Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Yaya Riyadin mengenal dan jatuh cinta pada komik sejak kecil. Hidupnya tak jauh dari pekerjaan visual.
Tantangan hidup membawa Yaya mewujudkan komik impiannya dan pandemi membawa Yaya menekuni karya-karyanya lebih intensif.
YAYA Riyadin tengah sibuk menyiapkan komik Katumbiri: Regenboog edisi berwarna. Cerita bergambar setebal 220 halaman itu direncanakan meluncur pada Juni 2024. Selama sebulan, sejak April hingga Mei 2024, dia membuka pemesanan awal atau pre-order dengan harga Rp 500 ribu. Beberapa halaman berwarna, seperti cover atau sampulnya, telah diunggah di akun Instagram-nya dua tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semula komik berukuran 27 x 19 sentimeter itu dicetak perdana tanpa kelir. Jilid pertama setebal 100 halaman mulai dikirim ke pemesan pada Maret 2022. Setelah itu, Yaya melanjutkan sambungan ceritanya pada jilid kedua yang dirilis hampir setahun kemudian, yaitu Februari 2023. Kini komik hitam-putih yang sudah tiga kali dicetak itu terjual sekitar 2.000 eksemplar. “Masih kurang menurut saya. Targetnya mungkin bisa sampai sekitar 10 ribu,” katanya pada Rabu, 15 Mei 2024. Harga dua jilid komik itu dibanderol Rp 400 ribu sepaket.
Yaya memulai kiprahnya di dunia komik dengan judul Katumbiri: Regenboog, yang diambil dari kata dalam bahasa Sunda dan Belanda yang sama-sama berarti pelangi atau bianglala. Menilik gambar dan ceritanya, banyak orang tak percaya lelaki yang lahir di Kuningan, Jawa Barat, 27 Maret 1961, itu baru kali ini membuat buku komik. Sebagai pendatang baru, sampul Katumbiri: Regenboog Jilid Kedua dinobatkan sebagai yang terbaik dibanding tiga nomine lain dalam Pesta Komik 2023 di Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyukai buku komik sejak kecil, Yaya harus membacanya sembunyi-sembunyi karena sering dimarahi orang tua. Membuat komik pun menjadi keinginan lamanya yang terpendam, meski ia dan tim kerjanya di kantor kerap menggarap komik-komik pendek untuk promosi produk. Hingga 2020, ketika muncul pandemi Covid-19, bisnis perusahaannya anjlok dan kesibukannya sebagai art director iklan berkurang. Saat itu impiannya dan peluang menggarap buku komik terkembang.
Ide besar komik Katumbiri: Regenboog adalah waktu yang berasal dari endapan pengalaman, keinginan, dan khayalan, serta ketertarikannya pada mesin waktu. “Andaikan manusia bisa pergi ke masa lalu, itu kan masih misteri tentang waktu,” ujarnya. Fantasinya yang bercampur dengan kenangan masa lalu dan harapan baru lantas diraciknya lewat panel-panel gambar.
Berlatar cerita di Bandung, kota yang dianggap sebagai kampungnya sendiri, Yaya menjadikan Ganesha sebagai tokoh utama. Alkisah, lulusan Institut Teknologi Bandung yang melanjutkan studi hidrologi ke Belanda itu diminta profesornya meneliti di Kampung Pasirmalati di daerah perbukitan Bandung utara. Konon, pada awal abad ke-20, seorang pribumi bernama Putra Martanagara di sana membangun Jembatan Cimalati yang secara teknis melampaui teknologi pada zamannya.
Penelusuran itu kemudian melontarkan Ganesha ke petualangan di masa lampau, jauh sebelum ia dilahirkan. Yaya menarik rentang waktunya di era modern pada 2018 mundur ke 1915. “Pada waktu itu Revolusi Industri sudah melanda Hindia Belanda. Barang-barang seperti mobil, sepeda motor, dan alat elektronik menarik untuk menjadi bahan cerita dan visual,” ucap anggota angkatan 1981 Seni Grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung yang lulus pada 1988 tersebut.
Bangunan ceritanya disusun berbasis riset untuk menengok sejarah tokoh, peristiwa, dan tempat di sekitar Bandung. Informasi dari Internet dia perjelas dengan menyambangi perpustakaan serta berbincang dengan warga setempat, orang tua, dan temannya yang tinggal di Belanda. Dia melakukan riset itu sambil menulis naskah dan membuat storyboard serta alur cerita komiknya selama enam bulan di sela profesinya sebagai konsultan pemasaran. Kemudian ditambah dua bulan untuk menggambar komik. “Tantangannya banyak, terutama waktu, karena masih harus berbagi dengan pesanan pekerjaan lain,” kata Yaya.
Bagi dia, riset sangat penting dalam pembuatan karya, termasuk komik. Yaya pun memerlukan peristiwa dan tokoh yang nyata untuk dikombinasikan dengan kejadian dan sosok fiksi agar jalinan ceritanya tersambung kuat. Misalnya ia menyelipkan kisah Bupati Bandung Raden Adipati Aria Martanagara yang pernah mengalami empat kali usaha pembunuhan, tapi semuanya gagal. Di Katumbiri: Regenboog Jilid Kedua, sang Bupati digambarkan tengah dibidik oleh sniper Jan van Cleef.
Adegan itu, menurut Yaya, terinspirasi dari film The Day of the Jackal produksi 1973 yang membuatnya terkesan saat menontonnya ketika masih duduk di sekolah menengah pertama. Film itu menceritakan usaha pembunuhan Presiden Prancis Charles de Gaulle oleh seorang sniper bayaran saat menghadiri acara di Champs-Élysées, Prancis. Serpihan cerita sejarah lain yang bertebaran membuat orang menyangka komiknya sebagai karya nonfiksi sejarah. “Niatnya memang fiksi, tapi berdasarkan sejarah, sehingga komiknya seolah-olah nonfiksi,” tutur Yaya.
Komik Katumbiri: Regenboog, dia mengungkapkan, condong ke genre romansa misteri. Sisipan aksi dikerahkan untuk mengikuti selera pasar. Lewat komik itu juga Yaya mengungkapkan kegundahannya soal Bandung yang kurang terawat dan hanya dipoles secara kosmetik agar seolah-olah cantik. Selain menyoroti bangunan cagar budaya, dia prihatin terhadap kondisi alam, sosial, budaya, dan lingkungan kotanya. “Saya berharap orang-orang akan tergugah merawat alam Bandung yang kondisinya sekarang terkesan brutal,” ujarnya.
Selain menampilkan panorama hutan yang ciamik, Yaya menghadirkan kembali aneka satwa liar yang kini sulit ditemui di habitat aslinya untuk dikenang. Beberapa pernah dia lihat semasa kuliah ketika berjalan-jalan ke Hutan Dago Pakar, Maribaya, dan Jayagiri serta Gunung Tangkuban Parahu, seperti kucing hutan, elang, kelelawar, garangan, dan musang. Pun harimau ikut digambar. “Komik ini Bandung pisan,” dia menambahkan.
Soal gaya gambar dalam komiknya, Yaya mengaku terinspirasi dua ilustrator, yaitu Cornelis Jetses dan Onong Nugraha. Gambar Jetses dari Belanda (1873-1955), menurut Yaya, banyak tersebar di buku pelajaran sekolah zaman Hindia Belanda. Dia mengaku terpukau oleh gambaran orang lokal, situasi, arsitektur, alam, dan lingkungannya yang mirip aslinya, meskipun Jetses belum pernah datang ke Indonesia. Observasinya hanya berasal dari kiriman foto dan hasil riset.
Sementara itu, Onong adalah dosennya semasa kuliah di ITB yang mengajarkan gambar ilustrasi saat semester II. “Gambarnya bagus, bergaya Mooi Indie dan mirip dengan Jetses,” kata Yaya. Kreasi gambarnya dimulai dengan tangan secara manual lalu dipindahkan ke komputer untuk dipoles aplikasi gambar, termasuk untuk membuat teks dan pewarnaan. Sejauh ini dia enggan menjual komiknya dalam format digital. “Karena buku secara emosional lebih berkesan dan bisa juga menjadi hadiah,” ucapnya.
Menurut budayawan dan penulis Hawe Setiawan, komik Katumbiri: Regenboog terlihat digarap melalui riset yang serius disertai observasi. Elemen kostum dan properti lain pun digambarkan sesuai dengan zamannya. Dia menduga Yaya telah terbiasa melakukan semua itu sebagai bagian dari kerjanya di bidang periklanan. Ceritanya yang mempertemukan masa lalu dan sekarang dinilainya juga mengandung elemen tradisi komik Indonesia. “Seperti pendekar silat, romansa atau kisah cinta, dan realitas zaman kolonial dan sesudahnya,” tutur Hawe pada Ahad, 19 Mei 2024.
Mengenai plot yang menggunakan alur maju dan mundur secara bergantian, hal itu dinilainya lazim dipakai penulis sastra seperti Zen Hae, Eka Kurniawan, dan Pramoedya Ananta Toer. Walau dibalut unsur sejarah, menurut Hawe, komik Katumbiri: Regenboog merupakan karya fiksi yang seolah-olah nonfiksi. “Dalam fiksi, sesuatu itu bisa terjadi, tapi dalam nonfiksi sejarahnya telah terjadi,” ujar Hawe. Dia pun melihat komik Yaya dipengaruhi oleh karya Jetses dan Onong yang realis dan naturalis.
Sebelum dan selain Yaya, sejumlah komikus di Bandung telah menjadikan riset dan sejarah sebagai bagian penting dalam proses penggarapan komik. Takaran porsinya sesuai dengan kebutuhan ide cerita, seperti yang dilakoni Sweta Kartika dari komunitas Padepokan Ragasukma, Yohan Alexander alias Zoe Iskander, dan komikus serta ilustrator senior Toni Masdiono yang kini berusia 63 tahun. “Riset dan latar sejarah itu bukan suatu kredo bagi komikus, tapi pilihan saja,” ucap Toni pada Kamis, 23 Mei 2024.
Saat menggarap komik tunggal perdananya yang berjudul Karimata 1890, Toni kesulitan mendapatkan data hingga pengerjaannya memakan waktu lama. Komik yang berkisah tentang pengembara jago silat itu dirampungkannya pada akhir 2019. Keunikannya tak lazim di dunia perkomikan Tanah Air. Toni menjajal karya yang disebutnya a silent comic alias cerita bergambar yang senyap.
Sampul komik Karimata 1890 karya Toni Masdiono.
Komik itu menihilkan dialog karakter lewat balon-balon kata yang lazimnya muncul pada tiap panel halaman. Toni hanya memberi sedikit pengantar di komiknya. Selanjutnya ia membiarkan pembaca membayangkan sendiri dialognya. “Jadi komik senyap, di kepala kita yang ramai,” ujarnya. Model komik seperti itu, menurut dia, bukan sesuatu yang baru karena komikus luar negeri sudah lama membuatnya.
Adapun eksperimen Toni terdorong oleh undangan ke Singapore Comic Con 2019. Panitia memintanya datang dengan membawa karya komik. Pada tahun sebelumnya, dalam acara itu ia hanya membawa artwork komiknya. Saat itu komik Karimata 1890 yang masih dalam pengerjaan kemudian dipercepat penyelesaiannya. “Keuntungan saya waktu itu, komiknya tanpa teks, tapi katanya enggak apa-apa,” ucap Toni.
Jadilah komik itu meluncur perdana di Singapura dan ludes terjual hingga 40 eksemplar. Selanjutnya, komik yang dicetak secara digital sebanyak sekitar 500 eksemplar itu dibanderol dengan harga awal Rp 125 ribu. Kini Toni berencana memperpanjang kisah komik Karimata 1890 hingga dua kali lipat dari yang sudah terbit. “Bukan lanjutan, tapi extended version, karena cukup banyak penyesuaian,” tuturnya.
Konsep komik senyap kemudian diterapkan lagi pada karya terbarunya yang berjudul Lao Sam yang telah dicetak dua kali masing-masing sebanyak 1.000 eksemplar. Penggarapannya juga berbekal riset dan observasi lokasi, yaitu Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Menginap di sana selama tiga hari, Toni mempelajari sejumlah hal, merasakan suasana, dan membaca beberapa kejadian di sana. “Salah satunya soal candu. Saya sempat melacak sedikit di sana,” katanya.
Toni mengaku hanya mengaitkan kisah fiksinya dengan potongan sejarah yang bobotnya kurang dari 50 persen. Sejarah ia tempatkan sebagai pengantar mengenai kejadian pada zaman itu dalam komik. Sempat ingin melakukan intervensi soal sejarah lewat gambar, dia mengurungkan niat itu karena dalih usia. “Saya lebih senang yang saya bikin cukup menghibur dan bisa dinikmati tanpa perlu orang menjadi mikir,” tuturnya.
Dia menjelaskan, komik-komik yang cukup lama dikenang memuat cerita dengan latar sejarah atau budaya. Komik wayang, misalnya. “Tidak semena-mena ceritanya muncul dari antah-berantah, ia punya kaitan dengan sejarah sehingga dibicarakan terus-menerus,” ucap Toni. Secara pribadi, dia lebih senang ide komiknya berkaitan dengan budaya yang dikenalnya. Pengetahuan itu bisa menguatkan faktor storytelling atau penceritaan untuk memikat pembaca. “Dari storytelling bisa dikembangkan ceritanya untuk dagangan lain dari komik.”
•••
KOMIK Katumbiri: Regenboog yang digarap serius selama setahun dengan analisis pasar pembacanya kini menjadi pembuka karier baru. Yaya Riyadin dengan mantap telah mengubah status profesinya dari konsultan pemasaran menjadi komikus. Selepas Katumbiri: Regenboog meluncur, cetakan poster dan kaus bergambar komiknya ikut laris.
Menyusul kemudian, utusan dari sebuah perusahaan besar mendatangi rumahnya. Mereka mengajak Yaya bekerja sama menerbitkan komik Katumbiri: Regenboog, tapi Yaya menolak. “Royalti dan segmentasi pasarnya menurut saya kurang sesuai,” katanya.
Reputasi Yaya ikut melesat seiring dengan meningkatnya harga pesanan gambar ilustrasi. Sebuah perusahaan kertas menyewa sampul komik Katumbiri: Regenboog Jilid Pertama selama dua tahun seharga Rp 20 juta. Perusahaan produksi film dan distributor video berlangganan asal Amerika Serikat juga kepincut memakai jasanya untuk membuat 15 gambar ilustrasi bagi promosi filmnya dengan bayaran Rp 60 juta. Kerja sama lantas berlanjut ke rencana pembuatan film serial dan film bioskop hasil adaptasi komik Katumbiri: Regenboog.
Ihwal pengembangan komiknya, Yaya mengatakan, selain dalam bahasa Indonesia, akan menyusul edisi bahasa Prancis, Belanda, dan Inggris. Katumbiri: Regenboog kemudian akan berlanjut ke karya dan petualangan baru mengenai kisah kedatangan komedian film bisu asal Inggris, Charlie Chaplin, di Garut, Jawa Barat, yang konon sampai dua kali berkunjung pada 1920-an dan 1930-an.
Komikus dan ilustrator senior Toni Masdiono mengatakan komik bukan merupakan karya puncak atau produk akhir, melainkan bisa dikembangkan menjadi beragam medium. Dari komik, ceritanya bisa diadaptasi ke film, novel, atau usaha lain, seperti merchandise dan tempat usaha tematik berbasis komik. Pemekaran intellectual property komik itu bisa dilakukan dari karakter, gambar, atau kisahnya.
Lama bergelut di dunia perkomikan Tanah Air, lelaki yang lahir di Malang, Jawa Timur, 24 Maret 1961, itu merasakan kini ada semacam euforia di kalangan komikus dan penggemar komik domestik. Sempat surut pada 1980-an hingga nyaris hilang pada 1990-an, industri komik Indonesia bangkit pada 2000-an hingga makin ramai setelah 2010. Kondisi itu ikut menyebabkan Toni nekat mundur sebagai dosen di sebuah kampus swasta di Bandung agar makin leluasa berkarya komik.
Saat terjadi pandemi Covid-19, dia mulai mengerjakan komik Lao Sam yang baru selesai dua setengah tahun kemudian. Sementara itu, karya para komikus yang dijual lewat pemesanan awal atau pre-order juga laku. “Sekarang, dua tahun seusai pandemi, luar biasa sekali keramaian komik,” tutur penulis buku 14 Jurus Membuat Komik itu. Toni melihat indikatornya dari pameran komik, seperti di Jakarta dan Yogyakarta, yang jumlah peserta dan pengunjungnya melebihi acara di Bandung.
Selain di tiga kota itu, kantong komikus berada di Semarang, Surabaya, Malang, Denpasar, dan Makassar, serta sejumlah wilayah di Sumatera. “Kalau melihat sekarang ini Yogyakarta cepat sekali pertumbuhan komikusnya,” kata Toni. Generasi baru komikus dan pembacanya pun berkembang dari kalangan pelajar sekolah menengah atas hingga mahasiswa. Adapun dari segi genre, umumnya yang masih bertahan dan berkembang adalah horor, komedi, dan drama. Tren komik itu diperkirakan masih akan berlanjut tiga-lima tahun mendatang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Yaya Riyadin dan Mesin Waktu Bandung"