Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK sulit bagi seorang alumnus Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 1973 mengenali foto perempuan berkerudung hitam yang separuh mukanya ditutup itu. "Itu istri Purnomo, perwira kepolisian seangkatan saya," katanya pekan lalu, ketika Tempo menunjukkan foto perempuan yang sedang menghindari pertanyaan wartawan setelah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi akhir Mei lalu.
Sylvia Sholehah-begitu nama perempuan itu tertera dalam daftar pemeriksaan saksi pada agenda harian komisi antikorupsi-memang populer dengan sapaan "Ibu Pur". Ia dimintai keterangan dalam perkara korupsi dana proyek sarana olahraga terpadu Hambalang, Bogor. Ketika keluar dari ruang gedung KPK pada pukul 20.40, ia sama sekali tak menjawab pertanyaan. Ia terus menutup mulutnya dengan sapu tangan, lalu bergegas pergi menggunakan taksi.
Pada hari yang sama, KPK juga meminta keterangan Widodo Wisnu Sayoko. Seusai pemeriksaan, ia berlari menerobos kepungan wartawan. Ia berusaha mengelak, dan berkata, "Bukan, saya hanya mengantar Ibu." Melewati jembatan penyeberangan di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, tepat di depan gedung KPK, lelaki itu pergi menggunakan ojek. Juru bicara komisi antikorupsi, Johan Budi S.P., menyatakan Sylvia dan Widodo "berasal dari swasta".
Toh, menurut sejumlah sumber, Sylvia dan Widodo bukan saksi biasa. Mereka berperan banyak dalam perkara korupsi yang mengantarkan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menjadi tersangka itu. "Mereka orang Cikeas," ujar seorang tokoh yang mengetahui perkara ini, merujuk pada kediaman pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor.
Berbekal keterangan alumnus Akabri 1973 tadi, Tempo mengecek daftar alumnus Akademi Kepolisian pada tahun yang sama. Di situ tercatat nama Purnomo D. Rahardjo, yang pensiun pada 2005. Dalam kolom keluarga daftar itu, klop, istrinya bernama Sylvia Sholehah. Tertera pula alamat dan nomor telepon rumah mereka.
Menurut informasi lain dari teman-teman angkatannya, Purnomo kemudian banyak membantu keluarga Yudhoyono-juga alumnus Akabri 1973. Koleganya mengetahui Purnomo berperan sebagai "kepala urusan rumah tangga" kediaman Yudhoyono. Bersama istrinya, ia mengatur berbagai keperluan sehari-hari keluarga Cikeas. "Dari urusan dapur sampai mengatur taman," katanya.
Sylvia juga sering tampil ke permukaan. Ia terlihat berada dalam rombongan Ibu Negara, Ani Yudhoyono, ketika menghadiri sejumlah kegiatan. Di antaranya pada peringatan Hari Olahraga Nasional di gedung Tennis Indoor Senayan, Gelora Bung Karno, pada September 2010.
Ketika Ani Yudhoyono membuka pameran "Pasar Tenun" di pusat belanja Senayan City, Jakarta Selatan, Sylvia alias Ibu Pur terlihat ada di barisan pertama rombongan. Seseorang yang hadir ketika itu menyaksikan dia juga berjalan tepat di belakang Ibu Negara. "Saat duduk, dia sederet dengan para menteri," ujarnya.
Bukan kebetulan jika banyak orang berusaha mendekati mereka agar bisa menembus lingkaran dalam Cikeas. Purnomo dan Sylvia kemudian juga dipakai buat melobi Ani Yudhoyono, misalnya, untuk mengundangnya hadir pada suatu acara. Mereka pun bergaul dengan kalangan pebisnis. "Mereka biasa datang memenuhi undangan makan malam dari satu pengusaha ke pengusaha lain," kata seorang pengusaha.
"Sidik jari" Sylvia tertinggal dalam proyek pembangunan sarana olahraga terpadu Hambalang. Menurut seorang narasumber, ia beberapa kali berkunjung ke ruang kerja Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dan Kepala Biro Perencanaan Deddy Kusdinar.
Mengetahui status Sylvia, sejumlah pengusaha berusaha mendekati dia. Untuk keperluan ini, ia memiliki dua orang yang bisa diandalkan, yaitu Widodo Wisnu Sayoko dan seorang pria yang biasa dipanggil Arif Gundul. Pejabat-pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga pun berusaha dekat-dekat dengan Sylvia, termasuk Wafid Muharam, yang kini menjalani masa hukuman dalam perkara suap Wisma Atlet SEA Games XXVI, Palembang.
Seorang terpidana perkara korupsi di Kementerian Pemuda dan Olahraga mengatakan Sylvia dipakai Wafid ketika menolak permintaan utusan Muhammad Nazaruddin, yang menyampaikan keinginan menggarap proyek Hambalang. Nazaruddin, ketika itu masih menjadi Bendahara Umum Partai Golkar, menagih Wafid karena merasa berjasa mengamankan anggaran proyek di Dewan Perwakilan Rakyat. "Wafid mengatakan proyek Hambalang sudah diminta oleh utusan Cikeas bernama Ibu Pur," ujarnya.
Nazaruddin saat itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya menagih balik uang senilai Rp 9 miliar kepada Wafid. Belakangan, proyek pengadaan peralatan untuk sport center senilai ratusan miliaran rupiah memang digarap perusahaan yang direkomendasikan Ibu Pur. Wafid, yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, menolak menjawab pertanyaan Tempo.
Seorang saksi kunci perkara Hambalang mengatakan nama Ibu Pur sudah lama muncul dalam pemeriksaan, bahkan sejak penyelidikan. Dia mengaku berkali-kali ditanyai penyidik KPK dan auditor Badan Pemeriksa Keuangan. "Mereka menanyakan apa kenal Bu Pur," katanya. "Saya yakin pertanyaan serupa ditanyakan ke saksi-saksi yang lain."
Anggota staf khusus Presiden, Heru Lelono, mengatakan tidak mengenal Purnomo dan Ibu Pur. "Disebut kerabat Presiden, kerabat dari mana?" ujarnya. Adapun Sylvia tidak bisa dimintai komentar. Keluarga di rumahnya menyatakan ia dan Purnomo pergi ke Mataram, Nusa Tenggara Barat. Purnomo, yang dikontak lewat telepon seluler, menolak menghubungkan Tempo dengan istrinya. Dia menuding media massa mencari-cari kesalahan keluarganya. "Sudahlah, Tempo memang nakal," katanya.
Setri Yasra, Anton Septian, Rusman Paraqbueq, Nur Alfiyah, Ananda Badudu, Febriana Firdaus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo