Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pejuang dari Lautan Teduh

Mengapa polisi Indonesia berutang kepada Hoegeng. Keteladannya adalah sikap republikanisme lama yang menggabungkan integritas, intelektualitas, dan gaya estetis yang solid.

14 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Rolang Linggi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Keteladanan Hoegeng dalam sikap etis.

  • Konflik Hoegeng dan Soeharto dalam kasus Sum Kuning dan penyelundupan mobil.

  • Bisakah polisi sekarang meniru Hoegeng?

SATU gejala yang menonjol dalam kebudayaan politik kontemporer Indonesia adalah populisme dangkal disertai kebencian diam-diam kepada elitisme. Budaya populisme dangkal melahirkan elite yang hipokrit: di satu sisi mereka aktif dalam perebutan jabatan, kekayaan, dan sumber daya ekonomi-politik kekuasaan di atasnya; di sisi lain mereka mengembangkan citra merakyat, “ke bawah”, nasionalistis, dan anti-intelektualisme. Hoegeng Iman Santoso melawan itu semua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Populisme dikonstruksikan identik dengan kesederhanaan dan kejujuran, sementara elitisme identik dengan kemewahan dan korup. Apabila sedikit teliti dan mau menengok daftar isi penjara Komisi Pemberantasan Korupsi sekarang, kita akan segera mengetahui kebohongan klaim populis ini. Penjara kita penuh pejabat yang sehari-hari berpolitik dengan menampilkan citra sederhana dan merakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orang seperti Hoegeng adalah lawan dari populisme dangkal ini. Ia membuktikan bahwa seorang pejabat atau elite bisa memiliki integritas, sederhana, tanpa perlu membohongi orang banyak dengan menutup-nutupi status dan budaya elitisme yang melingkupinya.

Dalam sejarah Indonesia, pernah ada satu periode ketika intelektualitas, gaya estetis, dan integritas berdampingan melengkapi dan tumbuh dalam karakter para elite. Komitmen etis kecenderungan estetis dan integritas pribadi, waktu itu, mendahului komitmen ideologi dan politik. Orang bisa dikenang terlepas dari warna politiknya. Sukarno, Hatta, dan Sjahrir berpolitik dalam warna ideologi berbeda, tapi mereka memiliki pendirian yang relatif sebanding dalam komitmen etis dan aspirasi estetis. Ketiganya bisa berbeda dalam mencari dan menemukan orientasi mendasar kemerdekaan Indonesia: nasionalisme yang menggebu dalam Sukarno, demokrasi dan kedaulatan rakyat bagi Hatta, dan humanisme dalam Sjahrir. Tapi mereka sama-sama memiliki standar mendasar dalam memandang dan menerapkan etika publik: integritas serta kesederhanaan seiring dengan kemewahan intelektual dan elitisme estetis. 

Hoegeng salah satu pejabat terpenting di masa Orde Baru, tapi dia menjabat dengan memelihara etika republikan lama, etika yang tumbuh dan diwariskan oleh elite-elite di masa Sukarno, Hatta, dan Sjahrir, sehingga ia dengan cepat bertabrakan dan terpental keluar dari sirkulasi kekuasaan yang bobrok. Orde Baru adalah rezim politik yang tidak mengenal etika publik karena esensi kekuasaannya berbasis kekerasan.

Yang etis, di masa Orde Baru, hanya mungkin dengan syarat, politik dimaknai sebagai yang deliberatif. Padahal etika publik hanya tumbuh apabila ada pengakuan terhadap keterbukaan dan partisipasi rasional, dan partisipasi rasional hanya mungkin dengan syarat ada kebebasan. Sedangkan kebebasan berhenti dalam kekerasan. Orde Baru dimulai dari kekerasan dan dipelihara di dalam kekerasan. Dengan sendirinya kebebasan tumbang. Itu pula sebabnya rezim otoriter di mana pun dengan mudah menjadi rezim yang korup. Kontrol publik ditenggelamkan oleh kekuasaan.

Hoegeng resmi dilantik pada 15 Mei 1968 sebagai Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia karena kepala kepolisian sebelumnya, yaitu Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, mengundurkan diri. Ia kemudian mengubah istilah Angkatan Kepolisian Republik Indonesia menjadi Kepolisian Republik Indonesia. Ia juga mengubah istilah Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Dengan penggantian nama itu, ia memulai usaha memposisikan kepolisian sebagai institusi yang bersifat sipil sebagaimana kepolisian di negara-negara demokratis. Jabatan itu hanya ia emban tiga tahun karena pada 1971 Presiden Soeharto memecatnya.

Hampir semua biografi yang ditulis untuk mengenang Hoegeng menyebutkan setidaknya dua peristiwa besar yang melatari pemecatan itu: kasus Sum Kuning dan kejahatan Robby Tjahjadi.

Kasus Sum Kuning adalah pemerkosaan seorang perempuan di Yogyakarta yang pelakunya diduga melibatkan anak-anak pembesar zaman itu. Bukannya menangkap para pelaku, aparat justru menghukum korban. Upaya Hoegeng menghukum pelaku sesungguhnya terpental oleh impunitas yang dipasang Soeharto. Adapun dalam kasus penyelundupan mobil oleh pengusaha Robby Tjahjadi, sejumlah tulisan menyebutkan betapa terkejutnya Hoegeng tatkala bermaksud melaporkan kejahatan itu kepada Soeharto, ia malah menjumpai Robby sedang bersama sang Presiden. Konflik Hoegeng-Soeharto adalah tabrakan besar antara etika republikan lama dan kekuasaan otoritarian korup dengan basis kekerasan.

Sebagaimana Hatta, Hoegeng memegang prinsip-prinsip etika republikan. Ia memandang politik sebagai suatu wilayah deliberatif yang secara rigid mesti dipisahkan dari ranah ekonomi dan rumah tangga. Jabatan publik adalah cara mencapai kemaslahatan umum (polis), sementara ekonomi dan rumah tangga adalah cara mencapai kelanggengan pribadi (oikos). Dalam etika republikan, motif dan tujuan dalam ranah ekonomi dan rumah tangga tidak boleh bercampur, apalagi sampai menginvasi ranah publik. Prinsip ini yang membentuk integritas Hoegeng. Sikap sederhananya keluar sebagai produk kejujurannya, bukan kesederhanaan plastis yang dibuat-buat.

Tidak mengherankan apabila ia memilih mencari kolektif yang sepadan dengan sistem etik yang membesarkannya. Pada 1978, Hoegeng bergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang didirikan Jenderal A.H. Nasution bersama Ali Sadikin, Marsillam Simanjuntak, Yudilherry, dan Chris Siner Key Timu dengan pelindung Bung Hatta.  Pendirian lembaga ini direspons Soeharto melalui dua pidato, yakni pada 28 Maret 1980 di Pekanbaru dan dalam rapat pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 17 April 1980. 

Soeharto menilai LKB membahayakan kehidupan bangsa dan negara. Pernyataan Soeharto direspons balik oleh eksponen LKB dengan mendirikan Petisi 50. Hoegeng ada di dalamnya. Salah satu poin petisi itu menyatakan keprihatinan akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apa pun tentang dirinya bakal ditafsirkan sebagai anti-Pancasila. Soeharto kemudian mencekal para tokoh Petisi karena mereka menolak mencabut pernyataan mereka. Soeharto lalu membunuh hak-hak perdata mereka.

Hoegeng seorang jenderal polisi yang punya selera seni baik dan menyukai musik Hawaii. Ia tampil di TVRI bersama grup The Hawaiian Seniors dalam Irama Lautan Teduh sepanjang 1968 hingga acara itu tutup pada 1980. Penutupan Irama Lautan Teduh adalah imbas sikap politiknya dalam Petisi 50

Hoegeng bernyanyi dan memainkan ukulele. Ada banyak jenderal yang punya hobi bernyanyi, tapi Hoegeng bernyanyi dan bermusik dengan serius—12 tahun rutin mengisi acara TVRI bukanlah perkara yang remeh-temeh. Acara itu dibredel dengan alasan konyol: menyebarkan musik dan budaya berbau asing. Pembredelan Irama Lautan Teduh melengkapi represi Soeharto terhadap Hoegeng. Sungguh suatu keganjilan yang menggelikan bahwa sebuah rezim militer seperti Orde Baru begitu khawatir terhadap suatu grup yang membawakan lagu santai seperti “Aloha ‘Oe”.

Ada yang menyebut etika republikanisme Hoegeng sebagai warisan dari bapaknya. Tapi barangkali—dan jangan-jangan—ia menemukan pendasaran etisnya secara ganjil dari musik dan syair lagu-lagu “lautan teduh”.  Boleh jadi ia juga dipengaruhi syair lama dari lagu orang Hawaii, “Kaulana Nā Pua”, yang diciptakan Ellen Wright Prendergast pada 1893. Lagu ini sering juga disebut “Lagu Makan Batu” karena salah satu bait syairnya berbunyi: 

ʻAʻole mākou aʻe minamina
I ka puʻukālā a ke aupuni
Ua lawa mākou i ka pōhaku
I ka ʻai kamahaʻo o ka ʻāina
 

Tak kami pandang
Bukit uang penguasa
Karena telah puas kami dengan batu-batu
Dan makanan luar biasa dari bumi

Sejarah reformasi di Indonesia mencatat peran banyak tokoh militer, seperti A.H Nasution, Kemal Idris, dan Ali Sadikin, yang bersama-sama dengan kekuatan sipil mendorong perubahan politik yang demokratis, menghargai hak asasi manusia dan supremasi sipil di Indonesia. Ali Sadikin tidak hanya mendirikan Petisi 50, dia bahkan ikut mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang ia minta mengawasi dan mengkritiknya sebagai Gubernur Jakarta.

Kepolisian Republik Indonesia beruntung memiliki Hoegeng. Ia mewakili polisi di barisan depan sejarah reformasi dengan secara terbuka melawan pemerintah Orde Baru. Ia turut memberi andil dan membuka jalan yang memungkinkan Polri kini menikmati posisi otonom di bawah supremasi sipil. Dengan kata lain, basis historis Polri sekarang adalah pergulatan dan keberhasilan suatu generasi reformis yang demokratis, mengedepankan kebebasan dan adab perlindungan hak-hak asasi manusia.

Dengan capaian itu, bisa kita katakan sekarang: polisi Republik Indonesia berutang kepada Hoegeng, berutang kepada reformasi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Robertus Robet

Robertus Robet

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus