Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novriantoni Kahar*
Krisis Mesir pascakudeta atas Presiden Muhammad Mursi, 4 Juli 2013, tampaknya kian rumit dan mulai berdarah-darah. Kerumitan ini hanya bisa dipahami jika kita mampu menelusuri pangkal masalahnya. Bagi saya, ini soal transisi yang tidak mudah dari otokrasi menuju demokrasi. Sejak 6.000 tahun silam, Mesir sudah mapan dengan kepemimpinan "raja separuh dewa" (al-malik al-ilah) yang menghadirkan rasa gentar, sakral, dan menuntut kepatuhan. Musim Semi Arab menggoyang kemapanan itu. Sejak 2011, tembok-tembok ketakutan, kesakralan, dan kepatuhan rakyat Mesir telah goyah.
Namun, di kancah politik Timur Tengah, Mesir terlalu penting untuk berubah secara radikal. Menjelang Husni Mubarak tumbang, aspirasi rakyat yang terkuat adalah berakhirnya otokrasi dan tegaknya demokrasi. Husni Mubarak secara salah kaprah telanjur dilabeli, mengutip peneliti Timur Tengah dari Universitas Durham, Khalil al-Anani, "otokrat liberal" dan bukan sosok otoriter yang absolut. Celakanya, mitos "otokrasi liberal" Mubarak itulah yang dianggap paling pas untuk negara sepenting Mesir. Dalam sistem otokrasi itu, politik tetap didominasi penguasa tunggal yang selalu pandai melakukan manipulasi. Doktrin utamanya adalah katakan saja apa yang kau suka, aku (penguasa) akan mengerjakan apa yang aku mau.
Selama tiga dekade, itulah yang ditempuh Mubarak. Ia terus mengkhianati rakyatnya sembari memberi dilema kepada dunia dengan pilihan ganda: terimalah otokrasiku atau demokrasi akan membawa Mesir jatuh ke pangkuan fundamentalisme! Sang otokrat menyembunyikan fakta bahwa dari rahimnyalah fundamentalisme dibuahi dan alternatifnya-seperti gerakan Kifayah yang telah menyemai benih-benih kaum demokrat lintas faksi-berguguran mati. Namun, apa daya, ramalan Mubarak itu sahih dan kini menjadi semacam kutukan. Alternatif dirinya adalah munculnya fundamentalisme Al-Ikhwan al-Muslimun selaku kekuatan politik tergigih selama dia memerintah.
Peran Amerika Serikat sebagai broker politik masa transisi Mesir menjadi relevan di titik ini. Yang saya pahami, kepentingan Amerika di masa peralihan ini cuma dua. Pertama, Mesir tetap menjadi penyeimbang kawasan agar radikalisme menentang Israel tidak menguat. Kedua, Mesir tetap ikut serta dalam perang global melawan terorisme. Di luar dua kepentingan itu, seperti pemenuhan tuntutan para pejuang Tahrir, hampir pasti bersifat sekunder belaka.
Dari dua kepentingan itulah muncul ide reformasi terkendali (orderly reform) yang disuarakan Presiden Amerika Barack Obama tatkala Mubarak sudah tak tertolong lagi. Saat itu, kudeta dianggap sebagai aksi penyelamatan negara. Mandat perubahan dititipkan kepada tentara sebagai partner jangka panjang Amerika. Dan berbekal platform itulah Dewan Tinggi Militer bekerja sama dengan faksi-faksi konservatif Mesir melucuti tuntutan revolusi Tahrir. Kisah pengkhianatan itu berlanjut ke era Mursi, yang diharapkan menyingkirkan otokrasi lewat jalur demokrasi. Abang Sam kini lebih pusing lagi. Lalu muncul ilusi: otokrasi mungkin saja bisa dipertahankan dengan wajah yang lebih agamis.
Setelah menolak hasil demokrasi di Gaza, Amerika justru dihadapkan pada leluhur Hamas di Negeri Kinanah Mesir. Para Ikhwan ini terlalu besar untuk ditolak walau tak terlalu hebat untuk gagal. Pilihan yang logis adalah memberi mereka peluang memerintah sembari menitipkan dua agenda: amannya hubungan Mesir dengan Israel dan penanggulangan terorisme. Bagi kaum muda di Tahrir sana, kedua agenda itu bisa dijalankan Mursi dengan tangkasnya.
Konstelasi global ini penting disebut meski bukan faktor terpenting kejatuhan Mursi. Sejak Mursi memerintah, semua mafhum bahwa warisan otokrasi Mesir jauh lebih parah daripada Tunisia, bahkan Libya. Yang paling mencolok, misalnya, 40 persen penduduk Mesir masih buta huruf. Authoritarian legacy yang parah itulah yang memungkinkan faksi-faksi politik paling konservatif, seperti Ikhwan dan Salafi, naik takhta. Namun kekuasaan tak selamanya berkah, bahkan dapat menjadi kutukan dalam situasi-situasi yang payah. Rasa gentar, sakralisasi, dan ketaatan rakyat Mesir terhadap penguasanya kini tak ada lagi.
Saat memerintah, Presiden Mursi tak lagi diperkenankan berdalih tentang buruknya warisan era otokrasi. Terlebih kekuasaan ini juga dipandang sebagai doa mustajab para pejuang Ikhwan dari balik jeruji penjara (Shadi Hamid, 2012). Namun, karena perubahan menaruh ekspektasi tinggi, minimnya visi adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dan Mursi membuat begitu banyak blunder sehingga dijuluki sebagai sosok paling piawai dalam seni menghimpun musuh (Fawaz Gerges, 2013). Arogansi dan ketidakmampuan menjalin koalisi justru menumpukkan tanggung jawab era transisi di pundak Ikhwan yang sesungguhnya lemah.
Kesediaan dan kepandaian berbagi tanggung jawab (power sharing) itulah yang membedakan Ikhwan di Mesir dengan An-Nahdlah di Tunisia. Di Tunisia, An-Nahdlah punya sosok Rashid al-Ghannushi, yang dianggap sedikit berkaliber Nelson Mandela. Sadar akan beratnya tantangan memerintah, Al-Ghannushi justru memelopori rekonsiliasi nasional dengan konsesi-konsesi yang menyakitkan. Dia misalnya meyakinkan elite partai dan konstituennya untuk tidak bermain-main dengan syariah dan mengutak-atik Undang-Undang Perkawinan Tunisia yang sangat progresif.
Itulah yang tidak dilakukan Mursi dan Ikhwan. Relatif mulusnya langkah Tunisia menjalankan masa transisi demokrasi, antara lain, karena sudah terjalinnya kesepahaman di antara berbagai faksi politik Tunisia. Di Mesir, tingginya polarisasi dan kecurigaan antar-elite politik justru mengukuhkan persepsi bahwa demokrasi bukanlah the only game in town dan kudeta absah saja untuk membendung munculnya-seperti yang disebut Abdurrahman al-Qardlawi-firaun-firaun belia.
Ironisnya, kudeta atas Mursi justru memupus peluang Mesir untuk "menghukum" inkompetensi Ikhwan pada pemilu berikutnya. Kelompok tersebut kini bisa berdalih bahwa mereka bukannya gagal dalam uji coba "Islam adalah solusi", melainkan dirongrong konspirasi tentara sebagai pemegang mandat pokok Amerika. Narasi semu ini akan berdengung dalam waktu yang lama dan itu sulit disanggah oleh kaum muda Tahrir. Fakta bahwa Gedung Putih sampai kini enggan menyebut peristiwa ini sebagai kudeta memberi dalih tambahan bagi Ikhwan untuk berapologia.
Dampak krisis Mesir ini hampir pasti akan meradikalisasi kelompok ini. Tapi yang paling mematikan adalah krisis legitimasi politik yang akan berkepanjangan. Pemerintahan interim pascakudeta tak akan mudah menyusun roadmap transisi demokrasi tanpa tercapainya kompromi di antara semua faksi politik yang bertikai. Dan, jika kudeta diniatkan untuk menyingkirkan Ikhwan dari dunia politik, itu tentu hanya ilusi. Saya yakin, bila dalam waktu dekat Ikhwan kembali ikut pemilu, mereka akan tampil sebagai pemenang lagi.
Jika itu yang terjadi, Mesir akan kembali ke titik nol demokrasi, bahkan bisa balik ke otokrasi. Kemajuan demokrasi hanya akan mereka capai bila pemilu menghasilkan kekuatan yang makin imbang, atau Ikhwan tampil dengan kubu reformis yang menggantikan faksi pragmatisme konservatif saat ini. Ikhwan perlu meninggalkan romantisisme islamis Turki era Erbakan, lalu beranjak ke reformisme ala Erdogan. Manuver tentara tentu penting juga dalam menentukan nasib demokrasi Mesir ke depan. Tapi yang lebih vital lagi adalah kemampuan kekuatan-kekuatan non-Ikhwan dan non-Salafi dalam menjungkalkan mereka lewat kotak suara. Sungguh misi yang tidak mudah.
*) Dosen Paramadina, Pengamat Timur Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo