Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa disadarinya, pilihan Widya itu justru berakibat runyam. Kuman bakteri pemicu infeksi saluran pernapasan akut yang menyatroni tubuhnya belum betul-betul mati. Makhluk bersel satu itu baru sekadar tiarap. Begitu pengobatan disetop, bakteri bakal siuman dengan daya tahan terhadap antibiotik yang lebih tinggi. Dan, setiap saat, kuman yang lebih tahan banting itu siap beraksi kepada siapa sajabukan hanya Widya.
Penggunaan antibiotik yang tidak tuntas oleh seseorang memang tak hanya merugikan dirinya sendiri tapi juga orang lain. Namanya saja kuman. Ia bisa menyerang siapa saja dan kapan saja. Celakanya, perilaku meminum antibiotik separuh jalan seperti itu juga banyak dianut jutaan orang di dunia. Tak sedikit yang melakukannya karena alasan ekonomis, mengingat antibiotik umumnya memang tergolong mahal.
Ternyata, harga yang kini harus dibayar ternyata jauh lebih mahal. Lebih dari 50 persen kuman yang hidup di wilayah negeri ini sekarang sudah tak mempan dihajar antibiotik. Malah, beberapa jenis tergolong multiresisten terhadap beberapa jenis antibiotik, misalnya kuman Staphylococcus aureusbisa menyerang paru-paru, telinga, atau otakyang resisten terhadap kelompok antibiotik methicillin. Ada ratusan jenis antibiotik, dari generasi awal seperti penisilin sampai yang mutakhir, telah angkat tangan melawan kesaktian si kuman. Memang, daya bunuh antiobitik selalu dibuat berlipat ganda. Tapi kebandelan bakteri juga meningkat dahsyat.
Fenomena kebandelan kuman itu, dua pekan lalu, dibicarakan Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI), dalam sebuah seminar di Semarang. Menurut PAMKI, resistensi bakteri adalah persoalan serius. Maklumlah, ''Kuman tidak kenal KTP," kata Usman Chatib Warsa, Ketua Umum PAMKI. Dengan kata lain, bakteri bisa menyebarkan infeksi ke mana ia suka.
Sejak lima tahun lalu, PAMKI telah mendata dan meneliti antibiotik yang daya bunuhnya telah tumpul. Dari ratusan jenis yang beredar di Indonesia, ternyata ada sekitar 30 antibiotik yang fungsinya tidak memuaskan. Dan, jumlah bakteri yang resisten makin membengkak bila resistensi bakteri tidak ditangani serius.
Membengkaknya bakteri resisten, menurut Usman, tak hanya karena kesalahan pasien, tapi juga disokong kesembronoan dokter. Usman memberi contoh, banyak dokter yang terlalu mengkhawatirkan reputasinya sehingga pasien diberi antibiotik dosis tinggi demi menghasilkan penyembuhan yang cespleng. Padahal, bila ditelusuri dengan teliti, penyakit si pasien mungkin bersumber dari virus yang tak butuh antibiotik. Pengobatan yang tidak pas seperti inilah yang membuat bakteri makin lihai meningkatkan kesaktian.
Contoh lainnya adalah saat penyiapan operasi bedah. Secara medis, pasien sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik. Namun, karena kebersihan sebagian besar rumah sakit masih di bawah standar, dokter tidak mau ambil risiko pasien terinfeksi bakteri. Pasien pun diberi antibiotiktak jarang berdosis tinggi. Di unit perawatan intensif (ICU), pemakaian antibiotik dosis tinggi sering merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. ''Pengalaman saya praktek di ICU, penanganan pasien dengan infeksi berat memang membutuhkan konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi," kata Hendro Wahyono, Kepala Instalasi Mikrobiologi Klinik RSUP Dr. Kariadi, Semarang.
Karena begitu banyaknya pemakaian antibiotik di rumah sakit, muncul fenomena infeksi nosokomial alias infeksi yang diperoleh dari rumah sakit. Kuman-kuman yang berada di rumah sakit menjadi mutan, kebal terhadap beberapa jenis antibiotik. Sebagai tempat berobat, rumah sakit justru menjadi sarang bakteri yang sudah terlatih menghadapi puluhan jenis obat. Akibatnya, pasien berisiko memanen infeksibahkan hingga mengakibatkan kematiansaat menjalani rawat inap. Menurut Usman, infeksi nosokomial paling tinggi terdapat di rumah sakit pendidikanterutama pada unit perawatan intensif, bedah, dan anak-anak. Dan, ini bukan cuma persoalan negara berkembang. Di Australia, misalnya, tercatat 6,2 persen pasien di 269 rumah sakit yang terkena infeksi nosokomial.
Mengingat gawatnya resistensi bakteri, PAMKI menekankan perlunya tanggung jawab semua pihak. Para dokter dan staf rumah sakit dianjurkan memperbaiki kualitas pelayanan medis. Cuci tangan setiap kali hendak menangani pasien, misalnya, adalah salah satu cara menekan infeksi nosokomial. Ketelitian memberi resep juga perlu diperhatikan. ''Jangan sampai penyakit yang sebabnya non-bakteri diberi antibiotik," kata Hendro Wahyono. Selain itu, para dokter wajib memberi tahu segala risiko pengobatan kepada pasien. ''Termasuk akibat minum obat separuh jalan," kata Hendro. Sebaliknya, pasien pun wajib menuntut penjelasan rinci dari dokter dan tidak sekadar diam pasrah.
Bagaimanapun, antibiotik tetap dibutuhkan. Memang, ia seperti pedang bermata dua: membunuh kuman tapi juga secara tak langsung bisa menjadi bumerang bagi manusia. Namun, berbahaya-tidaknya senjata itu tergantung seberapa rasional penggunaannya.
Mardiyah Chamim dan Adi Prasetya (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo