Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kenapa Lagu-lagu God Bless Bisa Menembus Zaman dan Disukai Anak Muda

Penampilan God Bless di pelataran Galeri Nasional bersahaja, akrab, hangat. God Bless bagian dari estetika mutakhir kita.

3 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBANYAK 12 lagu nonstop dibawakan. Energi Achmad Albar, 77 tahun, tidak kendur. Dalam tiga lagu terakhir, publik turut bernyanyi bersama-sama. Suasana pun menghangat. Tiga lagu “sakral” God Bless, yakni “Syair Kehidupan”, “Panggung Sandiwara”, dan “Rumah Kita”, betul-betul merasuk. Itulah klimaks serangkaian acara ulang tahun ke-50 God Bless. Sebuah pentas di pelataran Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, dengan kebanyakan penonton generasi sekarang. Lagu-lagu God Bless menembus zaman, dikenal dan dihayati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dibuka dengan lagu “Musisi”, pentas langsung menghantam. Lagu ini, untuk perayaan 50 tahun God Bless, dibuatkan klip video dan baru dimainkan di Bali bersama tim orkestra Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan konduktor Tohpati. Bisa kita saksikan di balik layar pembuatan video yang disutradarai sineas Erick Est ini di ruang pamer Galeri Nasional. Menarik menyaksikan penampilan God Bless diiringi orkestra lengkap membawakan “Musisi” di tebing-tebing serta Pantai Nusa Dua dan Pantai Pandawa, Kuta. “Musisi” diciptakan Donny Fattah pada 1980 dan menjadikan bagian dari album Cermin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah “Musisi”, pentas disambung lagu dinamis “Bla Bla Bla”. Lirik lagu ini bercerita tentang sifat manusia yang suka mendendam hingga mudah mengangkat senjata dan berperang. Hantam kiri-kanan persetan / Penting tahta… Lagu ini gahar dan temponya mengalir cepat. Agaknya penonton familier dengan lagu-lagu God Bless. Begitu intro lagu selanjutnya terdengar, mereka langsung bersorak dan tahu itu lagu “Menjilat Matahari”. Cahaya pancaran kembang api dan latar panggung yang memperlihatkan nyala api berkobar-kobar menuansakan kekuatan lagu ini. Achmad Albar berjalan-jalan kecil di panggung di sela-sela lagu.

Untuk pertama kalinya God Bless tampil di pelataran Galeri Nasional. Suasananya tentu berbeda dibanding pentas mereka di Istora Senayan di Jakarta atau auditorium besar gedung-gedung lain. Tahun lalu, dalam konser emas 50 tahun God Bless d Istora Senayan, pertunjukan disajikan dengan tata lampu luar biasa. Di Galeri Nasional, pertunjukan mereka jauh lebih sederhana, bersahaja, tapi terasa akrab dan matang. Artikulasi lirik lagu mereka bisa didengar jelas dan terserap penonton yang sebagian duduk lesehan. Merakyat.

Konser God Bless dalam gelaran Festival Pameran Restrospektif 50th God Bless, di Galeri Nasional, Jakarta, 1 Maret 2024. Tempo/Imam Sukamto

Kemudian berkumandang “Cermin”, salah satu lagu God Bless dengan aransemen progressive rock yang kompleks. Lagu ini diawali kor bersama Achmad Albar, Ian Antono, dan Abadi Soesman: Inilah sebuah kisah tentang celah kehidupan. Achmad Albar lalu melanjutkan sendiri: Dengar, dengarlah kisahnya / Hei dengar. Lirik lagu ini seperti diawali sebuah korus yang mengemukakan nubuat tragis yang lalu disusul pengakuan seseorang yang penuh nista. Cermin dianggap sebagai album God Bless yang struktur komposisinya rumit dengan lirik-lirik tak lazim, melawan arus industri musik. Dari segi penjualan, pada 1980, saat dirilis, album ini tak begitu memuaskan, jeblok. Mungkin mereka terlalu menentang arus selera masyarakat yang menginginkan lagu cinta yang mudah-mudah. Namun, dari segi komposisi, album ini dipandang sebagai capaian estetis tertinggi God Bless. 

Tapi, melihat respons anak-anak muda di Galeri Nasional malam itu, kuping mereka tampaknya sudah familier dengan lagu “Cermin”. Selanjutnya adalah lagu “Maret 1989”. Mungkin tak banyak yang tahu, melalui lagu ini, God Bless merespons ramainya pemberitaan mengenai novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie. Pada 1989, Ayatollah Khomeini dari Iran mengeluarkan fatwa bahwa Salman Rushdie harus dibunuh. Entah Yockie Suryo Payogo dan Donny Fattah sebagai penulis liriknya sudah membaca buku tersebut atau belum saat membuatnya, tapi lagu ini terasa turut mengecam Rushdie. Perhatikan liriknya: Satanic Verses / Ayat-ayat yang menghina / Ayat-ayat yang membakar perasaan manusia / Perdamaian masih pagi / Perang belum berhenti / Lalu kau siram api… Pernah saat membawakan lagu ini, Achmad Albar mendahului dengan mengumandangkan azan. Tapi itu tidak dilakukannya saat tampil di Galeri Nasional.

Selanjutnya, lagu “Bus Kota” dan “Semut Hitam” disambut meriah. Napas Achmad Albar terjaga. Ketukan irama lagu yang cepat memancing penonton ikut bergoyang. Gebukan drum Fajar Satritama energetik. Achmad Albar menyanyikan “Bus Kota” dengan semangat dan cukup atraktif di panggung. Usia lanjut tak menghalangi vokalis berambut kribo itu untuk menyajikan penampilan terbaiknya diiringi petikan gitar Ian Antono dan betotan bas Arya Setyadi yang menggantikan Donny Fattah yang sakit. Keduanya juga tampak beradu aksi, berhadapan dengan gitar masing-masing.

God Bless pertama kali tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada Mei 1973. Saat itu Ketua Dewan Kesenian Jakarta Umar Kayam membuka TIM untuk pentas teater dan tari, juga musik rock, jazz dan pop. Umar Kayam menganggap pemberontakan-pemberontakan di ranah industri musik setara dengan inovasi-inovasi kesenian avant-garde saat itu, seperti yang dihadirkan Sardono W. Kusumo, Teater Populer, dan Bengkel Teater Rendra. Sekarang, setelah 50 tahun, pertunjukan God Bless diadakan di pelataran Galeri Nasional, tempat pameran seni rupa sering diselenggarakan. Pentas malam itu seolah-olah ingin mengokohkan kembali pandangan bahwa God Bless adalah bagian dari seni mutakhir Indonesia.

Masih terngiang-ngiang bagaimana tiga lagu syahdu, “Syair Kehidupan”, “Panggung Sandiwara”, dan “Rumah Kita”, dinyanyikan bersama-sama oleh penonton di pelataran Galeri Nasional. Donny Fattah dipanggil ke panggung. Duduk di kursi, ia ikut bernyanyi. Kuat-kuat penonton meneriakkan bersama refrain: Mengapa kita bersandiwara.... Lagu “Panggung Sandiwara” sama sekali tidak berbicara tentang masalah politik. Tapi, tatkala dinyanyikan bersama-sama, ia seolah-olah menjadi himne yang mampu mengeluarkan semua unek-unek—katarsis—atas situasi sosial yang membebani akhir-akhir ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dian Yuliastuti berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di versi cetak, artikel ini terbit dengan judul "Mengapa Kita Bersandiwara...".
 
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus