka tidak bisa lagi menggunakan aparat untuk menekan," ujar dia.

Juru bicara Freeport, Ramdani Sirait, menyatakan menyerahkan sepenuhnya masalah ini kepada otoritas berwenang. Soal wadah sisa makanan yang ditinggalkan pelaku, "Juga kami serahkan kepada pemerintah sebagai bahan investigasi."

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim mendesak kepolisian mengungkap penembakan-penembakan yang terjadi di Freeport. Penegakan hukum terhadap pelaku perlu dilakukan guna memberi rasa adil bagi para keluarga korban dan rakyat Papua keseluruhan. "Jangan hanya bisa menangkap warga Papua yang menggelar kongres."

Tito Sianipar dan Tjahjono E.P. (Timika)


Barak di Bukit Grasberg

DERETAN pasukan yang mengamankan kawasan pertambangan emas milik PT Freeport Indonesia membuat kawasan Grasberg di Timika, Papua Barat, seperti daerah operasi militer. Tiga angkatan Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian menempatkan pasukan di sana.

Pengamanan internal

  • Komandan Satuan Tugas Amole Ajun Komisaris Besar Alexander Louw membawahkan total 735 personel, terdiri atas 575 dari kepolisian dan 160 dari Tentara Nasional Indonesia.
  • Petugas keamanan Freeport: 770 dari satuan pengamanan internal.

    18 pos keamanan dan 36 route patrol unit yang lebih kecil dari pos keamanan.

    Masing-masing unit patroli berkekuatan 10-15 anggota Satgas Amole yang didukung beberapa satuan pengamanan Freeport.

    Pasukan Lainnya di Sekeliling Freeport:

  • Brigade Mobil Detasemen B Mimika, 800 personel, bermarkas di Mile 32 bersebelahan dengan Polres.
  • TNI Angkatan Laut, 600 personel, tugas utama mengamankan Port Site, pelabuhan Freeport hingga Mile 21.
  • Kepolisian Resor Mimika, 800 personel (termasuk yang disebar ke kepolisian sektor dan pos polisi)

    TNI Angkatan Udara 500 personel, mengamankan Bandara Mozes Kilangin, Timika, yang berada di Mile 26.

    TNI Angkatan Darat, terdiri atas tiga pasukan, yaitu:

  • Komando Distrik Militer 700 personel (Mile 32)
  • Detasemen Kavaleri 300 personel (Mile 32)
  • Brigade Infanteri 20/Ima Jayakeramo 3.000 personel membawahkan tiga batalion infanteri, yakni 754 Timika (1.000 personel), 755 Merauke, 756 Wamena.

    Insiden berdarah

    Dengan pasukan sebesar itu, penembakan masih marak. Sejak 2009 setidaknya 29 kali penembakan dengan 46 korban luka dan 15 meninggal, yakni:

    1. Drew Nicolas Grant
    2. Markus Rante Allo
    3. Brigadir Dua Marson Fredy Pattipeilohy
    4. Brigadir Kepala Ismail Todohu
    5. Daniel Mansawan
    6. Hary Siregar
    7. Petrus Ayamiseba
    8. Leo Wandegau
    9. Yana Heryana
    10. Iip Abdul Rohman
    11. Deden
    12. Aloysius Margana
    13. Etok Laitawono
    14. Yunus
    15. Ferry William Sanyakit

    Naskah: Tito Sianipar (Jakarta), Tjahjono E.P. (Timika)
    Sumber: Satgas Amole, PT Freeport Indonesia, wawancara, riset

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus