JUMAT malam itu Jenderal Roesmanhadi sedang meriang. Entah ada hubungannya entah tidak, mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) ini memang lagi terserang semacam "virus gawat". Maklum, tiga hari sebelumnya sepucuk surat Inspektorat Jenderal Departemen Pertahanan—tentang Kesimpulan Sementara Pemeriksaan Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia—bocor ke media. Isinya bisa-bisa membuat jenderal berbintang empat itu lebih dari sekadar meriang. Jika terbukti benar, penjara sudah menantinya.
Menurut dokumen itu, Roesman berkomplot dengan sejumlah petinggi Polri lainnya—antara lain mantan Asisten Perencanaan Mayjen Adang Daradjatun (kini Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat) dan Kepala Dinas Keuangan Brigjen Darmadji S.W. Kesimpulan dua jenderal, dua perwira menengah polisi, dan sejumlah sumber lainnya yang dihubungi TEMPO pun mengarah ke keterlibatan Roesmanhadi.
Adapun pengusaha yang telak-telak disebut keterlibatannya adalah Jimmy Widjaya. Anak sulung dari istri kedua taipan Grup Sinar Mas Eka Tjipta Widjaya ini memang telah lama malang-melintang di Trunojoyo, Markas Besar (Mabes) Polri. Melalui PT Citra Permatasakti Persada—kemudian berganti kulit menjadi PT Prima Nusa Sentosa Raya—Jimmy menguasai proyek komputerisasi surat izin mengemudi (SIM) sejak zaman Kapolri Jenderal Koenarto pada 1992. Untuk membenamkan taring perusahaannya di Mabes Polri, dengan lihai ia menggandeng sejumlah nama "besar" semacam putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, mantan Kapolri Jenderal Dibyo Widodo, dan juga putra Roesmanhadi, Rudy Bratanusa.
Dengan kesepakatan bagi hasil yang amat jomplang, jelas Jimmy tinggal ongkang-ongkang kaki. Dari biaya pembuatan SIM Rp 52.500, PT Prima mengantongi porsi terbesar: Rp 29 ribu, sedangkan Mabes cuma Rp 17 ribu. Selebihnya untuk biaya lain-lain. Itu di luar biaya pulsa telepon dan listrik, yang anehnya malah dibebankan sepenuhnya ke brankas kepolisian. "Si Jimmy itu kan kerjanya cuma duduk-duduk di kantornya, sambil melihat berapa uang yang masuk dari SIM itu," kata seorang jenderal dengan geram.
Dari bisnis SIM inilah Jimmy lalu merambah ke mana-mana. Dalam laporan pemeriksaan itu, setidaknya ia terlibat dalam dua proyek berbau kolusi lainnya, pengadaan mobil Timor dan pembangunan Markas Komando Polri, berkat hubungan intimnya dengan para petinggi korps baju cokelat, khususnya Roesmanhadi berikut sanak kerabatnya.
Skandal itu bermuara dari dana operasional SIM (DOS) senilai Rp 300,7 miliar dan dana Rp 96,7 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk keperluan pengamanan Pemilihan Umum 1998. Roesmanhadi, menurut laporan itu, menyulap dana DOS itu menjadi sumber mata uang bagi berbagai proyek berbau KKN yang melibatkan sejumlah jaringan bisnis kroninya.
Caranya? Dengan dalih mencegah penyalahgunaan, dana yang menurut ketentuan mestinya didistribusikan untuk membangun sarana kepolisian di daerah itu malah dipusatkannya di brankas Mabes. Tujuannya, tudingan sumber itu, adalah untuk memutar dana tersebut bagi roda jaringan bisnisnya. Dengan menguasai dana itu, berbagai transaksi—tentu saja berikut "uang terima kasih" dari para rekanan—bisa sepenuhnya dimainkan. Ini tentunya termasuk kekuasaan menunjuk siapa rekanan yang sudah "tahu sama tahu", model Jimmy Widjaya itu.
Ambil contoh soal kasus mobil Timor ilegal yang sempat ramai tahun lalu. Waktu itu, masing-masing pada bulan April, atas perintah Kapolri, dibelilah 100 unit mobil Timor dari PT Catur. Ternyata, mobil itu bermasalah. Mobil yang masih menjadi hak milik PT Timor Putra Nasional dan tak memiliki faktur itu (karena ditahan PT Timor) begitu saja dilego Jimmy ke korps baju cokelat. Diserobot hak miliknya, PT Timor pun mengadukan Jimmy dalam kasus penggelapan ke Polda Metro Jaya.
Roesmanhadi lalu turun tangan. Ia minta diadakan gelar perkara di Mabes Polri. Tapi, kesimpulannya: unsur pidana terpenuhi, Jimmy mesti terus disidik. Eh, tak berapa lama, yang keluar malah surat perintah penghentian penyidikan (SP3), yang diteken langsung Kapolda Metro Jaya Mayjen Noegroho Djajoesman. Rupanya, Roesmanhadi yang memberi perintah. Dua perwira penyidik Polda Metro Jaya—Mayor Aris Munandar dan Kapten Kumbul—yang menolak perintah untuk mengonsep SP3 asli tapi palsu itu, lalu dicopot dan disingkirkan.
Sudah tahu begitu, anehnya, Roesmanhadi masih juga ngotot membeli lagi 213 unit mobil Timor S515i DOHC yang jelas-jelas bermasalah dari PT Catur pada bulan Juni. Direktur Logistik saat itu, Brigjen Bambang Susetyo, tak bersedia meneken berita acara serah terima kendaraan. Apa yang terjadi? Jenderal Roesmanhadi langsung menekennya sendiri. Buntutnya, Bambang "distaf-ahlikan", dan stafnya, Kasubdit Perlengkapan Kolonel Yori Ponto, "dilitbangkan".
Berita acara yang dilihat TEMPO memastikan kejanggalan itu. Dibuat di atas surat berkop Mabes Polri bernomor 278/BAc/CGEP-POL/W/X/99 tanggal 8 Oktober 1999, dokumen itu diteken Kapolri Jenderal Roesmanhadi bersama Direktur Utama PT Catur Widjanarko.
Menurut sumber di kepolisian, kegigihan Roesmanhadi itu tak jauh-jauh dari urusan fulus. Dari harga Rp 60 juta per unit yang disepakati, sebenarnya Jimmy hanya minta dibayar separuhnya. Separuhnya lagi, ya "ucapan terima kasih" itu. Hitung saja, kata sumber itu lagi. TNI Angkatan Udara pernah menerima penawaran mobil Timor dengan seri yang sama hanya seharga Rp 50 juta per unit. Apalagi mobil itu "bodong" alias tak berfaktur. Dan jenis itu di pasaran paling banter dihargai Rp 20 juta.
Kesimpulannya? "Penyimpangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari praktek kolusi antara Kapolri yang didukung oleh Asisten Perencanaan dan Kepala Dinas Keuangan beserta staf terkait dengan PT Catur sebagai rekanan," demikian tegas tertulis dalam dokumen pemeriksaan khusus itu.
Modus yang sama terjadi pada pembangunan Markas Komando Polri yang terbakar. Proyek senilai Rp 58 miliar itu, lagi-lagi, jatuh ke PT Catur milik Jimmy, yang ditunjuk langsung Roesmanhadi. Dari "berkah" ini, sampai sekarang Jimmy sudah mengantongi Rp 20 miliar. Dananya, ya, juga diambil dari dana SIM yang dikelola oleh PT Prima yang juga kepunyaan Jimmy itu. Celakanya, dari patgulipat ini saja, negara tercatat dirugikan paling tidak Rp 1,8 miliar karena kelalaian membayar pajak. Nilai kerugian sebenarnya masih harus ditentukan melalui audit.
Roesmanhadi juga dituding telah menjadikan Mabes Polri sebagai sapi perahan bagi bisnis keluarga dan kroninya. Sang mantan Kapolri, demikian sumber itu, gencar membagi-bagikan proyek kepada anak dan kerabatnya. Caranya tak kentara. Mereka menjadi calo proyek bagi para pengusaha yang berminat menggaruk proyek di Mabes Polri.
Putra sulung Roesmanhadi, Rudy Bratanusa, diketahui pernah memakelari PT Sri Redjeki Isman (pemilik pabrik tekstil Sritex di Solo) untuk memuluskan proyek pengadaan peralatan penindakan huru-hara, terutama rompi antipeluru. Menurut dokumen pemeriksaan khusus itu, tiga kali proyek serupa senilai masing-masing Rp 11,4 miliar diraup oleh perusahaan ini. Tim pemeriksa juga menyatakan penunjukan rekanan ini dilakukan langsung oleh Kapolri.
Bahkan, menurut seorang perwira interpol, Rudy juga terlibat bisnis jual-beli senjata gelap. Yang kerap diimpor adalah senjata swadesain dengan harga mencapai Rp 120 juta per pucuk. Pembelinya, para eksekutif di Jakarta.
Rudy Arbayu, karyawan PT Also Putra Indonesia, yang ke sana-kemari menonjolkan dirinya sebagai kemenakan sang Kapolri, juga melakukan hal serupa. Kesaktian Arbayu tercatat ketika memotong sebuah perusahaan pemenang tender rompi antipeluru. Dengan penawaran termahal, berkat katebelece sang Paman, beberapa waktu lalu PT Also berhasil meraup proyek rompi senilai Rp 11,1 miliar itu. Sudah itu, masih juga mendulang proyek pengadaan 11 unit mobil Mitsubishi SPJB 05 senilai Rp 1,7 miliar dan proyek rehabilitasi mobil observasi reserse. Lalu apa yang terjadi? Rompi yang diperuntukkan bagi anggota Brimob yang bertugas di Aceh itu telat disediakan, perbaikan mobil reserse juga molor.
Untuk semua patgulipat ini, menurut sumber itu, Roesmanhadi disokong sepenuhnya oleh Asisten Perencanaan saat itu, Mayjen Adang. Lewat tangan kanannya inilah, Roesmanhadi memotong jalur yang semestinya—melalui Direktur Logistik—dalam memutuskan pelaksanaan sebuah proyek. Saat itu semua penunjukan rekanan dilakukan oleh Roesmanhadi bersama Adang. Keputusan rekanan mana yang mesti diloloskan lalu disampaikan staf Adang, Paban III/Srena Kolonel Edi Santoso, ke jalur yang semestinya: Direktur Logistik.
Nah, sekarang tinggallah tugas Direktur Logistik dan Kepala Sub-Direktorat Perlengkapan yang mesti pura-pura menyelenggarakan tender—siapa "pemenangnya" sudah dipastikan duluan—dan melengkapi berbagai persyaratan administrasi lainnya. Klop, permainan pun berlangsung mulus. Sampai "bom" Irjen Dephan itu meledak pekan lalu.
Kepada TEMPO Roesmanhadi membantah semua tudingan itu, termasuk keterlibatan keluarganya dalam urusan penanganan proyek di Mabes Polri (lihat Roesmanhadi: "Akan Saya Gugat Balik!"). Ia malah balik menuding ada sebuah konspirasi jahat yang tengah membidik dirinya.
Begitu pula dengan Kapolda Jawa Barat, Mayjen Adang Daradjatun. "Saya tidak melihat adanya kebenaran dari hal-hal yang dipersangkakan itu," katanya. Ia bahkan balik menantang dengan menyatakan kesiapannya dihukum jika terbukti korup ketika menjabat Asisten Perencanaan Mabes Polri saat itu.
Palu hakimlah yang akan memutuskannya.
Karaniya Dharmasaputra, Edy Budiyarso, Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini