Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kolonel A. Latief: "Saya Ingin Meluruskan Sejarah"

16 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mesin tik tua milik Abdul Latief adalah simbol perlawanan. Dengan mesin tik kecil itu, Latief menyusun dan meluruskan sebuah sejarah, sebuah pleidoi yang memang tak pernah membebaskannya dari jeruji penjara. Mesin tik itu seperti memiliki roh yang mampu mengirim kekuatan kepada sepuluh jari yang renta untuk menguak beberapa bagian yang hilang dari sejarah Indonesia. Dengan mesin tik yang hurufnya sudah timbul-tenggelam itu, pria 74 tahun ini menulis serangkaian jawaban untuk wawancara wartawan. Maklum, meski wawancara lisan juga dilakukan, stroke yang dideritanya menyebabkan ia memiliki problem berkomunikasi verbal dengan fasih, meski ingatannya masih luar biasa segar-bugar. Meski Latief pernah disiksa dan ditahan selama hampir 32 tahun, semua itu tidak meruntuhkan semangatnya.

"Saya harus tetap sehat," kata Latief. Untuk menjaga kesehatannya, Latief rajin bersenam lidah—menggerakkan lidah ke kanan, kiri, atas, dan bawah—dan menggerakkan kaki setiap pagi untuk membatasi dampak buruk stroke dan bekas luka menahun di kedua kakinya.

Semua itu dilakukan dengan tujuan menyuarakan kebenaran dan menuntut diakhirinya ketidakadilan. Latief aktif memperjuangkan rehabilitasi dan kompensasi untuk para korban G30S melalui organisasi "Paguyuban Korban Orde Baru". "Kalau menuntut, lebih baik bersama-sama, tidak satu per satu," kata Latief sembari menunjukkan daftar properti di masa gelap itu.

Di luar semua itu, Latief adalah orang yang sederhana. Dia tinggal bersama anaknya di kawasan Kebonjeruk, Jakarta Barat. Kamarnya, yang berukuran 3x4 meter, lebih mirip seperti kamar anak kos karena terisi oleh buku-buku dan kertas yang berserak, baju bergelantungan, dan sebuah "kompo" kecil di ranjang. Untuk kebutuhan sehari-hari, Latief punya usaha percetakan dan sablon yang dikelola sejak dia masih di Cipinang. "Saya ingin mandiri," kata Latief.

Berikut adalah kutipan wawancara Bina Bektiati dan Ardi Bramantyo dari TEMPO dengan Kolonel Abdul Latief yang dilakukan secara langsung di kediaman Abdul Latief, ditambah dengan beberapa jawaban tertulis.


Apa yang mendorong Anda untuk menerbitkan pleidoi Anda sebagai buku?

Ketika pleidoi itu selesai saya bacakan pada rangkaian sidang saya yang berakhir pada Agustus 1978, banyak teman-teman yang berminat, sampai-sampai saya harus membuatkan fotokopi untuk mereka secara gratis. Padahal, saya tidak punya cukup biaya untuk itu. Atas dasar itulah saya ingin menerbitkan buku ini.

Selain itu, pleidoi ini memiliki nilai sejarah yang sangat penting. Jangan sampai generasi muda atau generasi penerus itu dikelabui oleh otak-otak kotor. Rakyat dicuci otaknya oleh rezim Orde Baru dengan cara menayangkan film G30S berulang-ulang. Pleidoi ini saya buat atas kenyataan kejadian autentik, secara spontan, sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, dan tidak saya karang-karang. Saya ingin meluruskan sejarah.

Dalam buku Anda, dikatakan bahwa tidak ada seorang pun bisa menghilangkan jiwa patriot. Apa maksudnya?

Sejak saya bersekolah di sekolah menengah, saya dibimbing oleh kakak saya di Bangkalan, Madura, untuk masuk kepanduan. Di situ saya membaca buku Indonesia Menggugat oleh Bung Karno. Buku itulah yang memberi inspirasi kepada saya sampai sekarang, bagaimana melawan penjajah yang dengan kejam merampas kekayaan alam bangsa Indonesia.

Sikap saya tidak berubah hingga kini, yaitu cinta tanah air Indonesia dengan segala risiko. Jadi, tidak ada seorang pun yang bisa mencegah perjuangan untuk berbakti kepada negara, karena itu sudah menjadi tekad dan cita-cita saya. Sejak revolusi fisik 1945, saya menginginkan negara kita ini merdeka lahir-batin, bebas dari penjajahan, karena kita telah mengalami betapa pahit getirnya dijajah oleh bangsa asing.

Anda menyatakan di dalam buku bahwa kebenaran tidak bisa dilihat dari satu sisi. Apa maksudnya?

Kebenaran adalah yang benar, tanpa rekayasa seperti yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Kebenaran harus dibuat secara obyektif, jangan mau menang sendiri. Contohnya, sebenarnya siapa yang melakukan kudeta itu pada 30 September 1965? Sejak semula, Mayjen Soeharto sudah menentang Presiden Sukarno. Dipanggil menghadap saja ia menolak datang. Seharusnya, dengan adanya kejadian itu, Soeharto sebagai bawahan melapor kepada Jenderal A. Yani, Panglima Angkatan Darat. Bahkan, sesudah Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret, dia tidak melapor, tidak berkonsultasi dengan presiden, tapi malah bertindak sendiri membubarkan PKI, hingga terjadi pembantaian.

Apa yang membuat Anda berpikir telah diperlakukan tidak adil oleh Soeharto?

Sewaktu saya sidang, Mayjen Soeharto selaku Pangkostrad saya minta untuk menjadi saksi. Tapi permintaan itu tidak digubris Mahmilti ataupun Soeharto sendiri. Mestinya, kalau dia merasa tidak terlibat, kesempatan bersaksi bisa digunakan untuk membantah. Setelah saya ajukan kepada majelis hakim agar Soeharto diajukan di muka sidang, permintaan itu juga tak digubris. Itu masih ditambah dengan perlakuan terhadap saya semasa ditahan.

Bagaimana Anda berkesimpulan bahwa Soeharto terlibat G30S?

Sudah jelas dalam pleidoi saya bahwa ia terlibat, karena saya telah memberi laporan kepada dia pada 28 September 1965 tentang adanya Dewan Jenderal. Juga pada tanggal 30 malam menjelang 1 Oktober, pukul 23.00, saya telah memberi tahu bahwa para jenderal akan dihadapkan ke Presiden. Dan dia hanya manggut-manggut, tidak memberi reaksi apa-apa. Dia hanya menanyakan, "Siapa yang memimpin?" Saya bilang, Letkol Untung. Tapi ia benar-benar tidak mau menemui Sukarno. Malah, Soeharto memerintahkan tiga jenderal untuk meminta Surat Perintah 11 Maret. Dan akhirnya, Presiden ditahan di Wisma Yaso sampai meninggal. Sementara itu, isi Surat Perintah 11 Maret tidak menentukan Soeharto harus berkuasa. Ini tindakan insubordinasi. Soeharto melakukan kudeta.

Apa tindakan Anda sekarang terhadap Soeharto karena keterlibatannya?

Saya telah mengajukan surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid supaya Jenderal Besar Soeharto diajukan ke muka pengadilan sesuai dengan surat saya tanggal 23 Desember 1999. Surat tersebut termasuk permintaan agar Soeharto diadili untuk kasus korupsi-kolusi-nepotisme.

Sebenarnya ide menghadapkan para jenderal tersebut ke Presiden Sukarno itu ide siapa? Apakah benar itu ide PKI dengan tujuan kudeta?

Terus terang, ide untuk menghadapkan para jenderal datang dari kami, yaitu Brigjen Soepardjo, saya, Letkol Untung, dan Suyono. Bukan PKI. Sebab, waktu itu saya tidak kenal adanya PKI. Semua tindakan tersebut kami lakukan karena menurut pemberitahuan dari Brigjen Soepardjo, Dewan Jenderal akan mengadakan kudeta pada hari ulang tahun ABRI. Jadi, tidak benar bahwa kami diperintah oleh PKI. Kalau ada berita seperti itu, itu adalah versi Soeharto untuk menutupi kebobrokannya.

Bagaimana sebenarnya hubungan Anda dengan PKI?

Sampai sekarang, saya tidak mengenal orang-orang PKI. Saya kenal mereka sewaktu dipenjara selama 32 tahun itu. Sebelum itu, saya sama sekali tidak pernah berhubungan dengan PKI, apalagi Aidit. Orangnya saja saya belum tahu dan tidak kenal.

Apa yang mungkin terjadi kalau para jenderal tersebut tidak dijemput malam itu (30 September 1965)?

Kalau para jenderal tidak dijemput, yang terjadi adalah kudeta. Entah bagaimana nasib Presiden Sukarno. Sebab, Presiden Sukarno menjadi sasaran pokok untuk digulingkan.

Ketika Anda mengetahui bahwa Syam memberi perintah membawa para jenderal untuk ditangkap dalam keadaan hidup atau mati, apa yang Anda pikirkan?

Saya tidak menduga bahwa Syam akan bertindak sendiri, dan kemudian ada laporan dari Letnan Dul Arief bahwa jenderal telah ditangkap dalam keadaan mati. Sayalah orang pertama yang memberi reaksi, "Mengapa sampai mereka mati! Apakah tidak menyalahi perintah?" Kemudian, Letnan Dul Arief menerangkan peristiwa itu, tentang cerita Syam. Dalam keadaan tegang seperti itu, Brigjen Soepardjo mengambil alih pembicaraan, "Baiklah, kalian tenang. Semua ini sayalah yang bertanggung jawab." Dan ia segera memberi tahu akan berangkat ke Istana untuk melapor kepada Presiden Sukarno. Dan kami semua tenang kembali sambil menunggu laporan.

Anda merasa dikhianati?

Jelas, perbuatan itu (membunuh para jenderal—Red) bisa dipersoalkan. Tetapi sebagai perwira, saya dan Brigjen Soepardjo tidak akan cuci tangan. Saya pun siap turut bertanggung jawab atas peristiwa ini. Saya kenal Syam karena diperkenalkan sebagai pembantu Letkol Untung, yakni sebagai intelnya pada waktu itu.

Apa yang menyebabkan Anda malam itu (30 September 1965) menemui Soeharto di RSPAD?

Ini adalah kesepakatan bersama dengan Brigjen Soepardjo dan Letkol Untung untuk melaporkan peristiwa pembunuhan para jenderal ke Jenderal Soeharto. Karena Jenderal Soeharto dinilai loyal kepada Presiden Sukarno, segala sesuatunya bisa dinetralisasi. Tetapi perhitungan kami itu meleset. Tidak tahunya, Soeharto sudah punya planning sendiri. Soepardjo adalah anak buah langsung Jenderal Soeharto, sebagai Panglima Komando Tempur II. Dan semua teman-teman, termasuk yang ada di divisi Diponegoro, mendapat jabatan penting dari Jenderal Soeharto.

Bagaimana pemahaman Anda atas peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 pada saat itu? Kapan Anda mengerti yang sebenarnya terjadi? Dan kapan Anda mendengar versi Soeharto?

Pada pokoknya, saya dan teman-teman bertekad untuk melawan dan menggagalkan Dewan Jenderal, yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno.
Sebelumnya, saya telah diberi tahu oleh Brigjen Soepardjo tentang adanya niat kelompok jenderal yang akan mengadakan kudeta, yang akan dilakukan pada hari ulang tahun ABRI, 5 Oktober 1965. Sebelum itu, Jenderal A. Yani pernah mengumpulkan para jenderal, didampingi Jenderal Haryono, dan mengadakan rapat semua pangdam se-Indonesia dengan mengesahkan nama Dewan Jenderal. Yani bertindak sebagai brain-trust (pemikir). Pada 30 September, di Akademi Hukum Militer (AHM) diadakan rapat yang dihadiri dan dipimpin oleh Jenderal Parman, didampingi oleh Jenderal Haryono dan Jenderal Sutoyo. Ditetapkan, pada 5 Oktober 1965 diadakan kudeta sewaktu perayaan hari ulang tahun ABRI.
Sebenarnya ada saksi kunci, yaitu Mayor Rudjito, tapi sayangnya ia telah keburu meninggal entah karena apa. Dia mempunyai rekaman kaset tentang rapat di AHM. Brigjen Soepardjo juga mempunyai dokumen yang tertinggal di lacinya di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD), tetapi oleh hakim tidak diperkenankan untuk diambil. Inilah pengadilan kekuasaan militer yang tidak menghormati hukum.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 janganlah hanya dilihat dari satu sisi. Ia harus dilihat dari global strategy, baik dunia maupun keadaan situasi dalam negeri sendiri. Coba pelajari apa yang terjadi dengan politik pemerintah waktu itu: Presiden Sukarno menghadapi Neo-Kolonialisme (Nekolim), terutama betapa tajamnya pertentangan Amerika Serikat dengan politik pemerintah Indonesia waktu itu.

Bagaimana pribadi Soeharto yang Anda kenal?

Pada waktu itu, saya belum mendalami pribadinya. Hanya, sepintas lalu, orangnya agak kaku, tidak banyak bicara, jarang bersenda gurau, terlalu zakelijk. Tapi, bagi saya, itu tidak menjadi soal karena saya mempunyai maksud baik, juga dengan ibu Tien. Pergaulan saya terbatas kekeluargaan saja. Jarang perwira-perwira lain datang padanya, sifatnya itu. Terakhir saya datang ke rumahnya di Jalan Haji Agus Salim pada 28 September 1965, bersama keluarga saya.

Apa harapan Anda selanjutnya? Apakah Anda yakin bahwa Soeharto akan diadili?

Saya ingin negara ini benar-benar menegakkan demokrasi dan hukum yang hakiki demi kepentingan bangsa Indonesia yang telah dibius selama bertahun-tahun. Semoga pemerintahan Presiden Gus Dur memimpin pemerintahan yang demokratis, tanpa takut menghadapi kroni-kroni Orde Baru, walaupun banyak rintangan yang dihadapi.
Saya berharap, sesuai dengan surat saya pada 23 Desember 1999, Soeharto dapat diajukan ke pengadilan. Saya juga menuntut adanya rehabilitasi dan kompensasi untuk harta benda yang dirampas ataupun untuk keadaan fisik yang cacat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus