Enam perwira TNI tidak akan memenuhi panggilan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Mereka dipanggil sebagai saksi kasus pelanggaran hak asasi di Trisakti dan Semanggi pada 1998. Kamis pekan lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diminta Komisi Penyelidik melakukan pemanggilan paksa terhadap enam petinggi militer, memutuskan tak bisa melakukannya. Alasan pengadilan, surat-surat pemanggilan yang pertama dan kedua terhadap para perwira itu belum patut secara hukum.
Andi S. Nganro, Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menyebut bahwa alamat surat tak jelas. Isi surat hanya merupakan undangan untuk menghadiri pertemuan, dan bukan panggilan yang tegas. Itu faktor ketidakpatutan tersebut. Pengadilan menganjurkan agar surat-surat tersebut diulang.
Merujuk Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pemanggilan paksa memang bisa dilakukan Komisi Penyelidik dengan bantuan pengadilan negeri bila pemanggilan pertama dan kedua tak diindahkan.
Apa reaksi Komisi Penyelidik? Usman Hamid, Sekretaris Komisi Penyelidik, menyatakan akan segera membahas pemanggilan ulang dalam rapat pleno di lembaganya. Langkah yang akan diambil, "Secepatnya akan kita umumkan," katanya.
Tanggapan berbeda diungkap Timor Manurung, Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI. Kalaupun nanti surat panggilan diulang, tidak berarti anggotanya akan memenuhi panggilan tersebut. Adapun perwira yang menolak panggilan Komisi Penyelidik adalah bekas Panglima TNI Jenderal Wiranto, Letjen Djadja Suparman, Kol. Inf. George Toisutta, Kol. Art. Priyanto, Letkol Inf. Amril Amin, dan Letkol Inf. D.J. Nachrowi.
Sebab, pihaknya sejak awal tak mengakui keberadaan komisi itu. Sikap yang sama juga disampaikan Jenderal Wiranto. Bekas Panglima TNI ini jelas menyatakan tidak akan menanggapi pemanggilan tersebut. Alasan Wiranto, DPR menyatakan dalam Tragedi Mei 1998 tidak terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia, dan DPR sudah merekomendasikan pengadilan ad hoc hak asasi manusia yang kini sedang berjalan. Pengadilan ad hoc memang berjalan. Cuma, yang diadili hanyalah prajurit "bawahan" yang pangkatnya paling tinggi letnan.
Tanggung jawab, menurut Wiranto, tak bisa dibebankan pada Panglima TNI yang menugasi aparat keamanan untuk mencegah kejadian itu dengan sekuat tenaga, tapi aparat diprovokasi begitu dahsyat. Kalau ada yang harus bertanggung jawab, "Itu hanya komandan yang dua tingkat di atas pelaku," kata Wiranto. Dia ada delapan tingkat di atas pelaku itu.
Jadi, dia tak terjangkau hukum?
Dwi Wiyana, IG.G. Maha Adi, Cunding Levi (Jayapura), Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini