Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hoegeng hidup sederhana usai pensiun sebagai Kepala Polri.
Hoegeng menjual lukisan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Hoegeng menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata
PEMANDANGAN hutan rimbun berlatar gunung dan langit biru terhampar di kanvas berukuran 140 x 245 sentimeter. Ukurannya yang jumbo membuat lukisan berjudul Pemandangan Alam itu mencolok di antara puluhan lukisan lain di Galeri Hoegeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Galeri Hoegeng adalah galeri yang menyimpan karya seni Kepala Kepolisian Republik Indonesia kelima Hoegeng Iman Santoso. “Ini lukisan Kakek yang paling besar,” tutur Krisnadi Ramajaya Hoegeng, 51 tahun, cucu Hoegeng, pada Rabu, 4 Agustus lalu. “Dulu pesanan seorang pejabat tapi batal dibeli karena Kakek berkukuh membubuhkan tanda tangan di lukisan tersebut.”
Di bangunan dua lantai yang berada di kompleks rumah toko Pesona Kayangan Estate Depok, Jawa Barat, tersebut tersimpan sebagian lukisan Hoegeng. Pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921, itu memiliki hobi melukis sejak masa muda. Meski begitu, dia tidak pernah sekolah atau kursus melukis. Kemampuan alamiah itu terlihat dari lukisannya yang sederhana dengan sketsa yang tegas.
Hoegeng meneruskan hobi melukis setelah ia menjadi polisi dan dipaksa pensiun oleh Presiden Soeharto pada 1971 lantaran membongkar penyelundupan mobil oleh pengusaha Robby Tjahjadi. Tema lukisannya berkembang dan berubah seiring dengan alur hidup Hoegeng yang dinamis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1950-an, saat Hoegeng muda baru menjadi polisi, semua obyek lukisannya adalah manusia. Sebagian besar adalah lukisan sosok pahlawan, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan Kapitan Pattimura. “Dulu rumah kami di Medan penuh dengan lukisan pahlawan. Sebagian besar lukisan tersebut diberikan ke kawan-kawan Bapak,” ucap Aditya Sutanto Hoegeng, 71 tahun, anak kedua Hoegeng.
Selain sosok pahlawan, Hoegeng banyak melukis kehidupan bersahaja masyarakat biasa. Di antaranya lukisan berjudul Tukang Sate Langganan, Kakek dan Ayam Jago, serta Perempuan. Pada periode itu, Hoegeng kerap bersepeda berkeliling lingkungan sekitar rumahnya sehingga dia akrab dengan penduduk.
Setelah pensiun, tema lukisan Hoegeng bergeser pada pemandangan alam yang didominasi sapuan warna hijau. Pada 1990-an, saat kesehatan Hoegeng menurun, tema lukisannya kembali bergeser. Dia lebih banyak melukis bunga dengan warna-warna yang tegas, kontras, dan berani. Di antaranya lukisan Anggrek di Hutan, Sepasang Cattleya Merah, Anggrek Panda, dan Cattleya Kuning.
Suatu hari, Aditya pernah bertanya alasan bapaknya beralih melukis bunga. “Bunga adalah bunga, begitu bentuknya, begitu pula warnanya. Apa adanya. Kalau putih adalah putih, kalau hitam adalah hitam. Tidak seperti manusia yang bisa berbohong. Dalam kehidupan kita harus jujur seperti bunga,” ujar Aditya, menirukan ucapan bapaknya.
•••
HOEGENG bergegas pulang selepas acara serah-terima jabatan Kepala Polri pada 2 Oktober 1971. Presiden Soeharto memberhentikannya lebih cepat dan menunjuk Mohamad Hasan sebagai pengganti.
Sampai di rumah, seperti diingat Aditya, Hoegeng sungkem kepada ibunya, Umi Kalsum, dan mengatakan bahwa tanggung jawabnya di kepolisian sudah selesai sehingga mulai hari itu dia akan hidup sebagai orang biasa. Umi Kalsum mengelus rambut anaknya dan berkata bahwa Hoegeng telah menjalankan kewajibannya dengan baik dan keluarga mereka sudah terbiasa hidup sederhana.
Setelah berbicara dengan ibunya, Hoegeng menghampiri istri, Meriyati Roeslani, dan tiga anaknya. Ia meminta mereka merapikan semua barang inventaris kepolisian. “Bapak bilang semua mesti segera dikembalikan, termasuk mobil dan rumah, meski saat itu Bapak belum tahu di mana selanjutnya kami tinggal,” tutur Aditya.
Hoegeng memiliki karier cemerlang di pemerintahan. Empat tahun setelah lulus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian pada 1952, Hoegeng menjadi Kepala Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Sumatera Utara. Lima tahun kemudian, dia dipercaya menjadi Kepala Jawatan Imigrasi.
Pada 1965, Presiden Sukarno mengangkatnya menjadi Menteri Iuran Negara yang mengurus bea-cukai, pajak, dan landrente (retribusi tanah). Setahun kemudian Hoegeng menjabat Sekretaris Kabinet. Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, Hoegeng terpilih menjadi Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia, yang kemudian diubah menjadi Polri.
Meski bertabur jabatan tinggi dan elite negeri ini, keuangan Hoegeng pas-pasan. Bahkan dia tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membeli rumah ataupun sepetak tanah. Selama menjadi pejabat negara, Hoegeng dan keluarganya tinggal di rumah dinas atau rumah sewaaan, termasuk rumah di Menteng yang merupakan pinjaman kepolisian.
Mohammad Hasan, Kepala Polri pengganti Hoegeng, berinisiatif memberikan rumah pinjaman di Jalan Muhammad Yamin itu kepada keluarga Hoegeng. Sejumlah kepala kepolisian daerah juga saweran membelikan mobil Holden Kingswood. “Itu satu-satunya mobil Bapak setelah pensiun,” ujar Aditya.
Setelah tak lagi menjabat Kepala Polri, Hoegeng memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya dengan melukis, mengisi siaran dialog Little Thing Mean a Lot di radio Elshinta, dan menjadi vokalis sekaligus pemain ukulele di grup musik Hawaiian Seniors.
Hoegeng saat siaran di radio Elshinta. Dok. Keluarga
Little Thing Mean a Lot adalah program dialog yang digagas Hoegeng, berisi obrolan santai dengan semua kalangan mengenai kehidupan sehari-hari. Kepiawaian Hoegeng bercerita dan berdialog membuat siaran itu mendapatkan banyak pendengar. Begitu pula grup musik Hawaiian Seniors yang makin terkenal setelah menjadi acara musik rutin di TVRI.
Masa indah itu tidak berlangsung lama. Pada Mei 1980, Hoegeng masuk daftar 50 orang yang menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei. Surat tersebut berisi ungkapan keprihatinan sejumlah tokoh terhadap penggunaan Pancasila oleh Presiden Soeharto untuk menyerang lawan-lawan politiknya.
Soeharto tentu saja marah. Ia mengecap para penanda tangan Petisi, termasuk Hoegeng, sebagai kelompok melawan pemerintah. Tidak lama kemudian, acara Little Thing Mean a Lot di Elshinta dihentikan tanpa alasan yang jelas. Begitu pula program tayangan musik Hawaiian Seniors di TVRI. Bahkan Hoegeng masuk daftar tokoh yang dilarang ke luar negeri.
Hilang pendapatan tak membuat Hoegeng putus asa. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, Hoegeng menjual lukisan. “Dalam sebulan, Bapak melukis hingga empat lukisan. Biaya sekolah saya dari penjualan lukisan tersebut,” ujar Aditya.
Hoegeng melukis di halaman belakang rumah. Setiap pagi hingga siang dia melukis di sana sambil menunggu cucunya, Rama—anak Aditya—yang sekolah tepat di belakang rumahnya. Kondisi ekonomi yang susah membuat Aditya dan Hoegeng tidak bisa memberi uang saku untuk Rama.
Untuk menghibur cucunya, Hoegeng memasang lonceng di halaman belakang rumah dan mengikatnya dengan tali yang dijulurkan ke halaman sekolah. Setiap istirahat sekolah, Rama lari ke tembok belakang rumahnya dan menarik benang lonceng. Setiap mendengar bunyi lonceng, Hoegeng memanjat tembok dan menyodorkan limun bikinan Meriyati. “Awalnya saya malu,” ucap Rama. “Teman-teman bisa beli es joli, saya minta minum ke Kakek. Tapi lama-lama teman-teman saya ikut minta limun.”
Pada awal 1990, kesehatan Hoegeng menurun. Beberapa kali dia terserang stroke dan sempat sakit parah pada Mei 1993. Sejumlah dokter menyarankan Hoegeng berobat ke Belanda yang memiliki fasilitas pengobatan lebih baik. Namun ia tak bisa keluar negeri karena dicekal Soeharto.
Aditya lalu mendatangi Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal L.B. Moerdani untuk meminta izin supaya bapaknya bisa berobat ke luar negeri. Moerdani bersedia dengan syarat Hoegeng menulis sendiri surat permohonan kepadanya. “Saya tidak sampaikan pernyataan Pak Moerdani itu ke Bapak, karena saya tahu Bapak pasti menolak membuat surat permohonan ke pemerintah,” kata Aditya.
Hoegeng (duduk, tengah) dan istrinya Merianti (duduk, kiri) bersama grup Hawaiian Seniors saat syuting untuk program Suara Irama Lautan Teduh di TVRI, pada awal 1970-an. Dok. Keluarga
Gagal meminta tolong Moerdani, Aditya membuat surat permohonan kepada Direktur Jenderal Imigrasi Roni Sikap Sinuraya. Dalam surat permohonan tertanggal 1 Juni 1993 itu, Aditya menyatakan bahwa Hoegeng akan didampingi Meriyati. Hoegeng akhirnya bisa berobat ke Belanda dan menjalani perawatan selama sepuluh hari di sana.
Meski kondisi kesehatannya mulai pulih, Hoegeng tidak lagi bisa sering melukis. Kondisi ekonomi keluarganya pun makin sulit. Mereka bahkan tidak sanggup membayar pajak rumah. “Pajak rumah kami di Menteng saat itu Rp 10 juta. Terlalu berat bagi kami. Akhirnya Bapak menjualnya dan mencari rumah yang lebih murah di Depok,” tutur Aditya. Keluarga Hoegeng pindah ke perumahan Pesona Kayangan Depok pada awal 2000.
•••
HOEGENG meninggal pada 14 Juli 2004. Jasadnya dikubur di area permakaman Giritama di Tonjong, Kecamatan Kemang, Bogor, Jawa Barat. Hoegeng membeli lahan makam itu karena ingin dikubur bersama keluarganya. Kepala Polri Jenderal Da’i Bachtiar memimpin upacara pemakaman itu.
Baru pada tanggal itulah Nisun dan Nani tahu bahwa orang yang dikubur area permakaman yang ia jaga adalah mantan Kepala Polri. Serombongan polisi datang mengikuti upacara penguburan. Selama ini, suami-istri berusia 60 dan 50 tahun itu hanya mengenal Hoegeng sebagai pria ramah, sederhana, dan suka bercanda.
Setiap akhir bulan, ucap Nisun, sebelum meninggal, Hoegeng datang membersihkan lahan yang tak seberapa luas itu. Pada 9 Agustus 2021, ada dua makam di sana. Satu makam Hoegeng dan satu lagi Poelastri Agoes Salim, adik Meriyati Roeslani. “Pendapa itu dibikin Pak Hoegeng,” ujar Nisun, menunjuk bangunan 3 x 3 meter di sudut area makam.
Nisun dan Nani menjadi penjaga lahan area makam ini pada 1980. Hoegeng membeli lahan itu sekitar 1990. Pada waktu itu ia sudah tak lagi menjadi Kepala Polri. Jabatan masa lalunya itu tak pernah ia ceritakan kepada Nisun. “Saya baru tahu Pak Hoegeng mantan Kapolri, ya, pas pemakaman itu,” ucap Nisun. “Kami kaget sekali.”
Pemerintah sebetulnya sudah menyediakan makam di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Istri dan anak-anak Hoegeng menolak tawaran itu. Menurut Aditya, ayahnya pernah berwasiat agar dimakamkan bersama keluarganya saja. “Kalau di Taman Makam Pahlawan tidak mungkin dimakamkan bersama keluarga,” tuturnya.
Alasan lain, Aditya pernah mendengar penjelasan ayahnya bahwa Taman Makam Pahlawan Kalibata tak lagi sakral. Selain para pahlawan, pemerintah mengubur jasad para koruptor di sana. Penjelasan serupa pernah ia sampaikan dalam wawancara dengan majalah Forum Keadilan edisi 19 Agustus 1993.
Hoegeng dengan tegas menolak jasadnya dikubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata jika ia meninggal. “Ah, nanti para koruptor menegur saya,” tuturnya. “Padahal saya mau istirahat.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo