Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Grup rock God Bless telah melampaui perjalanan musik lebih dari 50 tahun. Rekam jejaknya terlihat di “Pameran Retrospektif God Bless 50th”.
God Bless menciptakan lagu bernuansa kritik sosial dalam album-albumnya. Para pencintanya hafal lagu-lagu hitnya.
Momen bersejarah mereka menjadi pendamping grup rock dunia, Deep Purple, hingga diakui pemerintah lewat sebuah penghargaan.
MENGENAKAN kaus dan celana hitam, Achmad Albar menangkupkan kedua tangannya untuk menyapa hadirin yang memenuhi ruang pamer Galeri Nasional Indonesia di Jakarta. Dalam program Temu Sapa Rumah Kita, Senin, 19 Februari 2024, tersebut, Iyek—panggilan akrab Achmad Albar—ditemani Roy Jeconiah, mantan vokalis Boomerang. Dia berbagi cerita kepada hadirin tentang perjalanan God Bless. Dalam program ini pada hari-hari lain, personel God Bless lain, yakni Ian Antono, Fajar Satritama, Donny Fattah, dan Abadi Soesman, juga menyapa para penggemar dan pengunjung pameran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan 50 tahun bermusik grup rock God Bless sejak 18 Agustus 1973 bisa dinikmati dalam pameran berjudul “Pameran Retrospektif God Bless 50th” itu. Berlangsung di Galeri Nasional selama 17-21 Februari 2024, pameran dilanjutkan dengan festival yang dimeriahkan 16 grup musik Tanah Air dan ditutup oleh penampilan God Bless pada 1 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
God Bless berangkat dari pentas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 50 tahun lalu, dengan formasi awal Achmad Albar (vokal), Ludwig Lemans (gitar), Donny Fattah (Bas), mendiang Yockie Suryo Prayogo (kibor), dan mendiang Fuad Hassan (drum). Mereka mengenalkan diri kepada pencinta musik dan masyarakat umum. Formasi God Bless kemudian berubah-ubah. Deddy Dores dari band Freedom of Rhapsodia dan kibordis Soman Lubis dari band Shark Move pernah bergabung pada 1973.
Sebuah tragedi menimpa God Bless pada 1974. Drumer Fuad Hassan dan kibordis Soman Lubis meninggal dalam kecelakaan sepeda motor di Pasar Minggu, Jakarta. Pada 1975, gitaris Ian Antono dan drumer Teddy Sujaya dari grup rock Bentoel asal Malang, Jawa Timur, masuk. Bentoel adalah grup musik yang memiliki vokalis Mickey Michael Merkelbach alias Micky Jaguar yang wajahnya mirip Mick Jagger, vokalis The Rolling Stones, hingga disebut Mick Jagger van Malang. Micky pun suka menyanyikan lagu-lagu The Rolling Stones dengan aksi panggung teatrikal. Kibordis Abadi Soesman, sahabat Ian Antono dari Malang, kemudian juga bergabung dengan God Bless pada awal 1980-an.
Penampilan awal God Bless pada 1970-an menyedot perhatian anak muda dan majalah-majalah musik masa itu. Pada awal bermusik, mereka masih mencari bentuk, warna musik, dan identitas. Achmad Albar alias Iyek bercerita, semula mereka menyanyikan lagu-lagu grup luar negeri, seperti The Rolling Stones, Kansas, dan The Beatles, dengan aransemen yang diracik sendiri. Lama kemudian mereka mencoba membuat lagu-lagu sendiri.
Pengunjung mendengarkan lagu di pameran “Retrospektif God Bless 50 Tahun” di Galeri Nasional, Jakarta, 21 Februari 2024/Tempo/M Taufan Rengganis
Lalu tibalah kesempatan itu. Masuk dunia rekaman pada 1975, grup ini menjangkau kalangan pencinta musik lebih luas. “Baru pertama kali membuat lirik, menulis lagu, dan mengubah menjadi lebih baik ke depan sampai merasakan kecocokan,” ujar Iyek di hadapan para pengunjung pameran.
Album bertajuk God Bless lahir pada 1976. Album perdana ini juga dikenal sebagai Huma di Atas Bukit karena lagu “Huma di Atas Bukit” yang sangat terkenal dalam album itu. “Huma di Atas Bukit” pun, kalau kita dengarkan dengan saksama, masih terpengaruh kuat oleh band progressive rock mancanegara. Bagian melodi tengah lagu ini hampir sama dengan petikan gitaris Genesis, Steve Hackett, dalam lagu “Firth of Fifth” di album Selling England by the Pound.
Kesempatan rekaman untuk album Cermin kemudian datang kepada God Bless setelah persiapan hampir setahun. Untuk album Semut Hitam (1988), proses rekaman sudah lebih mudah dan lancar. Mereka menyiapkan lagu-lagu dengan melihat selera pasar anak muda saat itu. Dalam pembuatan album Raksasa (1989), gitaris Eet Sjahranie bergabung. Ia dianggap membawa pembaruan karena permainan gitarnya yang cepat dan keras serta membawa sound distorsi. Di tengah banyaknya lagu rock yang saat itu sangat populer di pasar, mereka membawakan karya ciptaan sendiri yang berangkat dari isu dan situasi di sekeliling mereka. Biasanya mereka mengambil isu dari lingkungan, kejadian yang hangat, atau masalah yang saat itu muncul. “Seperti Donny membuat lagu tentang hutan yang ditebangi atau soal sosial lain,” ucap Iyek. Iyek mengakui, dalam album awal God Bless, ia banyak menyumbangkan lirik lagu, tapi tidak dalam album-album selanjutnya.
Di tengah gelora rock saat itu, di luar God Bless, Iyek pun sempat mewarnai musik dangdut. Iyek mengungkapkan, suatu ketika, ia diminta produser membuat album dangdut. Beberapa kali ia menolak ketika seorang wartawan, perantara produser itu, membujuknya. Saat itu boleh dikatakan dangdut sedang berkibar. Rhoma Irama menjadi ikon alias raja dangdut. “Saya enggak bisa meniru Rhoma. Lagi pula, kami sedang sibuk dengan God Bless,” tuturnya. Hingga kemudian ia datang kepada Ian Antono.
Sang gitaris merasa ada tantangan. Beberapa hari kemudian, Ian menyodorkan racikan nada “dangdut” yang berbeda tanpa lirik. “Lebih seperti Latin yang cepat, Spanish gitu, atau agak Timur Tengah,” katanya. Akhirnya jadilah album Zakia yang dirilis pada 1979 di bawah naungan label Sky Record. Tercipta pula beberapa lagu dangdut yang berbeda dengan dangdut Rhoma Irama. Album tersebut menjadi salah satu album Iyek di luar God Bless, bersama Ian. Keduanya memang sering berkolaborasi dalam proyek individu. Beberapa album solo Iyek digarap bersama musikus asal Malang itu. Iyek pun berkolaborasi dengan beberapa pemusik lain. Musik untuk proyek solonya berbeda dengan God Bless, biasanya lebih ringan serta ada unsur etnik atau genre lain yang dimasukkan.
Salah satu kostum yang pernah dikenakan God Bless untuk pentas di era 1970-an/Repro/Tempo/M Taufan Rengganis
Dalam pembuatan lagu, Iyek bercerita, biasanya Ian membuat musik dengan memberikan contoh nadanya. Setelah itu, Iyek membuat liriknya. Untuk menyesuaikan lirik dengan musik, biasanya mereka mengambil patokan dari ketukan nada. “Sesuaikan dengan inspirasi, mau ke mana, bicara apa, tulis dulu. Apa yang mau dibilang pindahkan ke nada itu,” ujar Iyek.
Demikian juga untuk lagu-lagu God Bless, setiap personel punya ide musik dan lirik. Mereka meramunya di studio dengan referensi masing-masing. Beberapa tahun belakangan, God Bless pun mendapat masukan untuk lirik lagu dari sejumlah jurnalis yang dekat dengan mereka.
Dalam kesempatan berbeda, Donny Fattah dan Ian Antono berkisah tentang bagaimana mereka membuat lagu hingga proses rekaman album-album mereka. Donny bercerita, sebagai anak-anak muda yang tengah merayakan kebebasan, mereka melihat situasi sekitar. Mereka spontan menggabungkan ide-ide mereka dengan lagu-lagu yang mereka sukai. “Itu ekspresi kami. Liriknya ya menceritakan era itu,” ucapnya. Referensi lagu-lagu rock mereka berasal dari grup luar negeri, seperti The Rolling Stone dan The Beatles. Donny sendiri menggemari Paul McCartney.
Donny menambahkan, ada hal-hal yang menimbulkan pertanyaan di benak mereka. Jiwa muda mereka memberontak. “Lho, kok, begini, kok, begitu. Pemberontakan itu kemudian jadi lagu, lagu kritik sosial,” kata Donny kepada Tempo. Dia mencontohkan lagu ciptaannya, "Anak Adam", yang ia buat di bawah tiang listrik. Dia saat itu sering diusir ketua rukun tetangga di daerah ia tinggal. Lagu tersebut dibuat pada 1978-1979 dan direkam pada 1980, ketika situasi sedang guncang, banyak orang mencari muka dan saling hantam.
Ian Antono pun membuat lagu bermuatan kritik sosial. Beruntung mereka tidak senasib dengan para seniman lain yang berkarya dengan kritis. “Kami belum sampai tahap kritik tajam itu. Lagu kami masih jalan, ada "Cermin", "Anak Adam", "Selamat Pagi Indonesia". Baru kemudian lagu-lagu Rendra dan Iwan Fals yang masuk ke kritik,” tutur Donny.
Ihwal lagu, Ian mengatakan inspirasi bisa datang tak kenal waktu. Kadang, ketika dia di kamar mandi, suatu ide bisa muncul. Saat dia memegang gitar, ide juga bisa tiba-tiba menghampiri. Tapi, ketika dia mencari, kadang sampai lima hari tak kunjung datang inspirasi. “Kalau sudah muncul, harus cepat-cepat direkam di tape kecil. Biar tidak lupa,” katanya. Hal senada disampaikan Iyek. Ide lagu bisa muncul kapan saja, dari ketika bangun tidur, saat di kamar mandi, hingga di tengah keramaian.
Dalam soal ekspresi di panggung, grup ini termasuk yang tampil beda sejak awal. Mereka mengakui, yang penting penampilan mereka menarik perhatian. Mereka tampil dengan baju-baju rancangan sendiri dan dijahit sendiri oleh para istri atau dijahitkan di toko jahit di daerah Blok M, Jakarta. “Dulu cuma los kecil, lalu hingga 2000-an sudah jadi tiga tingkat. Ada tiga orang tadinya, tapi kemudian pecah kongsi,” ucap Iyek. Fuad Hassan yang mengenalkan penjahit itu. Kadang Iyek pun meminta masukan personel lain.
Sejumlah alat musik dipamerkan di pameran “Retrospektif God Bless 50 Tahun” di Galeri Nasional, Jakarta, 21 Februari 2024/Tempo/M Taufan Rengganis
Ian dan Donny juga mengatakan mereka mendesain sendiri kostum panggung sesuai dengan keinginan mereka. “Asal keren saja. Kan, tiap band pengin beda,” ujar Donny. Ian menambahkan, “Keinginan masing-masing diakomodir. Ada yang pengin motif zebra. Aku motif ular, misalnya. Yang lain macan.” Demikian juga dalam urusan sepatu. Mereka menggunakan bot bersol cukup tebal, mungkin lebih dari 5 sentimeter, yang tingginya hampir mencapai paha. Mereka mempercayakan pembuatan bot itu kepada para perajin di Cibaduyut, Bandung. “Kami ramai-ramai ke sana,” tutur Donny dan Ian, kompak.
Penampilan rambut kribo yang tebal menjulang Iyek ikonik bagi sang penyanyi dan God Bless. Dengan dipanjangkan, rambut keritingnya mengembang. Iyek ingat, pada era sebelum 1970-an, ia pernah manggung bersama Koes Plus, menyanyi dalam pesta-pesta ulang tahun dengan kostum celana ketat dan rambut panjang. Saat itu Presiden Sukarno melarang para musikus tampil demikian.
Donny mengekspresikan kebebasan dengan kostum dan atraksi di panggung. Ia paling suka bertelanjang dada. “Donny yang suka begitu,” ucap Ian. Donny berdalih, penampilan itu adalah bentuk antikemapanan dan kebebasan setelah lepas dari Orde Lama dan geger 1965. Sedangkan Ian mengaku biasanya memakai kaus yang dirobek-robek atau singlet saja.
•••
SUKA-DUKA perjalanan musik dialami para personel God Bless sejak awal mengenalkan diri kepada publik hingga dikenal di seantero Nusantara, bahkan di level Asia Tenggara. Awalnya mereka harus repot membawa, mengangkat, dan memasang sendiri alat-alat musik mereka. Belum lagi ketika ada yang sirik karena persaingan di dunia musik yang ketat. Beberapa kali kabel sistem tata suara mereka digunting orang.
Demikian juga ketika harus menjalani proses rekaman, mereka mesti berhitung dan menggunakan peralatan sendiri. Perekaman album Cermin, Ian Antono mengungkapkan, adalah proses yang paling terkenang lantaran paling sulit. “Setelah lama, luput dari segi penjualan, enggak usah mikir laku. Pokoknya bikin lagu dulu, dibuat tanpa beban. Lama juga itu menggarapnya,” ujar Ian.
Donny Fattah ingat, untuk album itu, mereka harus menyewa studio rekaman lebih dari 100 kali. Sistemnya saat itu adalah mereka membawa alat sendiri dan menjalani proses latihan serta rekaman dalam waktu seharian sekali sewa. Mereka total mengupayakan penciptaan album itu di tengah keterbatasan alat rekam. Mereka pun harus berusaha sendiri mencari bebunyian yang tepat untuk lagu. Ian sampai mesti bolak-balik ke kamar mandi dan memakai kasur untuk mendapatkan suara yang diinginkan.
Piala Penghargaan Presiden Republik Indonesia (tengah) di pameran “Retrospektif God Bless 50 Tahun” di Galeri Nasional, Jakarta, 21 Februari 2024/Tempo/M Taufan Rengganis
Tapi langkah karier bermusik mereka yang paling mengesankan adalah ketika mereka menjadi band pembuka konser Deep Purple pada 4-5 Desember 1975 yang diprakarsai majalah Aktuil dan Buenaventura. Deep Purple tampil di Stadion Utama Senayan, Jakarta, dalam rangkaian tur ke sejumlah negara. Puluhan ribu penggemar kedua grup rock tersebut memadai stadion. “Itu paling berkesan. Kami banyak ngobrol dengan mereka,” kata Donny. Tapi Donny terpaksa absen ketika Deep Purple menggelar konser di Solo, Jawa Tengah.
Achmad Albar juga masih ingat penampilan mereka kala itu. Seharusnya mereka tampil pada hari pertama. Namun mereka baru muncul pada hari kedua karena ada kesalahpahaman antara manajemen dan panitia. Saat itu Deep Purple membawa perangkat mereka sendiri dengan kekuatan sound system hingga 5.000 watt yang solid karena menyangka akan bermain di sebuah hall atau di dalam ruangan. God Bless pun menyewa sound system dengan kekuatan yang sama dari Lazika. “Mereka minta apa mereka bisa gabung. Panitia minta sound kami mereka pakai, sementara kami tidak bisa pakai punya mereka,” ujarnya.
Setelah 48 tahun, pada 10 Maret 2023, kedua grup rock ini kembali bertemu dalam sebuah konser yang diprakarsai Rajawali Indonesia. Konser Deep Purple yang kedua di Indonesia ini menjadi kado bagi God Bless yang merayakan 50 tahun perjalanan mereka.
Personil God Bless, Ahmad Albar (kiri), Ian Antono (tengah), Abadi Soesman (kedua dari kiri), dan eks personil God Bless, Eet Sjahranie (kedua dari kiri) saat pembukaan Pameran Retrospektif 50 Tahun God Bless di Galeri Nasional, Jakarta, 16 Februari 2024/Tempo/Hilman Fathurrahman W
Kurator Sir Dandy Harrington menyiapkan “Pameran Retrospektif God Bless 50th” sejak November 2023 hingga Januari 2024. Ia mengakui cukup kesulitan mendapatkan sejumlah barang, termasuk kliping pemberitaan tentang God Bless. Pengarsipan yang belum rapi oleh God Bless menjadi tantangan. Terdapat beberapa kliping dari majalah Tempo, Aktuil, dan lainnya. Sayangnya, tak banyak arsip yang tersedia karena media yang menuliskannya sudah tak terbit.
Beruntung mereka mendapatkan sejumlah arsip dan koleksi penggemar berat God Bless, Hendra Permana. Terlihat kliping berita dan foto God Bless ketika membuka konser Deep Purple. Ada juga berita saat mereka berbagi panggung dengan Soneta dengan foto Achmad Albar dan Rhoma Irama serta tatkala mereka diperkenalkan kepada publik pada 18 Agustus 1973 di Taman Ismail Marzuki. Juga berita dukacita meninggalnya dua personel God Bless, Fuad Hassan dan Soman Lubis, pada 1974.
Dalam konsepnya, pameran dimulai dari Story & Journey yang menyambut para pengunjung dengan sebuah panel perkenalan dari kurator. Karya digital ini berisi testimoni para musikus rock Indonesia untuk God Bless hasil kolaborasi dengan Eldwin Pradipta. Lalu pada sebuah panel pohon keluarga bisa diketahui para personel God Bless sejak terbentuk hingga kini.
Diskografi mereka dari masa ke masa juga dipajang dalam bentuk kaset, cakram padat, dan vinil serta versi digital dengan aplikasi musik yang bisa dipindai. Perjalanan dan warna musik God Bless bisa diikuti sejak album pertamanya yang bertarikh 1976. Lirik lagu “Huma di Atas Bukit” yang menjadi hit dalam album itu diciptakan oleh sutradara Sjuman Djaja. Lagu ini muncul dalam film yang dibintangi Achmad Albar dan Rini S. Bono kala itu. Album tersebut bisa dinikmati lewat medium kaset, cakram padat, dan vinil. Gambar Achmad Albar dengan rambut kribo mengembang pada sampul kaset dan vinil menjadi magnet yang membuat pengunjung mendekat.
Dalam album Cermin, gaya musik God Bless berubah dari hard rock menjadi progressive rock. Perubahan ini terjadi setelah (almarhum) Yockie Suryo Prayogo digantikan oleh Abadi Soesman. Lewat album inilah para personel God Bless melawan dominasi musik pop yang tengah menguasai musik Indonesia kala itu.
Pengunjung berfoto dengan latar wajah para personil grup musik God Bless dalam pameran Retrospektif 50 Tahun God Bless di Galeri Nasional, Jakarta, 16 Februari 2024/Dok.Tempo/Hilman Fathurrahman W
Album berikutnya, Semut Hitam, dicatat sebagai album tersukses dalam karier musik God Bless dengan peralihan jenis musik ke heavy metal. Ada tiga lagu unggulan (best cut) dalam album ini, yakni “Kehidupan”, “Rumah Kita”, dan “Semut Hitam”. Album Raksasa yang dirilis pada 1989 pun memperlihatkan perubahan musik God Bless dengan masuknya Eet Sjahranie yang membawa pembaruan dengan permainan gitar yang lebih cepat dan keras. Setahun kemudian, meluncurlah album The Story of God Bless yang berisi aransemen 10 lagu lama versi baru.
Album 18 Greatest Hits of God Bless yang berisi 18 lagu pilihan mereka keluar pada 1992. Lima tahun kemudian, album Apa Kabar muncul dan menjadi album terakhir God Bless dengan gitaris Eet Sjahranie. Album ini menyajikan format gitar dobel. Berikutnya, ada album The Greatest Slow Hits yang berisi 10 lagu dari sejumlah penyanyi dan band. Setelah lama tak aktif, God Bless meluncurkan album 36th dengan formasi baru menyusul mundurnya Yockie dan Teddy Sujaya. Drumer tamu Gilang Ramadhan dan kembalinya Abadi Soesman mewarnai album ini.
Pada 2016, mereka meluncurkan album Cermin 7 hasil perekaman ulang album Cermin plus tiga lagu baru. Dalam album ini, dapat didengarkan warna gebukan drum perdana Fajar Satritama yang menggantikan Yaya Moektio. Pada 2023, di bawah label Rumah Musik Kita/Demajors, album kompilasi Anthology meluncur dalam format cakram padat. Isinya karya-karya penting refleksi perjalanan 50 tahun grup ini di panggung dan dapur rekaman. Dengan kolaborasi Tohpati dan Czech Symphony Orchestra, terasa kemegahan 11 lagu klasik God Bless yang telah akrab di telinga masyarakat Indonesia.
Selain diskografi, dipajang sederet piala penghargaan God Bless. Satu yang dianggap paling membanggakan adalah penghargaan dari Presiden Joko Widodo yang diserahkan di Istana Negara. “Enggak nyangka anak jalanan bisa masuk ke Istana, luar biasa,” ucap Donny Fattah.
Lalu panel-panel poster bergerak personel God Bless karya M. Akbar disajikan cukup menarik untuk mengenalkan awak grup rock legendaris ini. Ada pula miniatur panggung, ruang rekaman, dan tempat karaoke berbayar untuk pengunjung. Sebagai kurator, Sir Dandy tak banyak menampilkan koleksi sepanjang 50 tahun perjalanan God Bless. “Yang penting mewakili, enak dan nyaman dinikmati, itu jadi pertimbangan,” katanya.
Kostum yang pernah dikenakan oleh para personel God Bless saat pentas, di pameran “Retrospektif God Bless 50 Tahun” di Galeri Nasional, Jakarta, 21 Februari 2024/Tempo/M Taufan Rengganis
Sejumlah alat musik dipamerkan, dari gitar dan bas yang dipakai Ian Antono, Eet Sjahranie, dan Donny Fattah; pedal dan snare drum Teddy Sujaya; synthesizer dan piano elektrik Abadi Soesman; hingga mikrofon rekaman Achmad Albar. Ada pula replika mesin pita rekaman. “Mengisi seksi Live and Life ini cukup menantang, paling sulit. Ada beberapa instrumen, sudah beda teknologi. Ada yang tidak ada, hilang, rusak. Seperti gitar Mas Ian,” tutur Sir Dandy. Barang-barang ini menjadi saksi perjalanan mereka. Piano Abadi, misalnya, dipakai sejak dia bermain dalam band Gipsy. Lalu mixer besar yang paling sering dipakai Ian sejak menggarap proyek solonya hingga bergabung dengan God Bless serta gitar bas yang dirancang khusus untuk Donny pada 2002.
Yang menarik adalah ruang Rock Star yang memajang kostum-kostum personel God Bless pada masa kini serta di era kejayaan mereka sebelumnya. Sejumlah foto jadul mereka terpasang di bidang-bidang dinding. Foto mereka berpose dengan kostum unik mencolok. Melihat kembali foto itu, Ian dan Donny merasa cukup senang dan terharu. Para personel tampil dengan pilihan kostum yang berbeda dan sangat nyeleneh untuk masa itu. Dipajang pula replika kostum manggung mereka.
Ada kostum terusan berwarna oranye dengan ikat pinggang berkepala bunga, busana dengan bot setinggi paha bersol tebal dan bercorak loreng senada dengan kulit macan tutul, pakaian dengan bot sepaha berwarna kuning ngejreng dipadukan dengan jins dan rompi bermotif, serta ikat pinggang khas metal dan kalung panjang. Ada pula celana loreng dengan bot hitam sepaha, ikat lengan berwarna hitam, serta celana putih komprang dipadukan dengan rompi oranye dan toska dengan sentuhan duri metal.
Untuk urusan aksesori, dari gelang, kalung, hingga ikat pinggang, mereka berburu di Pasar Senen, Jakarta. Mereka juga memodifikasi jaket dan rompi dengan sentuhan manik-manik atau motif lain dengan referensi yang sangat terbatas. Penjahit langganan mereka di kawasan Kota dan Harmoni, Jakarta, yang mewujudkan keinginan awak grup ini. “Ini membuktikan God Bless tidak hanya memperhatikan musik, tapi juga performa, penampilan estetik mereka di panggung,” kata Sir Dandy.
Mesin Pita untuk rekaman dalam pameran “Retrospektif God Bless 50 Tahun” di Galeri Nasional, Jakarta, 21 Februari 2024/Tempo/M Taufan Rengganis
Arya Setyadi, pemain bas pendamping yang sering menggantikan Donny Fattah, mengaku tak percaya saat diminta bergabung dengan God Bless, band idolanya. Sejak dia berusia remaja, poster mereka terpampang di kamarnya. Ia pun berusaha memainkan lagu-lagu God Bless. “Sepertinya gampang, tapi ternyata cukup rumit ketika dimainkan. Saat itu mereka sudah menciptakan lagu seperti itu, spontan pula,” ucapnya.
Dalam sesi latihan bersama personel God Bless, Arya baru merasakan dinamika yang seru. Sebagai personel muda, ia bersama Fajar Satritama, penggebuk drum, biasanya menunggu para senior. Arya mencocokkan petikan senar basnya dengan permainan Donny yang ia anggap sebagai mentor. Tapi kadang-kadang telinga Ian Antono lebih tajam mendengar sebuah nada. “Mas Ian sakti telinganya, ia paling sensitif,” ujarnya, lalu tertawa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perjalanan Setelah Setengah Abad"