Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Katumbiri: Komik Romantisisme Misteri Bandung Pascakolonial

Novel komik Katumbiri menyajikan naskah dan visual gambar. Mengeksplorasi masa lalu, melipat waktu lalu dan kini dalam karya.

16 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sebuah novel dalam bentuk komik yang mengeksplorasi teks dan visual.

  • Yaya Riyadin dengan ketelitiannya melakukan riset yang mendalam dan menghadirkan cerita tokoh-tokoh dalam novel Katumbiri.

KOLONIALISME bukanlah kejadian (yang berasal) dari luar suatu negeri atau bangsa tertentu, bukan sekadar sesuatu yang beroperasi dengan daya-daya kolusi di dalamnya, melainkan suatu versi yang bisa diduplikasi dari dalam. Jadi, jauh dari keberadaannya sebagai istilah yang bisa diterapkan tanpa pandang bulu, pascakolonialisme hadir dengan berlapis-lapis kualifikasi dan kontradiksi.

Memahami pascakolonialisme lebih membantu untuk menganggapnya bukan datang secara harfiah setelah kolonialisme dan menandai kematiannya, melainkan lebih luwes sebagai kontestasi atawa tandingan atas dominasi kolonial dan warisan-warisan kolonialisme (Loomba, 2001:12).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan pendekatan ini, siapa pun bisa menepis rasa sungkan ketika terkagum-kagum pada presisi gambar realis Yaya Riyadin dalam komik Katumbiri: Regenboog (2023). Komik ini memang dengan sadar tampak mengedepankannya sebagai konsekuensi keterpesonaan terhadap alam sekitar Bandung, baik secara holistik dalam prinsip maupun secara makroskopik dalam teknik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ilustrasi Bandung pada 2018 dalam novel grafis Katumbiri: Regenboog karya Yaya Riyadin. Dok. Yaya Riyadin

Realis bisa berarti setia dengan apa adanya, dalam segala hal, dan mencakup semua. Namun, meski berjudul Katumbiri (kata dalam bahasa Sunda yang berarti pelangi atau regenboog dalam bahasa Belanda) yang dapat bermakna keberagaman, komik ini membatasi naratif dan wacananya dalam dua dimensi waktu, 2018 dan 1915, di satu ruang. Latar tempatnya adalah Bandung dan sekitarnya dengan segenap hibrida kebudayaan di wilayah pascakolonial.

Naratif memungkinkan pelipatan waktu 2018 dan 1915 dihubungkan dengan peristiwa tertidurnya peran seorang bernama Ganesha di dalam tenda di Curug Lalay di Bogor, Jawa Barat, nan permai. Setelah kejadian itu, Ganesha, mahasiswa S-2 jurusan hidrologi di International Institute for Infrastructural Hydraulic and Environmental Engineering (IHE) Delft, Belanda—yang pendidikan S-1-nya Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung—berproses menjadi Raden Putra Martanagara, anak angkat Bupati Bandung Raden Adipati Aria Martanagara (1845-1926), setelah menyelamatkannya dari usaha pembunuhan pada 1915.

Pengangkatan ini merupakan titik kritis, karena bapak angkat itu faktual, tapi sang anak bukan hanya fiksional, melainkan berasal dari masa depan, dalam posisi kekasih Puspasari, anaknya. Titik kritis ini dibereskan kemudian dengan menghilangnya Raden Putra Martanagara dalam perjalanan naik kereta kuda ke Pasirmalati untuk menjemput orang tuanya karena akan memperkenalkannya sebagai besan selepas perkawinan dengan Puspasari.

Ilustrasi keindahan alam di Bandung, Jawa Barat, dalam novel grafis Katumbiri: Regenboog karya Yaya Riyadin. Dok. Yaya Riyadin

Sebetulnya Ganesha yang sama bangun kembali di tendanya pada 2018. Sebab, setelah tertidur sampai dua hari, badannya digoyang-goyang Ujang, seorang sopir angkutan kota yang rumahnya dekat dengan tendanya. Dikisahkan, Ganesha menyebut-nyebut Mang Daroji, sais kereta tahun 1915, yang adalah kakek buyut Ujang. Disebutkan bahwa Mang Daroji meninggal (bukan hilang) sebelum ayah Ujang lahir. Artinya tersisa misteri tak terjelaskan. Sebab, jika tidak ikut hilang, tentunya Mang Daroji mewariskan cerita.

 

•••

GAMBAR-GAMBAR komik ini tentu saja elok, tapi keelokannya baru berbunyi karena menjawab kerinduan akan masa lalu. Keelokan yang dihadirkan bukan tentang masa lalu Nusantara, melainkan Kabupaten Bandung pada 1915 semasa pemerintahan Hindia Belanda, yang menghadirkan kemapanan kolonial yang bukan suatu masalah. Sebaliknya, kemapanan kolonial itu serba diterima sebagaimana tampak hadir “seperti negara sendiri”—meskipun ternyata bukan tanpa pergulatan antarwacana.

Tahun 2018 dan 1915 terhubungkan seperti spiral, ulang-alik tapi tak pernah putus. Ganesha dan Putra Martanagara bukan orang yang sama, tapi dijiwai satu orang, siapa pun dia. 

Ilustrasi keindahan alam di Bandung, Jawa Barat, dalam novel grafis Katumbiri: Regenboog karya Yaya Riyadin. Dok. Yaya Riyadin

Semua orang dari 1915 seperti tetap hidup pada 2018 dengan masih membawa persoalan lama: persoalan konstruksi kolonial. Patah hatinya kakek buyut Pieter van Hauvel terhadap Puspasari menjadi tanggungan cucu buyutnya, Laurens van Hauvel. Amelia, yang menjadi pelampiasan dendam, tanpa diketahuinya adalah cucu buyut Puspasari. Amelia dibela oleh Ganesha yang adalah Putra Martanagara pada 1915, suami Puspasari dan kakek buyut Amelia.

Itu alur utama (main plot) yang menjadi kerangka. Alur bawahan (subplot) yang menjadi dagingnya: agen intelijen Jerman, Klaus Kruger (berinterteks dengan Klaus Kinski), mengincar bahan “hyper-energy” di bawah kebun kopi Raden Koswara Rutjita. Ia mengerahkan Gerard Jonker, yang nantinya insaf; Jan van Cleef (berinterteks dengan Lee van Cleef), sniper dari Texas, Amerika Serikat; dan yang terhebat Marius Brecht, petarung jalanan bermodal ilmu silat Gunung Cikuray didikan Ki Halimoen, yang nantinya bercucu murid Aki Juhana atau Johan.

Ilustrasi Bandung pada 1915 dalam novel grafis Katumbiri: Regenboog karya Yaya Riyadin. Dok. Yaya Riyadin

Varian lain alur bawahan ini adalah pasangan serba campuran, yang tak mesti dalam arti rasial, melainkan kebudayaan, seperti tampak dalam segala penggambaran hubungan romantik serba bersegi, baik sukses maupun gagal, antara Pieter van Hauvel, Puspasari, Putra Martanagara, dan Glenda de Boer pada 1915, serta boleh diteruskan antara Ganesha, Amelia, dan Laurens van Hauvel pada 2018. 

Yang disebut penggambaran tentu termasuk visual realis budaya semasa kolonial. Rumah-rumah dan gedung-gedung Kota Bandung tersebut jelas menunjukkan superioritas kaum kolonis, tapi kompleks bangunan yang akan menjadi Institut Teknologi Bandung dan Jembatan Cimalati merupakan kontestasi atas superioritas itu. Desain Sunda kuno Julang Ngapak sebagai atap gedung-gedung ITB dan penguasaan teknologi Barat oleh Putra Martanagara dalam pembangunan Jembatan Cimalati menunjukkan negosiasi dalam pergulatan antarwacana sepenuhnya.

Ilustrasi Bandung pada 1915 dalam novel grafis Katumbiri: Regenboog karya Yaya Riyadin. Dok. Yaya Riyadin

Penggambaran adegan duel Ganesha-Gerard Jonker memperlihatkan pergulatan tersebut. Ganesha yang berkostum hibrida Sunda-Eropa unggul melawan pistol dengan mengandalkan mekanika lontar pisau Barat.

Latar, kisah, dan ideologi bahwa masa lalu tampak ideal mengembangkan eksotisme: Katumbiri: Regenboog hadir spektakuler dengan mengadon budaya hibrida Belanda, Sunda, Tionghoa, dan kriminalisme global. Superioritas lokal yang paling menonjol adalah “silat bersepatu”—bukankah Mauris Brecht menguasai dunia tarung jalanan Eropa dengan ilmu Sirnaraga ajaran Bratakusuma atawa Ki Halimoen itu?

Ilustrasi adegan duel dalam novel grafis 'Katumbiri: Regenboog' karya Yaya Riyadin. Dok. Yaya Riyadin

Alur cerita berputar balik: Bratakusuma bermurid Marius, yang sebagai Si Pengkor dari Gunung Cikuray beranak Johan; yang sebagai Aki Juhana bermurid Ganesha pada 2018, yang pada 1915 sebagai Putra Martanagara digembleng ulang oleh Bratakusuma. 

Di sini waktu tidak linear, melainkan eliptis, seperti spiral yang berulang-alik, tapi setiap kali menjadi alur baru—seperti yang masih akan dimungkinkan pada seri selanjutnya. Betapapun demikian, ada dua dimensi waktu karena telepon seluler, yang habis baterainya di masa lalu, menjadikannya kembali linear.

Ilustrasi duel Ganesha-Gerard Jonker dalam novel grafis 'Katumbiri: Regenboog' karya Yaya Riyadin. Dok. Yaya Riyadin

Semangatnya adalah meraih masa lalu yang tampak lebih baik: indah tanpa polusi, damai dalam kolonialisme Belanda. Yang nyaris mengganggunya adalah anasir Jerman dan Amerika Serikat yang segera bisa ditepis melalui kerja sama Belanda dan Sunda. Pascakolonialisme menghadirkan Indonesia dalam Katumbiri: Regenboog dengan segala jejak kolonialisme berhibrida superioritas tradisi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus