Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI biara susteran Amalkasih Darah Mulia, Ainun Jamilah, perempuan muslim bergamis dan bercadar asal Makassar, Sulawesi Selatan, tercekat saat mengingat bom bunuh diri di gerbang Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus atau Gereja Katedral Makassar tiga tahun lalu. Teror dan kekerasan yang melibatkan kelompok Jamaah Ansharut Daulah atau JAD itu masih membekas di kepala Ainun. “Saya selalu gemetar ketika mengingatnya,” kata Ainun saat ditemui Tempo di Biara Kongregasi Suster-suster Amalkasih Darah Mulia di Kotabaru, Yogyakarta, Selasa, 26 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada sore yang kelabu karena mendung, di hadapan puluhan anggota umat lintas iman, Ainun mengisahkan peristiwa ledakan bom di katedral dan perjuangannya melawan stigma dan kekerasan terhadap perempuan muslim bercadar. Ainun bersama komunitasnya, Cadar Garis Lucu, menggelar acara buka puasa dan refleksi kelahiran komunitasnya. Refleksi itu membicarakan rekonsiliasi dan persahabatan antar-umat yang berbeda keyakinan. Selain tokoh Islam dan Katolik, sejumlah tokoh Kristen Protestan dan Baha’i meriung dalam ruangan bersalib itu. Ada juga peserta yang ateis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan ini, umat Katolik di seantero dunia tengah menyongsong Paskah. Minggu Palma telah berlangsung pada Ahad lalu. Sebelum Paskah, mereka bersiap menjalani Tri Hari Suci, masa penting bagi umat Katolik yang terdiri atas Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci.
Paskah mengingatkan orang akan serangkaian peristiwa ledakan bom yang terjadi pada hari suci itu. Bom di Katedral Makassar terjadi saat umat Katolik menjalankan ibadah Minggu Palma pada 28 Maret 2021. Sepasang laki-laki dan perempuan, Muhammad Lukman Alfarizi dan Yogi Safitri Fortuna alias Dewi Juwariya, meledakkan bom di Gereja Katedral. Dewi mengenakan cadar serba hitam saat meledakkan diri. Keduanya tewas seketika. Sebanyak 20 anggota jemaat dan petugas keamanan gereja terluka.
Siang itu, tubuh Ainun seketika mematung dan suaranya tercekat saat mendengar berita pengeboman pada Minggu Palma. Telepon seluler Ainun saat itu terus berdering. Teman-teman Ainun dari Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat atau Lapar Makassar menghubunginya untuk berkonsolidasi. Mereka segera menggelar pertemuan darurat guna membahas peristiwa itu. “Suasananya mencekam,” ujarnya.
Setelah pengeboman itu, Ainun mendapat peringatan dari teman-temannya agar tidak mengenakan cadar untuk sementara demi keselamatan dia. Ainun mendengar cerita sejumlah perempuan bercadar Makassar mendapat kekerasan setelah pengeboman karena kuatnya stigma. Sebagian perempuan bercadar dipukul, ada juga yang cadarnya ditarik. Mereka juga dilarang masuk pasar dan pusat belanja. Mendapat saran dari teman-temannya, demi keselamatan, Ainun sempat mengganti cadar dengan masker.
Situasi itu membuat alumnus Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar tersebut tergerak mengecam peristiwa bom Makassar bersama sejumlah aktivis. Mereka bersolidaritas terhadap anggota jemaat yang menjadi korban. Sepekan selepas pengeboman, Ainun menemui Uskup Agung Kota Makassar Mgr Johannes Liku Ada’.
Seusai misa pagi Paskah, menggunakan gamis berwarna putih dan cadar berwarna pink, Ainun membawa setangkup bunga yang ia berikan kepada Uskup Agung. Warna pakaian itu ia pilih sebagai simbol ketulusan permintaan maaf karena serangan bom yang dilakukan oleh orang yang seiman dengan Ainun, penganut Islam. Ainun menghindari cadar dan gamis serba hitam yang kebetulan dikenakan pelaku pengeboman untuk mengendurkan kecemasan dan ketegangan. “Penyangkalan bahwa pelakunya beragama Islam justru mempertebal luka-luka korban,” ucap Ainun.
Permohonan maaf kepada Uskup Agung dan jemaat Katolik itu bagi Ainun penting sebagai pengakuan bahwa ada sekelompok orang yang menggunakan dogma ayat-ayat tertentu untuk melakukan kekerasan. Selain itu, permintaan maaf tersebut bagian dari dukungan terhadap pemulihan korban pengeboman.
Pada hari yang sama, Ainun, yang bercadar sejak 2015, juga memimpin aksi solidaritas untuk korban bom di depan Monumen Mandala di Makassar. Ia menyanyikan lagu “Indonesia Raya” bersama para aktivis Aliansi Perdamaian Makassar. Selain menyanyikan lagu kebangsaan, mereka mendaraskan doa lintas iman serta membagikan bunga dan pernyataan sikap mengecam peristiwa bom Makassar.
Tidak mudah bagi Ainun dan komunitasnya untuk bertemu dengan Uskup Agung dan jemaat Katolik selepas pengeboman. Jaringan Ainun harus melobi Uskup Agung berkali-kali dan meyakinkan bahwa pertemuan itu penting sebagai jalan rekonsiliasi atau memulihkan persahabatan antara umat Islam dan umat Katolik.
Ainun Jamilah saat sesi diskusi dengan komunitas Cadar Garis Lucu dan jaringan lintas iman di biara susteran Amalkasih Darah Mulia di Kotabaru, Yogyakarta, 26 Maret 2024. Tempo//Shinta Maharani
Ainun bergerak bersama komunitas Cadar Garis Lucu yang dia inisiasi pada Februari 2021 atau sebulan sebelum peristiwa bom Makassar terjadi. Komunitas ini berdiri karena Ainun resah lantaran cadar diidentikkan dengan aksi teror, intoleran, dan anti-keberagaman. Padahal tidak semua perempuan bercadar demikian.
Komunitas Cadar Garis Lucu mempromosikan toleransi, inklusivitas, anti-kekerasan, dan perdamaian. Komunitas yang beranggotakan sembilan orang ini aktif menggelar diskusi bersama umat lintas iman di sejumlah forum. Mereka juga kerap melontarkan otokritik terhadap pandangan-pandangan dalam Islam yang kaku atau eksklusif.
Komunitas ini aktif mengunggah konten berisi narasi penghormatan terhadap keberagaman dan perdamaian melalui akun mereka di Instagram. Tidak semua anggota komunitas ini mengenakan cadar dan beragama Islam. Ada anggota yang beragama Kristen Protestan dan Katolik. Suster Aquila dari Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth adalah salah satu anggota komunitas Cadar Garis Lucu yang nonmuslim.
Suster Aquila yang berasal dari Medan, Sumatera Utara, itu menyatakan tertarik bergabung dengan Cadar Garis Lucu karena komunitas ini berani menyuarakan perdamaian dan rekonsiliasi antar-umat beragama. Aquila merasakan pentingnya rekonsiliasi untuk melawan fanatisme dan kebencian yang mengatasnamakan agama. Dia berharap kalangan lintas iman terus-menerus menjalankan gerakan serupa untuk menjaga toleransi antar-umat beragama. “Saya mengajak umat Katolik membuka diri bersama teman-teman lintas iman,” tuturnya.
Pertemuan sore itu juga diisi dengan diskusi yang melibatkan sejumlah narasumber dari kalangan akademikus kampus di Yogyakarta, yaitu Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Universitas Atma Jaya, dan Universitas Kristen Duta Wacana. Dosen kajian antar-agama, inter-religious studies, serta digital and humanities Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Leonard Chrysostomos Epafras, menjadi salah satu pengisi diskusi. Leonard adalah peneliti di bidang agama, Internet, dan budaya digital yang mengajarkan sejarah agama serta studi kekristenan, Yudaisme, dan perdamaian.
Dia pernah meneliti inisiatif kalangan muda (generasi Z dan milenial) menghadapi berbagai tantangan kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui ruang digital. Pada 2019, bersamaan dengan masa libur Paskah, Leonard meneliti 429 akun media sosial yang menggunakan embel-embel “garis lucu”. Contohnya komunitas Katolik Garis Lucu dan Cadar Garis Lucu.
Konten akun-akun tersebut, menurut Leonard, menggambarkan cara anak muda yang luwes dalam beragama dan menghadapi kekerasan yang sangat ekstrem. Agama bagi mereka bukan sesuatu yang kaku dan bisa dikemas dengan konten yang penuh humor. Leonard menemukan 53 persen akun mengunggah konten yang berhubungan dengan konsep keagamaan. Sebagian akun hanya mengunggah hal-hal yang biasa, tidak lucu, dan tidak menggugah.
Akun Cadar Garis Lucu bagi dia bagian dari gerakan yang menggugah dan berani. Bagi sebagian orang, cadar menjadi sesuatu yang keras dan radikal. Tapi komunitas Cadar Garis Lucu mampu menyuguhkan konten-konten yang menembus sekat-sekat identitas keagamaan. “Menjadi lucu dan melampaui paradoks keyakinan yang terlalu ekstrem,” ujar peneliti Indonesian Consortium for Religious Studies Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.
Ainun menyatakan tak mudah bagi komunitas Cadar Garis Lucu mengkampanyekan penghormatan terhadap keberagaman dan perdamaian. Akun komunitas itu mendapat caci maki setelah Ainun menemui Uskup Agung dan jemaat Gereja Katedral. Komentar bernada menyerang terhadap Ainun dan komunitasnya, seperti dicap sebagai kalangan sesat, datang bertubi-tubi. Komunitas itu juga mendapat tudingan mencoreng citra perempuan bercadar. Ainun mendapat desakan agar mengganti nama komunitasnya.
Ainun menanggapi santai komentar-komentar tersebut. Dia menyatakan komunitasnya tidak memaksa setiap individu setuju dengan mereka. Komunitasnya memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk berpikir dan berbicara, tapi tak boleh ada kekerasan.
Ainun berharap narasi perdamaian terus muncul di tengah keberagaman. Dia mencontohkan indahnya keberagaman saat puasa Ramadan serta Nyepi dan Paskah. Situasi itu semestinya menjadi momen refleksi bahwa orang Indonesia bisa hidup bahagia dan damai di tengah perbedaan agama. “Berhenti mendiskriminasi kelompok yang berbeda,” ucap Ainun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Persahabatan Perempuan Bercadar"