Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA Ani di Kementerian Keuangan menjadi pembicaraan lima orang yang meriung di Senayan Cafe, Hotel Atlet Century Park, pada awal Juni 2010: "Ani Besar" dan "Ani Kecil". Ani Besar untuk menyebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang waktu itu baru saja digantikan Agus Martowardojo. Adapun Ani Kecil julukan untuk Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati, yang masih merangkap menjadi Direktur Jenderal Anggaran.
Kelima orang itu-Widodo Wisnu Sayoko, Arif "Gundul", Lisa Lukitawati Isa, Muhammad Arifin, dan Ida Bagus-membahas rencana pengajuan kontrak tahun jamak proyek Pusat Pendidikandan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional di BukitHambalang, Bogor, ke Kementerian Keuangan. Mereka bukan pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga, tapi bergaul sangat akrab dengan para petinggi kementerian pemilik proyek itu.
Desain dan perhitungan biaya sudah rampung disusun Kementerian Pemuda dan Olahraga. Yang diperlukan tinggal persetujuan kontrak tahun jamak dari Kementerian Keuangan-syarat dimulainya pembangunan Hambalang. Kontrak tahun jamak mengikat anggaran untuk proyek yang pelaksanaannya lebih dari satu tahun. Hambalang semula direncanakan dimulai pada akhir 2010 dan selesai akhir 2012.
Persoalannya, belum tentu Kementerian Keuangan segera menyetujui permohonan yang diajukan. Untuk mempercepat prosesnya, Kementerian Olahraga menggunakan jalur belakang. "Itu gampang. Nanti bisa lewat Ani Kecil," kata Arif "Gundul" seperti ditirukan sumber Tempo. Arif datang ke Senayan Cafe bersama Widodo. Keduanya optimistis persetujuan kontrak bisa lekas turun karena ada seseorang di atas mereka: Sylvia Sholehah alias Ibu Pur.
Perempuan paruh baya itu disebut sebagai orang dekat Ibu Negara, Ani Yudhoyono. Bermodal kedekatan itu, Arif dan Widodo yakin Sylvia bisa mempengaruhi Anny Ratnawati. Tak ada makan siang gratis. Berjanji membantu pengurusan kontrak di Kementerian Keuangan, Arif dan Widodo meminta imbalan Rp 5 miliar.
Widodo adalah kerabat Sylvia. Ia bersahabat dengan Arif. Keduanya datang ke Senayan Cafe sebagai tamu, sebagaimana Muhammad Arifin, Direktur PT Methapora Solusi Global, perusahaan konsultan perencana konstruksi, dan Ida Bagus, anggota staf pemasaran PT Adhi Karya.
Sahibulhajatnya Lisa Lukitawati, pengusaha peralatan olahraga yang ditunjuk Sekretaris Kementerian Olahraga Wafid Muharam sebagai anggota tim perencana proyek Hambalang. Lisa mengundang tetamu atas instruksi Wafid. Ditemui pada Kamis pekan lalu, Lisa hanya menggelengkan kepala ketika dimintai konfirmasi. Ditanya apakah kenal dengan Sylvia, Widodo, dan Arif, ia menjawab, "Tanyakan ke Pak Wafid, deh."
Setelah urusan tadi beres, Wafid Muharam mengajukan kontrak tahun jamak ke Kementerian Keuangan pada 28 Juni 2010. Dalam suratnya, Wafid menulis konstruksi Hambalang membutuhkan biaya Rp 1,175 triliun. Ditambah anggaran peralatan yang kelak mengisi bangunan, bujet totalnya Rp 2,57 triliun.
Sampai di kantor Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng, surat Wafid Muharam tertanggal 28 Juni 2010 dibalas Direktur Jenderal Anggaran Anny Ratnawati pada 13 Juli. Anny meminta Kementerian Olahraga melengkapi persyaratan, antara lain rekomendasi kelayakan kontrak tahun jamak dari Kementerian Pekerjaan Umum.
Setelah sekian kali berkirim surat, pada 16 November 2010, Wafid meminta dispensasi batas waktu revisi pengajuan rencana kerja anggaran kementerian/lembaga 2011 yang di dalamnya termaktub anggaran Hambalang. Semestinya revisi diajukan sebelum 15 Oktober. Dalam surat itu juga Wafid menjelaskan soal rekomendasi Kementerian Pekerjaan Umum tapi tak melampirkan dokumen, salah satunya, analisis komponen biaya proyek Hambalang.
Pada 22 November, Wafid meminta analisis komponen biaya Hambalang dari Kementerian Pekerjaan Umum. Menurut sumber, di sinilah jasa Sylvia alias Ibu Pur mulai ampuh. Pengurusan kontrak tahun jamak ke Kementerian Keuangan dan Kementerian Pekerjaan Umum memang satu paket. Berbeda dengan pengurusan surat sebelumnya yang menelan waktu lama, kali ini dokumen yang diminta Wafid langsung beres keesokan harinya.
Di Lapangan Banteng, proses persetujuan anggaran yang tadinya lambat juga mendadak dikebut. Belum begitu jelas bagaimana Sylvia, Widodo, dan Arif mencampuri proses di Kementerian Keuangan. Tapi, begitu surat permohonan dispensasi revisi pengajuan rencana anggaran dari Wafid sampai ke mejanya pada 22 November, Anny langsung mendisposisikan itu secara berjenjang ke direktur hingga kepala subdirektorat.
Empat hari kemudian, kepala subdirektorat menyusun nota dinas hasil penelaahan terhadap dokumen persyaratan yang dilampirkan Wafid. Konsep nota dinas menyebut persyaratan terpenuhi sehingga revisi pengajuan anggaran tahun jamak bisa disetujui. Sampai di tangan Anny Ratnawati pada 29 November, isi nota dinas tak berubah.
Pada hari itu juga, Anny membuat nota dinas bernomor ND-1034/AG/2010 perihal persetujuan kontrak tahun jamak kepada Menteri Keuangan. Menjawab nota dinas itu, Menteri Agus Martowardojo pada 1 Desember memberikan disposisi kepada Anny. "Selesaikan," demikian disposisinya.
Anny kemudian menerbitkan surat bernomor s-3576/AG/2010 tertanggal 6 Desember 2010 yang menyetujui revisi rencana anggaran Kementerian Olahraga, termasuk pembiayaan Hambalang. Mengatasnamakan Menteri Keuangan, Anny juga mengeluarkan surat bernomor s-553/MK.2/2010 tertanggal 6 Desember 2010 perihal persetujuan kontrak tahun jamak Hambalang.
Tempo mengajukan permintaan wawancara khusus kepada Anny, tapi tak direspons. Dicegat di gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu pekan lalu, Anny pun bungkam ketika ditanyai soal Sylvia Sholehah. Soal kontrak tahun jamak, dalam sejumlah kesempatan, Anny mengatakan terbitnya persetujuan sudah sesuai dengan prosedur.
Kamis pekan lalu, Tempo mendatangi kediaman Sylvia Sholehah di kompleks Monte Carlo, Pakuan, Bogor, untuk meminta konfirmasi. Menurut penghuni rumah, Sylvia sedang berada di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Dihubungi lewat telepon seluler suaminya, Purnomo D. Rahardjo, Sylvia tak merespons. Purnomo menolak menghubungkan wartawan majalah ini dengan sang istri. "Sudahlah, Tempo memang nakal," katanya.
Setelah disetujui, Kementerian Olahraga dan pemenang tender Hambalang, kongsi PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya, meneken kontrak proyek pada 10 Desember 2010. Delapan belas hari kemudian, kerja sama operasi Adhi-Wika mendapat pembayaran uang muka Rp 217 miliar. Dari situ, dana merembes ke mana-mana….
SETELAH kontrak diteken, kelompok Sylvia diduga hanya menerima separuh yang diminta di awal. Duit Rp 2,5 miliar dari Kementerian Olahraga itu diambil Widodo Wisnu Sayoko, keponakan Sylvia, di rumah Lisa Lukitawati pada awal 2011. Tapi, ketika diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan untuk audit investigasi Hambalang tahap II, Lisa mengatakan yang mengambil uang itu Arif "Gundul".
Tentu saja, lelaki 30-an tahun itu tak bisa ditanya-tanya lagi. Ia meninggal pada akhir 2012 dan dimakamkan di Yogyakarta. Informasi tentang dia sangat minim. Sejumlah sumber hanya mengatakan ia berperawakan tinggi besar, berkepala plontos, dan anggota Partai Demokrat. Widodo sendiri tak mau menjawab ketika ditanyai wartawan setelah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir Mei lalu.
Uang untuk Sylvia cs bersumber dari dana Hambalang. Alurnya: KSO Adhi-Wika yang diketuai Teuku Bagus Muhammad Noor menyalurkan fee proyek kepada Machfud Suroso, Direktur PT Dutasari Citra Laras, subkontraktor Hambalang. Dari situ, uang mengalir ke Lisa Lukitawati. Menurut sejumlah sumber, Lisa berperan sebagai penjaga pintu air. Ia menyalurkan jatah Hambalang untuk Kementerian Olahraga dan banyak pihak lain, seperti Sylvia.
Lisa betul-betul aktif di Hambalang. Sejak awal, ia diduga pula ikut menentukan fee. Pada Juli 2010, pertemuan digelar di sebuah restoran di pusat belanja Plaza Senayan, Jakarta. Peserta lainnya adalah Kepala Biro Perencanaan Kementerian Olahraga Deddy Kusdinar, yang belakangan menjadi pejabat pembuat komitmen Hambalang, Muhammad Arifin dari Methapora, dan Teuku Bagus dari Adhi Karya.
Sebelum pertemuan di Plaza Senayan, menurut sejumlah informasi, orang-orang Kementerian meminta 16,5 persen dari nilai proyek, yang besarnya Rp 1,175 triliun. Untuk merundingkan angka final, digelarlah rapat di Plaza Senayan.
Menurut sumber, dalam rapat itu Lisa mengeluarkan catatan rencana jatah untuk pejabat Kementerian. Para calon penerima diberi kode dari F I hingga F VI. F I kode untuk Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng, sedangkan F II Wafid Muharam. Pada F I tertulis Rp 10,5 miliar dan F II Rp 7,8 miliar. Dalam catatan itu, total jatah untuk pejabat Kementerian Rp 32 miliar.
Teuku Bagus awalnya mencoba menawar. Tapi, setelah Lisa mengeluarkan catatan tadi, fee bukannya turun, jumlah yang diminta Kementerian Olahraga malah melonjak jadi 18 persen. Pembayaran fee bakal mengikuti pencairan anggaran dari Kementerian. Sebagai kontrak tahun jamak, dana Hambalang turun bertahap. Tiap kali dana cair, 18 persennya disetorkan kembali ke Kementerian Olahraga. Tak ada pilihan, Adhi Karya menyetujui.
Setelah KSO Adhi-Wika jadi pemenang tender dan mendapat uang muka proyek, Lisa mendatangi Teuku Bagus di kantornya menagih besel yang dijanjikan. Kejadiannya awal 2011. Teuku Bagus lalu mempersilakan Lisa menagihnya ke Machfud Suroso, Direktur Dutasari.
Menurut sumber, tak lama setelah itu, Machfud mengantarkan uang ke rumah Lisa di perumahan Pondok Indah, Jakarta. Jumlah persisnya belum jelas, tapi ditaksir Rp 5 miliar. Sekali itu Machfud mengantarkan uang ke Lisa. Selebihnya, duit diantarkan anak buah Machfud berulang kali.
Total uang yang diserahkan Teuku Bagus lewat Machfud ke Lisa terekam dalam catatan pengeluaran KSO Adhi-Wika. Menurut sumber, jumlah yang disalurkan lewat Machfud mencapai Rp 44 miliar. Dari KSO, dana dikemas sebagai pembayaran subkontrak pekerjaan mekanikal-elektrikal oleh Dutasari.
Pengeluaran KSO Adhi-Wika untuk besel setelah kontrak diteken ditaksir mencapai Rp 70 miliar. Itu sudah termasuk yang disalurkan lewat Machfud Suroso. Ditambah pengeluaran PT Adhi Karya sebelum kontrak diteken-karena KSO ada setelah 10 Desember 2010-jumlah duit yang dirogoh dari brankas sekitar Rp 80 miliar. Adhi Karya rupanya menebar mahar jauh sebelum proyek dilaksanakan.
Ketika proyek masih dalam tahap perencanaan pada September 2009, Adhi Karya sudah mengeluarkan Rp 5 miliar. Duit itu diduga disetorkan kepada Wafid lewat pengusaha Paul Nelwan dan untuk mengganti pengeluaran Machfud Suroso sebesar Rp 3 miliar. Nama Wafid tercatat lagi dalam pembukuan Adhi Karya. Pada April 2010, dia ditulis menerima Rp 1,1 miliar. Enam bulan kemudian, ia ditulis dua kali menerima Rp 2 miliar lewat Paul Nelwan dan Poniran, asisten Wafid.
Paul Nelwan menyangkal pernah menjadi perantara uang dari Adhi Karya kepada Wafid. Menurut dia, sekali-sekalinya ia menerima uang dari Adhi Karya kira-kira pada Januari 2010. Ia diutus Wafid meminjam uang kepada Adhi Karya untuk keperluan Kementerian Olahraga. "Untuk memberangkatkan atlet ke luar negeri," ujarnya.
Lisa Lukitawati lagi-lagi menggelengkan kepala ketika ditanyai soal peran dia dalam menegosiasikan fee dan menyalurkan uang. "Saya serahkan semuanya pada proses penyidikan yang ada di KPK," katanya.
Wafid Muharam belum bisa ditemui setelah menghuni Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Melalui orang dekatnya, Tempo sudah menyampaikan permintaan wawancara. Tapi, kata dia, Wafid belum bisa ditemui karena sedang sakit. Erman Umar, pengacara Wafid dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang, mengatakan tak pernah diceritai kliennya soal lalu lintas fulus tadi.
Bantahan juga datang dari Machfud Suroso. Menurut Machfud, ia tak pernah menyalurkan uang Hambalang kepada sejumlah orang, termasuk Lisa Lukitawati. Ia pun mengklaim tak pernah diminta Teuku Bagus menjadi perantara duit. "Kalaupun ada yang bilang, itu fitnah. Ayo, saya siap dikonfrontasi," ujarnya Kamis pekan lalu.
Titik terang justru terlihat dari pengakuan Teuku Bagus lewat pengacaranya, Haryo Budi Wibowo. Menurut Haryo, betul ada pengeluaran dari Adhi Karya sebelum 10 Desember 2010 sebesar Rp 8-10 miliar. Adhi mengeluarkan uang karena ada permintaan dari Kementerian Olahraga melalui seorang pengusaha. "Kami berikan kepada swasta, bukan Kemenpora," katanya.
Ia juga tak memungkiri ada pertemuan dengan Lisa Lukitawati dan kawan-kawan yang membahas fee 18 persen. Seusai pertemuan, kata Haryo, Teuku Bagus marah-marah karena merasa diperas. Karena itu, kliennya tak menepati janji untuk membayar fee proyek. "Tak ada pemberian uang setelah kontrak diteken."
Dibantah dari segala penjuru, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad yakin tabir yang merungkup kasus Hambalang segera tersingkap. "Hanya menunggu waktu."
Anton Septian, Nur Alfiyah, Rusman Paraqbueq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo