Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari, Denica Riadini-Flesch memamerkan busana yang dia kenakan lewat akun Instagram-nya. Pendiri dan Chief Executive Officer SukkhaCitta, wiraswasta sosial busana ramah lingkungan, itu bercerita, baju Kapas Nomad Coat berwarna putih tulang tersebut sudah sering dia kenakan satu setengah tahun terakhir.
“Setidaknya seminggu sekali aku gunakan (baju itu) untuk berbagai acara pertemuan, rapat, hingga perjalanan,” tulis Denica ihwal busana buatan SukkhaCitta yang dia kenakan tersebut di akun media sosialnya pada September 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Denica memang beberapa kali mengisahkan pengalamannya menggunakan baju yang sama secara berulang-ulang dalam acara formal ataupun nonformal. Tak seperti umumnya mereka yang berkecimpung di dunia fashion dan punya baju outfit of the day atau OOTD yang beragam, Denica terlihat bangga menunjukkan foto-fotonya dengan baju yang sama berkali-kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Denica itu merupakan upaya dia dan tim di SukkhaCitta mengedukasi masyarakat untuk lebih memahami penggunaan baju yang bertanggung jawab. Studi menyebutkan bahwa sebuah baju rata-rata hanya digunakan tujuh kali, lalu akhirnya dibuang.
Menurut Denica, baju yang dia pamerkan itu dibuat dengan model tidak mengenal musim sehingga bisa digunakan di berbagai kesempatan atau acara dalam waktu yang lama. Dengan selalu memamerkan diri mengenakan baju yang sama, Denica berusaha mengingatkan masyarakat bahwa, dengan berkali-kali digunakan, harga per pemakaian baju itu pun menjadi lebih murah.
Dulu, Denica mengungkapkan, ketika membeli sebuah baju, dia tidak pernah memikirkan berbagai dampak baju itu. “Aku beli baju atau batik untuk digunakan setiap hari Jumat, ya udah gitu aja (dibeli),” ucap Denica kepada Tempo dalam wawancara virtual, 28 Februari 2024.
Namun pemikirannya berubah saat dia melakukan survei ke daerah-daerah dan mendapati nasib ibu-ibu perajin, terutama batik dan tenun, yang sangat memprihatinkan. Menurut survei yang dia lakukan saat masih bekerja sebagai konsultan Bank Dunia, kemiskinan terkonsentrasi di beberapa industri. Salah satunya industri kerajinan.
Denica Riadini-Flesch (kanan) bersama ibu-ibu di Rumah SukkhaCitta./Dok. SukkhaCitta
Perempuan 33 tahun ini menemukan banyak ibu di desa yang menjadi perajin karena tidak ada pilihan lain. Kondisi itu sangat timpang dibanding di kota yang pilihan pekerjaannya sudah sangat banyak. “Ternyata, saat berbicara soal perempuan, kerajinan tangan ini menopang hidup begitu banyak masyarakat di desa,” ujar sarjana ekonomi dari Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda, tersebut.
Bertolak dari kenyataan itu, Denica pun tergerak untuk melakukan sesuatu yang berdampak langsung bagi ibu-ibu perajin di perdesaan. Ia memutuskan mengundurkan diri dari Bank Dunia. Ia kemudian berkeliling ke sejumlah daerah untuk mempelajari sistem industri kerajinan tekstil itu.
Berdasarkan penelitiannya, Denica menemukan sebagian besar perajin bekerja dari rumah masing-masing. Penghasilan mereka sangat kecil karena menjual karyanya kepada perantara alias makelar. Mereka tidak punya posisi tawar.
Dari situlah Denica makin terdorong untuk membuat usaha yang meningkatkan kesejahteraan pekerjanya dan tidak mengeksploitasi mereka. Pada 2016, lahirlah SukkhaCitta, sebuah wirausaha sosial yang berupaya menjembatani ibu-ibu perajin di desa langsung dengan konsumen.
Denica kemudian mencari ibu-ibu perajin di sejumlah desa yang dapat dibina SukkhaCitta. Saat itu ia hanya menemukan tiga ibu berusia 60 tahun ke atas yang masih memiliki keahlian kerajinan tangan tekstil. Kebanyakan anak muda di daerah itu memilih bekerja di minimarket dengan pendapatan sesuai dengan upah minimum regional atau UMR.
Ia pun memulainya dengan tiga ibu perajin yang sudah sepuh itu. “Kalau kita tidak mengerjakan sesuatu dari sekarang, kita akan kehilangan rantai kerajinan tangan ini yang biasanya diwariskan secara turun-temurun dari ibu ke anak,” tuturnya.
Lewat SukkhaCitta, Denica bersama perajin di desa-desa itu menciptakan tekstil buatan tangan yang proses produksinya berakar pada budaya lokal, memberdayakan para perajin, dan ramah bagi lingkungan. Denica bertekad melahirkan mode berkelanjutan atau sustainable fashion.
Namun perjalanannya tidak mudah. Para perajin ternyata masih menggunakan pewarna kimia untuk kain-kain buatan mereka. Harga pewarna kimia itu memang murah, tapi dampaknya pada alam cukup serius. Pencucian kain yang dilakukan berkali-kali menghasilkan air limbah kimia yang dibuang langsung ke sungai tempat anak-anak perajin bermain. Belum lagi zat kimia ini berdampak buruk bagi kulit para perajin.
“Bahkan, tanpa kita sadari, limbah beracun itu mencemari air yang juga menjadi sumber irigasi padi makanan kita sehingga balik lagi dampaknya ke kita,” ujar peraih penghargaan Forbes 30 Under 30 Asia 2019 dalam kategori Social Entrepreneurship tersebut.
Denica kemudian mencari tahu resep nenek moyang untuk pewarnaan alami kain dari para perajin. Dari mereka, ia antara lain mengetahui daun indigo yang bisa memberi warna biru dan kulit kayu secang yang menghasilkan warna merah. Untuk mengajak ibu-ibu perajin beralih ke pewarna alami, Denica kemudian mempelajari penggunaan pewarna alami dalam pembuatan kain.
Setelah masalah pewarnaan selesai, Denica menghadapi persoalan lain. Tanaman kapas sebagai bahan baku serat kain yang ditanam di ladang mereka masih menggunakan pestisida berbahan kimia untuk mengendalikan hama. Zat pestisida kimia itu bisa merusak tanah dan mencemari air.
Pohon kapas yang mereka tanam juga memakai sistem tanam monokultur yang kurang baik untuk kondisi tanah. “Artinya hutan itu harus dibabat untuk ditanami kapas. Jadi ia ditanam dengan cara menyakiti bumi,” ucap Denica, prihatin.
Setelah bertanya ke sana-kemari, perempuan yang tak punya latar belakang pertanian ataupun fashion ini pun baru tahu bahwa nenek moyang kita biasa menggunakan metode tumpang sari. Ini adalah metode tanam campuran dua jenis tanaman atau lebih pada satu area lahan secara bersamaan. Biasanya kedua jenis tanaman itu bersimbiosis dengan baik.
Denica kemudian mendekati petani kapas dan mengajak mereka menggunakan pola tanam itu. Selain membudidayakan kapas, petani menanam jagung dalam lahan yang sama. Hasilnya, kedua tanaman itu saling menguntungkan. Para petani tidak hanya memanen kapas untuk bahan serat kain, tapi juga memanen jagung buat dijual ke pasar atau dikonsumsi sendiri oleh para ibu dan keluarganya.
Adapun ihwal pestisida kimia yang digunakan para petani kapas, Denica kembali menggali kearifan lokal untuk menemukan solusinya. Dari warga setempat ia kemudian mengetahui ada bahan pestisida alami yang dapat digunakan dengan cara mencampur garam, cengkih, dan tembakau.
Selain di hulu, Denica dan tim dari SukkhaCitta mengasah keterampilan para ibu perajin tak sebatas membuat kain. Ia dan timnya juga mengajari para ibu agar punya wawasan dalam usaha serta menghubungkan mereka dengan para konsumen. Dengan demikian, hasil penjualan baju bisa memberdayakan para ibu perajin.
Menurut Denica, dari semua hambatan dalam perjalanan usahanya, yang paling menantang bagi dia adalah persepsi konsumen tentang harga. Banyak konsumen yang mempertanyakan kenapa harga baju produk SukkhaCitta yang bermitra dengan para perajin dan petani di desa-desa itu di atas rata-rata. Bahkan beberapa pihak menilainya cukup mahal.
Padahal, Denica menjelaskan, sebenarnya harga itulah yang paling pas untuk mengapresiasi ibu-ibu perajin dan petani serta berbagai proses yang diusahakan untuk tetap menjaga lingkungan. Saat ini ia menilai masyarakat dibuat putus hubungan dengan baju yang dikenakan. Akibatnya, mereka tidak mengetahui berbagai perjuangan dan upaya yang dilakukan dalam membuat sebuah baju.
Belum lagi dalam prinsip ekonomi, Denica menambahkan, konsumen acap ditekan untuk membeli produk lebih banyak sehingga harga baju dibuat lebih murah. “Harga saat ini adalah usaha kami untuk memastikan semua keluarga yang ikut dalam produksi pakaian itu bisa mendapatkan upah UMR,” ujarnya. Terbukti, tutur Denica, pendapatan para perajin di desa-desa yang digandeng SukkhaCitta naik sekitar 60 persen.
SukkhaCitta juga kian berkembang. Dari yang awalnya hanya ada tiga ibu perajin, saat ini sudah ada 1.482 perajin yang tersebar di sejumlah daerah di Tanah Air dan berkontribusi dalam pembuatan karya di SukkhaCitta.
Bukan hanya itu. Dulu para perajinnya kebanyakan orang lanjut usia. Kini, di bawah binaan SukkhaCitta, para perajin rata-rata berusia 28 tahun. SukkhaCitta juga telah mendirikan lima sekolah kerajinan yang sekaligus bertujuan menjaga kesuburan tanah hingga 43 hektare.
Denica Riadini-Flesch bersama tim SukkhaCitta di toko SukkhaCitta, ASHTA District 8 Jakarta./Dok. SukkhaCitta
Upaya Denica memberdayakan perempuan dan menyejahterakan masyarakat melalui mode yang ramah lingkungan tersebut membuahkan hasil. Denica dan SukkhaCitta diganjar banyak penghargaan nasional dan internasional. SukkhaCitta mendapatkan sertifikat B Corp dari organisasi nirlaba B Lab yang menyatakan perusahaan ini memiliki standar tertinggi dan kekuatan untuk mendorong perubahan positif dalam bidang sosial dan lingkungan.
Atas kerja-kerjanya itu, Denica meraih penghargaan Rolex Awards for Enterprise 2023. Lewat SukkhaCitta, Denica dinilai berhasil memberdayakan para perajin perdesaan di Indonesia untuk membuat pakaian dengan teknik tradisional dan ramah lingkungan.
Bagi Denica, SukkhaCitta adalah sebuah warisan. “SukkhaCitta bukan hanya sebuah pekerjaan, tapi legasi buat aku. Sebuah kepuasan sendiri ketika melihat perubahan mindset ibu-ibu yang bermitra dengan kami,” kata Denica.
Dulu banyak ibu perajin yang tidak percaya diri. Sekarang mereka secara aktif bisa mencari solusi bagi masalahnya sendiri. Misalnya saat mereka bersama-sama menabung demi membeli mobil jemputan untuk anak-anak mereka yang tinggal jauh dari sekolah.
Denica ingat, ketika pertama kali membuat pameran tentang karya serta foto para ibu perajin itu di kawasan Jakarta Selatan, ia dipandang sebelah mata. Namun berbagai penghargaan yang diterimanya membuktikan bahwa sekarang dunia justru merayakan kisah para ibu serta resep nenek moyang yang terus mereka jaga. “Sebuah privilege terbesar di hidup aku adalah bisa menyampaikan cerita mereka kepada dunia,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Penggerak Busana Ramah Lingkungan".